Terorisme Dunia Maya

 
Terorisme Dunia Maya

Medium tidak menciptakan sejarah, namun sejarah yang menciptakan medium dan kita akan mengingat bahwa peperangan di medium cyber ini telah mengubah wajah internet menjadi lebih sengit dengan konflik.

Dalam perjalanannya, konflik antar manusia ada yang memiliki penanda yang membekas di media massa. Ada benang merah antara konflik dan media massa, kalau tidak bisa disebutkan bahwa konflik manusia berbanding lurus dengan perkembangan media massa.

Perang sipil di Amerika diramaikan juga dengan perang foto. Perang dunia kedua memberikan kepada radio jam-jam terbaiknya. Perang Vietnam menyinari dunia televisi. Perang teluk melambungkan nama CNN.

Saat ini, peperangan melawan teror yang dimulai minggu-minggu setelah kejadian 9/11 setiap bentuk media masa –TV, koran, majalah dan website memperoleh peningkatan signifikan penggunanya. Namun website memperoleh persentase peningkatan paling tinggi diantara keseluruhan media massa yang ada, situasi ketika website CNN lebih banyak diakses ketimbang TV CNN makin lama makin terdengar lumrah.

Pengamat media menyebutnya sebagai tonggak dimulainya peperangan tanpa batas negara, tanpa diketahui kapan berakhirnya. Pada umumnya kita menyebutnya dengan istilah cyberwar, cyberwarfare, internet war dan seterusnya untuk menunjuk konflik yang menjadikan dunia maya sebagai medium utamanya.

Cyberwarfare awalnya didefinisikan sebagai aksi penyusupan, penyerangan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap jaringan komputer nasional milik negara lain dengan tujuan menyebabkan kerusakkan (Wikipedia). Namun definisi lain juga menyebutkan pelakunya tidak hanya negara namun juga non-state actor seperti kelompok teroris, kelompok politik, kelompok ideologi ekstrim, hacker, kriminal lintas negara bahkan perusahaan (Wikipedia).

Sebetulnya istilah “cyberwarfare” mengundang kontroversi dan perdebatan seputar tepatkah istilah tersebut untuk mewakili sisi konflik di dunia maya. Eugene Kaspersky pendiri Kaspersky Lab yang populer dengan produk antivirus Kaspersky menyebutkan bahwa “cyberterrorism” lebih tepat digunakan ketimbang istilah “cyberwarfare” ataupun “cyberwar”. Kaspersky menggambarkan kondisi kita dalam konflik cyber ini, “you are clueless” tidak memiliki petunjuk tentang kapan serangan akan datang, akan dilakukan oleh siapa dan kapan serangan berikutnya akan datang, hanya ada ketakutan dan ancaman yang mengintai. “It’s not cyberwar, but cyberterrorism.”

Istilah “cyberterrorism” juga tidak kalah kontroversial. Beberapa penulis memilih definisi yang sangat sempit berkaitan dengan penyebaran ancaman / teror oleh organisasi teroris yang diketahui. Mereka melakukan serangan terhadap sistem informasi untuk tujuan utama menciptakan kepanikan. Saat ini, serangan lebih bervariasi dengan memanfaatkan media sosial untuk menimbulkan suasana panik, mencekam atau mengancam. Sebagaimana kita ketahui bersama, situasi panik, mencekam atau mengancam bisa dimunculkan dengan cara menyebarkan konflik, adu domba, meluaskan permusuhan, kebencian, dan seterusnya melalui media sosial.

Penulis lain memilih definisi yang terlalu luas yang cenderung memasukkan kejahatan dunia maya (cybercrime) dalam kategori cyberterrorism. Padahal kenyataannya, cyberterrorism dan cybercrime adalah dua isu yang sangat berbeda dan harus didefinisikan secara terpisah. Terorisme online harus dianggap cyberterrorism ketika ada ketakutan yang ditimbulkan pada sekelompok orang, sedangkan cybercrime adalah tindakan melakukan kejahatan secara online yang biasanya tanpa intimidasi rasa takut terlebih dahulu.

Beberapa Bentuk dan Motif Cyberterrorism

Ada beberapa bentuk umum teror cyber ini. Serangan langsung yang bisa menyebabkan kerusakan dengan segera atau dikenal dengan cyberattacks. Pengumpulan informasi diam-diam dengan melakukan penyusupan ke server-server target atau cyber espionage. Spionase via cyber ini menunjang suksesnya cyberattacks dan meluncurkan information warfare , perang informasi untuk membentuk opini atau memunculkan skandal.

Motif. Motif kepentingan militer dianggap dominan mengingat perangkat perang modern saat ini tergantung pada penggunaan dan kontrol jaringan komputer. Pilihannya, menyerang jaringan komputer lawan atau bertahan dari serangan lawan ke jaringan komputer militer yang dimiliki. Motif politik juga seringkali melatar belakangi cyberterrorism. Seringkali kita dengar sekelompok orang atau perorangan  menyerang website, fanspage, akun untuk menyuarakan dukungan atau tekanan politik kepada sebuah negara, kelompok maupun pribadi yang dilatarbelakangi alasan politis. Internet ternyata juga digunakan untuk melakukan tindakan kekerasan yang mengakibatkan atau mengancam hilangnya nyawa atau kerugian fisik dan mental yang signifikan untuk mencapai keuntungan politik melalui intimidasi. Motif serangan ke warga sipil dengan cara melumpuhkan jaringan internet, fasilitas publik, komunikasi sampai merusak isi komputer dan notebook bahkan smartphone. Hacking, terutama black hat yang mengeksploitasi kelemahan yang terdapat di komputer maupun jaringan komputer untuk kepentingan apa saja mulai politik, kriminal seperti pencurian data-data pribadi atau sekedar mempromosikan agenda tertentu. Sektor privat seperti bisnis. Persaingan bisnis juga menyeret para hacker untuk mau bertempur bagi kepentingan sebuah korporasi. Menurut George Kurtz,pemilik perusahaan keamanan khususnya antivirus McAffee, mengatakan bahwa tiap hari korporasi menghadapi ribuan cyberattack. Serangan model ini tidak menarik perhatian media dan juga lebih sering bercampur dengan motif keuangan. (DNA)

Diolah dari berbagai sumber