Kepada Delegasi PBNU, Begini Pesan PCINU Maroko Soal Menjaga Tiga Unsur Bangunan NU

 
Kepada Delegasi PBNU, Begini Pesan PCINU Maroko Soal Menjaga Tiga Unsur Bangunan NU

LADUNI.ID, Jakarta - Kehadiran 44 pelajar baru utusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) disambut oleh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Maroko di Sekretariat Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko, Rabat, Maroko, Sabtu (6/10).

Rais Pengurus Cabang Islam Nahdlatul Ulama (PCINU) Maroko Aniq Nawawi menyampaikan bahwa warga NU tidak boleh meninggalkan bangunannya yang terdiri dari tiga unsur. Pertama, al-a'mal an-Nahdliyah, amaliah-amaliah NU. Menurutnya, hal ini tidak boleh ditinggal.

"Qunut ya tetep qunut, marhabanan ya marhabanan," katanya dalam kegiatan Pembekalan Pelajar Baru PBNU itu.

Kemudian yang kedua, Al-fikrah al-Nahdliyah, pemikiran ke-NU-an.

"NU tidak menghapus total budaya atau tradisi yang dianggap salah, tetapi memodifikasinya dengan mengambil sisi positifnya dan membuang hal negatifnya", imbuh Aniq. Hal demikian,  berdasar pada kaidah khudz maa shofa wa da' ma kadar, ambil yang baik dan tinggal yang buruk.

Aniq menegaskan bahwa, Sesuatu yang dianggap salah jangan dihancurkan seratus persen, yang baiknya kita pertahankan, yang jeleknya kita buang.

Ia memberi contoh pemertahanan talbiyah oleh Nabi. Menurutnya, bacaan talbiyah sudah ada sejak zaman Jahiliyah dengan lafal sebagai berikut:

لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ اِلَّا شَرِيْكًا هُوَ لَكَ تَمْلِكُهُ وَ مَا مَلَكَ

"Kami memenuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, kecuali sekutu yang Engkau pilih. Mereka memiliki apa yang Kau miliki juga," katanya menerjemahkan.

Masyarakat Jahiliah masih mempercayai adanya sekutu yang membantu Allah, yakni Mana, Lata, dan Uzza. "Perantaranya itu tuhan-tuhan kecil ini, tuhan-tuhan ini dipilih oleh Allah," Aniq kembali menjelaskan.

Kedatangan Islam tidak sekonyong-konyong menolak talbiyah sehingga perlu menghapusnya, justru Nabi mengakomodir hal itu dengan mengubah lafalnya. Frasa 'Illa syarikan huwalak' dihapus.

Demikian juga dilakukan oleh para ulama Nusantara. Mereka tidak menghapus budaya masyarakat yang meletakkan sesajen di pojok-pojok saat membangun rumah. Mengingat mubazir jika makanan tersebut dibuang, maka makanan itu dibiarkan dan niatnya diubah.

"Niatnya diganti menjadi tasyakkuran dan mengajak doa bersama," terangnya.

Pria asal Gorontalo itu mengungkapkan bahwa hal tersebut diperoleh para ulama NU dengan ijtihad dari hasil bacaannya yang panjang dengan bacaannya yang luas.

"Kiai-kiai NU itu saking bacaannya luas, bisa merumuskan hal itu (tiga unsur bangunan seperti disebutkan di atas)," katanya,

Terakhir yaitu, Al-harakah wa al-Siyasah al-Nahdliyah, gerakan dan politik ke-NU-an. Seorang pelajar baru menanyakan bagaimana siyasah NU. "NU memandang siyasah yang paling penting adalah intinya, bukan luarannya. Inti yang ia maksud adalah kemasalahatan dunia dan akhirat, sedang luarannya adalah bungkusnya berupa khilafah, salthanah, ataupun jumhuriyah", imbuh Aniq.

Menurutnya, yang paling penting dari  siyasah adalah adanya kemaslahatan dunia dan kemaslahatan akhirat.

Jika Pancasila sudah cukup untuk membuat terwujudnya maslahah duniawiyah dan maslahah ukhrawiyah, hal ini menurutnya sudah cukup sebagai suatu pegangan politik. Pasalnya, politik atau siyasah, menurutnya, tidak dibahas di dalam Al-Qur'an maupun Hadits. "Di Al-Qur'an itu gak ada kata-kata siyasah. Hadits Nabi juga tidak ada yang membicarakan siyasah," ujarnya.

Politik NU itu penerimaan terhadap Pancasila. "NU ormas pertama yang menerima Pancasila," ujar pria yang baru saja menyelesaikan studi Magisternya itu.