Putri Mahathir Sebut Arabisasi di Malaysia Sebagai Tribalisme

 
Putri Mahathir Sebut Arabisasi di Malaysia Sebagai Tribalisme

LADUNI.ID, Jakarta - Di tengah makin melembaganya konservatisme iman di Negara Malaysia, putri sulung mantan Perdanaa Menteri Malaysia Mahatir Mohamad, Datin Paduka Marina Mahathir mengkritik hal itu. Menurutnya, Negara jiran tersebut tidak ubahnya sebagai Negara jajahan Arab.

Marina yang menjadi salah seorang aktivis sosial gencar mengeritik sikap puritan kaum elit di tanah airnya. Hal ini seperti dilansir dari Malay Mail Online bahwa putri Mahathir ini mengungkapkan kekecewaan dan keprihatinannya atas perkembangan pemahaman Islam di negaranya yang cenderung semakin sempit dan memarginalkan budaya lokal.

Ia menunjukkan bahwa kencangnya Arabisasi Islam di Malaysia dapat dicontohkan melalui pakaian tradisional  yang lazim disebut 'Baju Melayu' yang semakin sulit ditemukan. Di hari raya seperti Idul Fitri, semakin umum para perempuan Melayu memakai busana bernuansa Arab seperti kaftan yang merupakan tunik panjang.

"Ini adalah Arabisasi budaya kita - itu kolonialisme, penjajahan Arab," terang Marina dalam sebuah wawancaranya.

Marina juga mengeluhkan bahwa perempuan Melayu di bawah usia 50 umumnya tidak lagi mengetahui bagaimana  mengenakan baju kurung dengan  lipatannya sedemikian rupa sehingga memudahkan orang berjalan ketika memakainya.

"Kaftan memang mudah dipakai. Tapi apa yang terjadi pada tradisi kita, budaya kita, semuanya? Itu hilang," tuturnya

Masalah terbesar Islam di Malaysia, lanjut Marina, adalah ketakutan akan memahami dan mendalami agama itu sendiri.

"Islam memiliki sejarah intelektual yang sangat kuat, tetapi sama sekali tidak ada intelektualisme dalam  cara Islam diajarkan di sini. Kita hanya diajarkan ritual, kita tidak diajarkan tentang para pemikir besar dan perbedaan di antara mereka," terangnya.

Dia bahkan juga sedikit menyinggung mengenai bagaimana sejarah Islam pertama kali turun, dan masyarakat Malaysia yang disebutnya sebagai tribalisme dalam hal berpakaian dan sejenisnya, dan kini mereka memperaktikkan kebudayaan itu.

"Jika Anda membaca sejarah Islam ketika pertama kali ia diturunkan, itu adalah tentang menjauhkan diri dari tribalisme ... tapi sekarang Anda menemukan hal itu kemana pun Anda pergi (di Malaysia), meskipun secara resmi Islam tidak memperbolehkannya," keluhnya.

Marina juga mengatakan bahwa hotbah-khotbah Jumat di Malaysia yang terlebih dahulu mendapat izin dari pemerintah,  berulang-ulang memperingatkan umat Muslim untuk waspada terhadap filosofi seperti liberalisme dan pluralisme.

Marina bahkan juga mengeritik sikap pemerintah yang menginginkan masyarakat bersatu dalam pemahaman tentang Islam. Padahal, menurut Marina, seharusnya diberikan ruang yang memungkinkan tumbuhnya individualitas.

Menurutnya, perempuan Malaysia masih terus mendapat tekanan. Ketika para perempuan-perempuan berkerudung baru-baru ini berpelukan dengan salah satu pentolan K-Pop  saat melakukan konser di negeri itu, isu tersebut menjadi kontroversial dan para perempuan disalahkan.

"Wanita selalu diserang," tuturnya.

Marina juga bertekad akan hengkang dari Malaysia apabila rencana yang diusulkan presiden PAS, Datuk Seri Abdul Hadi, benar-benar terwujud. Anggota parlemen Malaysia itu  baru-baru ini atas inisiatif pribadi mengajukan Rancangan Undang-undang yang membuka peluang diterapkannya hudud. Hudud adalah hukum kriminal Islam yang sangat ekstrem. Antara lain seorang pencuri dapat dihukum dengan memotong jarinya.

"Saya tidak bisa hidup di negara dimana rakyat ingin memotong tangan. Mohon maaf. Saya tidak akan pernah mau hidup di Arab," pungkas Marina. (Sumber: Satu Harapan)