Kajian Kritis Seputar Dalil Tradisi Rebo Wekasan

 
Kajian Kritis Seputar Dalil Tradisi Rebo Wekasan
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Salah satu tradisi yang masih melekat di Nusantara sampai saat ini adalah Rebo Wekasan. Yaitu hari Rabu terakhir dari Bulan Shafar. Pada hari Rabu terakhir di Bulan Shafar ini diyakini sebagian masyarakat terkait dengan turunnya banyak malapetaka. Malapetaka yang mungkin terjadi pada siapa saja. Sehingga hari Rabu tersebut dikatakan sebagai “hari sial”.

Tak hanya di bumi Nusantara saja, di beberapa belahan dunia yang lain, keyakinan tersebut juga dipercaya. Banyak cara yang dilakukan untuk terhindar dari malapetaka tersebut. Mulai dari cara yang sederhana hingga beberapa ibadah khusus dilakukan demi keselamatan dari “malapetaka”.

Sebagai seorang muslim yang terus belajar, tentunya tidak salah jika kita tidak bisa begitu saja mempercayai hal semacam tradisi Rebo Wekasan. Apalagi informasi tentang turunnya malapetaka yang tidak kasat mata atau ghaib itu. Al-Munawi dalam Kitab Faidhul Qodir mengutip perkataan Al-Hafidz Ad-Dimyathi mengenai hal tersebut,

 وَهَذَا الْعِلْمُ لَا يَدْرِيْهِ إِلَّا نَبِيٌّ أَوْ وَصِيُّ الْأَنْبِيَاءِ 

“Ilmu ini (Ghaib) tidak bisa diketahui kecuali oleh seorang Nabi atau Wali”.

Akan tetapi, ada Hadis yang bereda liar menyatakan bahwa hari Rabu di akhir bulan merupakan hari sial. Hadis yang dimaksud itu adalah berikut ini,

 اَخِرُ أَرْبِعَاءَ فِى الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ

“Hari rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari sial selalu.”

Hadis ini memang secara tegas memberikan informasi bahwa hari rabu terakhir merupakan hari sial. Namun, seperti apakah kualitas hadis tersebut? Sehingga kita tidak ragu bagaimana memposisikan hadis ini. Karena itu perlu ditinjau secara kritis.

Dari penelusuran yang dilakukan terkait dengan status Hadis tersebut, penulis menemukan teksnya di beberapa kitab Hadis yang sebagian kitabnya sudah tersebar di kalangan umum. Hadis ini diriwayatkan oleh Waki’ dalam Kitab Al-Ghurar min Al-Akhbar, dan Ibn Marduwaih dalam tafsirnya, dan Al-Khathib melalui jalur Ibnu Abbas.

Dari sekian mata rantai yang menjembatani antara para mukharrij dan sumber teks (baca: Rasul) ada salah satu rawi yang bermasalah, yaitu Maslamah bin As-Shult. Meskipun Ibnu Hibban memasukkan Maslamah bin As-Shult dalam Kitab As-Tsiqat, namun, para kritikus lainnya memberi penilaian yang berbeda. Abu Hatim menilainya dengan متروك الحديث, sementara Ibnu ‘Adi mengatakan ومسلمة ليس بالمعروف, sedangkan Al-Azdi mengatakan ضعيف الحديث ليس بحجة.

Dalam kajian Al-Jarh wa At-Ta’dil , Ibnu Hibban tergolong mutasahil dalam melakukan tautsiq (menetapkan status dipercaya) seorang rawi. Sehingga tautsiq Ibnu Hibban tidak bisa dijadikan tolak ukur dalam menilai seorang rawi. Abu Hatim oleh para ulama dinilai sebagai kritikus yang mutasyaddid yang tidak mudah men-tautsiq seorang rawi. Sementara Ibnu ‘Adi dikenal sebagai kritikus yang Mu’tadil. Dalam kajian  Al-Jarh wa At-Ta’dil, para kritikus mu’tadil-lah yang selalu dijadikan tolak ukur dalam menilai seorang rawi, dalam hal ini Ibnu ‘Adi. Dari sini bisa disimpulkan bahwa Maslamah bin As-Shult adalah rawi yang bermasalah dengan tingkatan matruk. Hadis melalui jalur ini dinilai dho’if dengan tingkatan matruk (harus ditinggalkan).

Memang ada sanad lain yang bermuara pada sahabat Ibnu Abbas, atau kita kenal sebagai hadis mauquf. Namun, lagi-lagi masalah rawi. Sanad ini di dalamnya terdapat rawi yang bermasalah, yaitu Al-Abzari.

Para kritikus menilai Al-Abzari sebagai rawi yang bermasalah. Ibnu Hajar dalam Kitab Lisan al-Mizan menilai Al-Abzari sebagai Kadzdzab Qolilul Haya’ atau seorang pendusta yang sedikit rasa malunya. Begitupula Ad-Dzahabi dalam Kitab Mizanul I’tidal mengutip perkataan Ahmad bin Kamil menilai Al-Abzari sebagai pendusta. Sehingga Al-Abzari dikenal dengan julukan  منقارatau paruh burung. Julukan ini disematkan pada Al-Abzari karena merupakan pendusta yang sering ber-cuit layaknya burung yang tidak memperhatikan benar tidaknya apa yang dibicarakan.

Dari kedua sanad di atas, baik yang marfu’ maupun yang mauquf, keduanya sama-sama bermasalah. Bahkan menduduki tingkat terendah dari beberapa tingkatan dho’if, yaitu maudhu’ dan matruk. Sehingga hadis ini tidak bisa dijadikan pijakan meskipun bukan dalam ranah hukum dan aqidah.

