Melacak Perkembangan Pertanian di Dunia Islam

 
Melacak Perkembangan Pertanian di Dunia Islam
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni. ID, Jakarta - Islam merupakan negara yang ajaran dan nilai syariatnya universal. Sangat banyak nilai dan "mutiara" ilmu yang dimiliki dunia Islam terabaikan bahkan tidak banyak yang mengetahuinya. Di antara sekian banyaknya termasuk di bidang pertanian.

Sejarah telah mencatat  sejak jatuhnya kekaisaran Romawi pada abad ke-5 Masehi membawa kemajuan peradaban manusia. Pusat peradaban bergeser ke Jazirah Arab. Tentunya pergeseran itu mendorong terjadinya Revolusi Pertanian Islam yang kelak juga mempengaruhi terciptanya beragam makanan di berbagai belahan dunia, khususnya Eropa.

Pada masa Yunani, tepatnya pada abad ke-4 SM, para penjelajah melaporkan pengamatannya di India. Mereka menyebut tanaman buah-buahan sebagai madu tanpa lebah yang tumbuh di pohon. Melihat keragaman itu, para ahli tanaman Muslim memelopori pencangkokan tanaman dari kawasan Asia ke kawasan gurun.

Walhasil dari usaha itu, mereka mulai membudidayakan tanaman buah di sekitar Mesir, Suriah, utara Afrika, Spanyol, dan Sisilia. Wujud keragaman budi daya ingin mereka tunjukkan sebagai bentuk warisan dari revolusi pertanian, sekaligus penyeimbang adanya permintaan komoditas perdagangan serta pertukaran pengetahuan dan ide.

Sejarah memiliki peran penting dalam sebuah peradaban manusia. Sejarah peradaban Islam merupakan keterangan mengenai pertumbuhan dan perkembangan, baik dari sisi ide, pemikiran, konsepsi, institusi dan operasionalisasi. Peradaban Islam dalam bidang pertanian dimulai sejak zaman Rasulullah. Dalam literatur sejarah Islam, kaum anshor merupakan contoh kaum yang sangat memperhatikan bidang pertanian. Rasulullah tidak pernah memerintahkan mereka untuk meninggalkan profesi tersebut. Justru meminta meraka untuk mamakmurkan dan menjadikan pertanian dan perkebunan sebagai alat perekat antara kaum Anshor dan kaum Muhajirin.

Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pertaniaan dalam pandangan Islam. Namun sekiranya kita melihat keadaan sekeliling kita, bahwasanya keberadaan petani tidaklah bernilai lebih dari wujud buruh. Masyarakat modern sekarang tidaklah memperhatikan bahwasanya kerja keras petanilah yang mempunyai peran paling besar dalam kelangsungan kesejahteraan manusia, dari segi pangan terutama. Padahal sebagai khalifah di muka bumi, alangkah sudah sepatutnya manusia untuk memberikan penghargaan yang setinggi-tingginya pada para petani, sebagaimana islam telah memuliakan petani sejak zaman dahulu, dan pertanian zaman islam sendiri pun telah menjadi sebuah corak peradaban dengan nilai tambah tersendiri yang tak mungkin terpisahkan.

Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab beliau banyak membuat kebijakan untuk mamajukan bidang pertanian. Diantaranya adalah penggarapan lahan yang mati, pengaplingan tanah, memaksimalkan peranan pengambangan pengeloloaan lahan tidur, pengelolaan lahan yang dilindungi pemerintah, pengaturan pengeksploisasian bumi di daerah takhukan dan pengelolaan air. Umar menghimbau untuk menghidupkan lahan yang mati sebagai cara untuk mendapatkan hak milik. Politik Umar di dalam pengaplingan tanah memiliki karakteristik, diantaranya: menetapakan syarat bukan milik pribadi dan tidak merugikan orang muslim atua kafir dzimmi membataisi luas tanah, menarik kembali tanah yang diberikan jika ditelantarkan oleh penerimanya.

Dalam masalah daerah takhlukan, Umar tidak membagi dan membiarkan tetap ditangan penduduk sebagai legalitas sistem ta’mim karena tanah tersebut merupakan fa’i bagi para pejuang yang harus dibagikan di antara meraka. Khalifah Umar bin Khattab juga melarang bangsa Arab untuk menjadi petani karena mereka bukan ahlinya. Menurutnya, tindakan memberi lahan pertanian kepada yang bukan ahlinya sama dengan perampasan hak-hak publik.

Setelah masa Khulafaurrasyidin bidang pertanian berkembang dengan baik, sampai pada masa khalifah Daulah Abbasiyah pada masa pemerintahan Khalifah Harun Arrasyid. Dia sangat memperhatikan, membela dan menghormati kaum tani dengan meringankan pajak hasil bumi dan bahkan ada yang dihapuskan. Beberapa usaha untuk mendorong kaum tani agar maju di antaranya:

  1. Memperlakukan ahli zimmah dan mawaly dengan perlakuan baik dan adil, serta menjamin hak milik dan jiwa mereka, hingga bertani di seluruh penjuru negeri.
  2. Mengambil tindakan keras terhadap para pejaba yang berlaku kejam terhadap petani.
  3. Memperluas daerah-daerah pertanian.
  4. Membangun dan menyempurnakan perhubungan ke daerah-daerah pertanian, baik darat maupun air.
  5. Membangun bendungan-bendungan dan kanal-kanal.

Pada masa pemerintahan khalifah Harun Arrasyid beliau mengangkat Abu Ubaid yang bernama lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi sebagai Qadi (hakim) di Tarsus. Abu Ubaid menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Amwal. Salah satu pandangan ekonomi Abu Ubaid adalah kepemilikan dalam konteks kebijakan perbaikan pertanian. Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik.

Dalam hal kepemilikan, pemikiran Abu Ubaid mengemukakan hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian. Secara implisit Abu Ubaid mengemukakan bahwa kebijakan pemerintahan, seperti iqta’ (enfeoffment) tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual atas tanah tandus yang disuburkan, sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian.

Efektivitas dari perkembangan dan pengaruh ini, tentunya menginspirasi para ilmuwan Muslim untuk mengklasifikasikan berbagai tumbuhan ataupun rempah-rempah. Mereka juga menentukan bisa tidaknya suatu jenis tumbuhan itu dimakan. []
 



Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 20 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
___________________
Editor: Kholaf Al Muntadar