Takbir yang Salah Kaprah

 
Takbir yang Salah Kaprah

TAKBIR mengalun memantik kerinduan di kala idul fitri. Takbir memadamkan gejolak dan murka dalam zikir yang tak berkesudahan. Bahkan takbir jadi semacam garis demarkasi antara apa yang bertendensi duniawi dan dimensi ukhrawi dalam sembahyang; sebagai jendela yang menutup segala kebisingan menuju keheningan. 

Di sisi lain, cukup ramai sekelompok massa dengan lantang dan bertalu-talu meneriakkan takbir di jalan-jalan. Tak jarang takbir diselipkan dalam ceramah bernada tinggi dan berisi provokasi. Bahkan kerap terjadi persekusi sembari meneriakkan takbir. 

Barangkali sekelompok massa tersebut menyadari namun tak sepenuhnya memahami bahwa takbir sebagai semacam doktrin teologis dan supremasi kekuasaan Tuhan. Mereka meneriakkan takbir nyaris dengan penuh keangkuhan dan penghakiman. Bahkan saat mereka melakukan aksi vandal sekali pun. 

Dalam kehidupan sosial, terjadi semacam gesekan-gesekan kecil antara mayoritas dan minoritas. Gesekan-gesekan tersebut kadang dimanfaatkan oleh beberapa oknum. Kaum intoleran maupun elit politik yang punya segunung kepentingan. Bahkan keduanya kerapkali bertaut.

Barangkali kaum intoleran adalah mereka yang berangkat dari kedangkalan dan berakhir pada kecurigaan. Keretakan antara melihat realitas idealitas ajaran agama. Akhirnya sikap tersebut bermuara pada persekusi. 

Kebangkitan kelompok-kelompok semacam itu tak jarang ditandai dan dimulai dari bagaimana memaknai takbir. Takbir yang diteriakkan saat melangsungkan aksi (persekusi) dengan penuh keangkuhan dan kekerasan. Kaum intoleran yang salah kaprah semacam itu berupaya meneriakkan takbir sebisa mungkin untuk menakut-nakuti.

Lewat takbir, kaum intoleran pada umumnya tengah mengukuhkan superioritas-nya di tengah kehidupan sosial. Seolah-olah mereka adalah pemegang otoritas kebenaran dan kekuasaan tertinggi. Padahal takbir itu memuji Tuhan Yang Maha Besar, bukan malah menegaskan keangkuhan manusia. Pada akhirnya takbir jadi identik dengan demonstrasi dan persekusi.

Dapat dipastikan, takbir yang diteriakkan oleh kaum intoleran bukan lahir dari kemurnian sebagaimana takbir di idul fitri, dalam zikir, atau dalam sembahyang. Melainkan lahir dari ambisi dan nafsu yang nyaris terus dipelihara dan dibungkus oleh simbolisasi kepuritanan. 

Pada titik itu, makna takbir pun bergeser dan pada saat yang sama mereduksi kebesaran Tuhan itu sendiri. Takbir yang dibawa untuk kekerasan mengubah makna takbir sebagai pengakuan yang menegaskan kelemahan manusia di hadapan Tuhan. Nabi Muhammad sendiri meletakkan takbir sebagai dasar dalam membangun struktur masyarakat yang egaliter dan tanpa kekerasan. 

Takbir sebagai akar perubahan dari jaman dehumanisasi menuju jaman di mana manusia diperlakukan sebagai manusia seutuhnya. 

Setelahnya, tak ada satu pun manusia yang diizinkan melecehkan apalagi memersekusi manusia lain hanya lantaran berbeda pandangan dan keyakinan. Kebesaran dan otoritas Tuhan tak akan tertandingi oleh manusia macam apapun.

Reposisi Takbir dan Sikap Kita

Perlu diingat, secara umum ajaran Islam sangat memerhatikan kelompok yang mengalami eksklusi sosial. Ini menjadi semacam dasar doktrin sosial Islam yang tak bisa dilanggar. Sejalan dengan itu, takbir sebagai semacam prinsip bahwa tak ada seorang manusia dan makhluk apapun yang berhak memersekusi serta berlaku ‘semau-maunya’. 

