Tersingkapnya Kewalian KH. Abdul Hamid Pasuruan

 
Tersingkapnya Kewalian KH. Abdul Hamid Pasuruan

Suatu ketika Mbah Hamid memondokkan putranya, Gus Nu'man, di Pesantren Darul Hadits Malang yang diasuh oleh Ulama Besar pakar Hadits, Prof. Dr. Habib Abdulloh Bilfaqih.
Namanya juga anak muda, pasti ada nakalnya. Begitu juga dengan Nu'man. Nampaknya kenakalannya terdengar sampai ke telinga Habib.

Lalu Nu'man dipanggil oleh sang pengasuh. Dia diberi pengarahan dan nasehat agar dia tidak nakal lagi, tapi tidak sampai dita'zir.

Satu dua kali dia dipanggil tetap saja belum ada perubahan. Akhirnya untuk yang ketiga kalinya dia dihukum langsung oleh sang pengasuh. Nu'man di pukul berkali-kali dengan penjalin (bambu kuning yang masih muda).

Hingga pada suatu malam Habib Abdullah di tegur Abahnya (Al Qutb al-Habib Abdul Qodir Bilfaqih) lewat sebuah mimpi dengan berkata "Nak koen ndak wero tah ana'e sopo seng koen tandangi iku? Iku putrone kiai Hamid, kiai seng dadi wali abdal, opo koen gak wedi kualat?" (Nak, kamu tidak tahu? Anak siapa yang kamu pukuli itu? Itu adalah anak kiai Hamid, kiai yang menjadi wali abdal, apa kamu tidak takut kualat?).

Dan selang beberapa hari beliau juga mimpi bertemu dengan kiai Hamid sedang menuju pintu surga. Sang Habib berusaha menggapai Kiai Hamid tapi tidak bisa. Mimpi itu datang sampai beberapa hari.

Setelah mendapat teguran dari sang ayahanda dan bermimpi bertemu Kiai Hamid, beliau merasa sangat bersalah kepada kiai Hamid.

Beliau lalu mendatangi kediaman Kiai Hamid untuk meminta maaf.

Kebetulan waktu itu bertepatan hari Ahad, ada pengajian umum rutinan di ndalem Kiai Hamid. Begitu Kiai Hamid melihat kedatangan Habib, beliau menyongsong dan mempersilakan Habib untuk memimpin pengajian rutin tersebut.

Tak dinyana, dalam pengajiannya, Sang Habib justru menceritakan apa yang beliau perbuat kepada Gus Nu'man dan mimpi-mimpinya kepada para jamaah pengajian yang puluhan ribu jumlahnya.

Mendengar apa yang dituturkan oleh Sang Habib, tanpa terasa air mata Mbah Hamid mengalir deras.

Menurut sumber, Kiai Hamid tidak pernah menangis sampai parah seperti itu sebelumnya. Beliau malu kalau kelebihan beliau diceritakan di muka umum.