Asghar Ali Engineer dalam tulisannya “Tragedi Karbala dalam Perspektif Sejarah” menarik dan mengemukakan sebuah kisah. Ketika Nabi Muhammad SAW memerintahkan Bilal—seorang budak hitam yang dibebaskan—menjadi muazin. “Allahu Akbar,” kata Bilal. Ia meneriakkan kalimat itu, selain untuk memanggil umat Muslim sembahyang, ia juga tengah mengafirmasi dirinya; semua manusia harus diperlakukan sama. 

“Allahu Akbar”, kata bilal kedua kali. Tak ada manusia yang berkulit putih atau hitam. Bermata sipit dan bukan. Hidung mancung atau pesek. Yahudi atau Nasrani. Syiah atau Ahmadiyah. Bilal telah merdeka. Tidak ada lagi tuan baginya. Ia dan manusia lainnya berkedudukan setara. Selain Tuhan, hak semua manusia itu sama.

Keberagaman (pikiran) yang diberikan Allah, sebagaimana dalam Qur’an, hanya sebagai media untuk saling mengenal, bukan saling mencurigai dan menjatuhkan. Kita tahu, hanya Allah Yang Maha Besar dan mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. Tak ada manusia yang paling tahu apa yang paling benar di dunia. Sebab itu tak ada persekusi dan kekerasan yang dilegalkan atas nama agama. 

“Tuhan tak perlu dibela,” menjadi semacam kredo pemikiran Gus Dur yang sangat masyhur. Kalimat tersebut meringkas sekaligus meringkus kita pada ajaran agama yang damai dan menyejukkan. 

Sekaligus mengisyaratkan, kalau benar-benar percaya pada Kebesaran Tuhan, maka saya atau kita tak akan memosisikan diri superior, paling tahu atas kebenaran dan pemikiran orang lain sehingga merasa berhak membela agama dan Tuhan.

Artinya bilamana semakin banyak kasus persekusi terjadi, itu menandakan pemahaman dan perenungan terhadap kebesaran Tuhan masih dangkal. Karenanya tidak ada alasan untuk mendiamkan tindakan persekusi. Selain berlawan dengan ajaran Islam, sikap-sikap semacam itu bisa meruntuhkan sendi-sendi kebangsaan kita.

Secara kompleks, dibutuhkan komitmen bersama dalam menyelesaikan setiap persoalan tanpa persekusi, di tataran sosial maupun di tingkat elit, antar lembaga dan organisasi. Meski memang membangun komitmen dengan kelompok intoleran akhir-akhir ini tak mudah. Dibutuhkan keberanian dan ketegasan dalam menghadapinya. Baik lewat penyadaran agama-sosio-kultural, maupun bila perlu dilawan melalui perangkat hukum yang telah disediakan.

Kalau tidak demikian, ancaman kehancuran bisa datang kala orang-orang mulai menganggap bahwa persekusi yang membawa takbir sebagai slogan adalah bagian dari ajaran Islam. Karena itu, secara personal, takbir harus ditarik dan diposisikan kembali sebagai semacam afirmasi bagi kesetaraan manusia. Dengan begitu takbir dapat ditafsirkan dan diwujudkan melalui sikap rendah hati dan jauh dari anarki.

Bilamana takbir dipahami demikian, maka umat Islam khususnya tak akan mudah menghakimi orang. Tak mudah memonopoli kebenaran pikiran dan tindakan. Tak hendak bertalu-talu diteriakkan sebagai simbol keangkuhan. Dan orang-orang tak mudah terjerembap dalam jebakan intoleran. 

Sebab itu, selain takbir, ada tasbih, kalimat puji-pujian atas Kesucian Tuhan. Bukankah Kesucian Tuhan menegaskan bahwa tak ada manusia yang layak menganggap dirinya paling suci dan menyucikan?

Oleh: Mohamad Baihaqi Alkawy

Qalama Institute, Aktifis KBI NTB dan Pengurus LTN NU Loteng