Sebenarnya masih ada beberapa sanad lagi mengenai hal ini, namun Al-Munawi dalam Faidhul Qadir mengutip perkataan As-Sakhawi yang mengatakan,  وطرقها كلها واهية (dan semua jalurnya lemah). As-Syanqithi dalam tafsirnya mengatakan bahwa hari sial yang disematkan pada hari Rabu, baik hari Rabu di bulan tertentu atau hari Rabu secara muthlak tidak memiliki pijakan dalil yang shahih.

Status terkait matan Hadis

Sudah menjadi kasus yang sangat masyhur di kalangan ulama, baik muhaddisin maupun fuqaha’ dan ushuliyyin, bahwa Hadis maudhu’ dan matruk tidak bisa dijadikan pijakan, baik dalam masalah hukum, aqidah, ataupun fadhailul amal dan At-Tarhib wa At-Targhib. Bahkan meriwayatkan saja tidak boleh jika tidak dijelaskan ke-maudhu’-annya. Namun, apakah ke-maudhu’-an sanad meniscayakan ke-maudhu’-an matan? Sehingga matannya tidak bisa diamalkan sama sekali.

“Hari sial” atau “hari nahas” sebenarnya disebutkan juga dalam Al-Qur’an setidaknya dua kali. Pertama disebutkan dengan bentuk jamak dalam surat Fusshilat ayat 16 dan dengan bentuk mufrod dalam surat Al-Qomar ayat 19.

Kedua lafadz tersebut disebutkan dalam konteks yang sama, yaitu menbicarakan Kaum ‘Ad. Dalam surat Al-Qomar berbunyi,

 إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ

“Kami kirimkan kepada mereka (‘Ad) angin yang dahsyat dan dingin di hari sial yang terus-menerus).” Sementara dalam surat Fusshilat berbunyi,

 فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي أَيَّامٍ نَحِسَاتٍ لِنُذِيقَهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا  

“Maka kami kirimkan kepada mereka (‘Ad) angin yang dahsyat dan dingin di hari-hari sial agar kami menyicipkan kepada mereka siksa yang hina di dunia.”

Yang menarik untuk dikaji di sini adalah kesamaan yang ada pada ayat dan hadis lemah di atas. Keduanya sama-sama menggunakan kata يوم نحس مستمر yang berarti hari sial yang terus-menerus. Sementara pada ayat yang di Surat fusshilat, ada sedikit perbedaan, yaitu menggunakan bentuk jamak dan tidak ada sifat مستمر yang dalam ilmu ushul fiqih hal ini disebut dengan kata yang muthlaq. Dari sni kita temukan dua bentuk kata, kata yang muthlaq dan kata yang muqayyad. Ada sebuah kaidah dalam ushul fiqh,

 إِذَا وَرَدَ اللَّفْظُ مُطْلَقًا وَمُقَيَّدًا، يَحْمِلُ الْمُطْلَقُ عَلَى الْمُقَيَّدِ

“Jika terdapat lafadh yang muthlaq dan muqayyad dalam satu hal, maka lafadh yang muthlaq mencakup juga lafahd yang muqayyad.”

Sehingga jika kaidah ini diterapkan pada kasus yang sedang kita dalami, maka akan menjadi susunan kalimat berikut ini, أيام نحسات مستمرة atau hari-hari yang sial yang terus menerus.

Ada beberapa kemungkinan mengenai kata مستمرة yang memiliki arti “terus menerus”. Apakah terus menerus sejak Kaum ‘Ad hingga sekarang ataukah terus menerus bagi mereka Kaum ‘Ad.

Jika kita lihat kedua ayat tersebut, ada lafadh yang menarik untuk dikaji, yaitu لِنُذِيقَهُمْ عَذَابَ الْخِزْيِ yang di dalamnya terdapat huruf jar yang berhubungan erat dengan lafadh sebelumnya yang berbunyi فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي أَيَّامٍ نَحِسَاتٍ.

Sehingga kedua ayat tersebut memiliki arti في أيام نحسات مستمرة لنذيقهم عذاب الخزي. Hal ini juga yang diperkuat oleh ahli tafsir As-Syanqithi yang mengatakan bahwa sesungguhnya sialnya hari tersebut terus-menerus pada Kaum ‘Ad saja yang telah Allah hancurkan di hari tersebut, maka siksa alam barzakh yang merupakan pintu awal akhirat menyambung dengan siksa dunia, sehingga kesialan mereka terus menerus tanpa ada putusnya. Dari sini, kita bisa tahu bahwa ayat ini tidak ada hubungannya dengan hari Rabu terakhir dari Bulan Shafar maupun bulan-bulan lainnya.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apa hari sial itu? Apakah betul itu adalah hari Rabu? Atau ada hari sial lain selain hari Rabu? Kenapa harus ada hari sial?

Pertama, kita harus percaya adanya hari sial tersebut berdasarkan penuturan Al-Qur’an tadi tanpa membatasinya dngan hari-hari tertentu. Selanjutnya kita kaji ruang lingkup yang membatasi hari sial ini, mulai dari kapan hari sial itu dan kenapa mesti ada hari sial.

Dalam kedua ayat tersebut, “hari sial” disebutkan dalam konteks yang sama dan dalam posisi yang sama. Kedua kata “hari sial” disebutkan dalam konteks penuturan siksa yang ditimpakan pada kaum ‘Ad yang membengkan pada nabi Hud. Keduanya disebutkan setelah Allah menjelaskan bahwa kaum ‘Ad telah mengingkari ayat-ayat Allah, kemudian Allah mengirim adzab pada mereka di hari-hari sial.

Ibn As-Subki dalam Kitabnya Al-Ibhaj fi Syarh Al-Minhaj menyebutkan bahwa salah satu cara penentuan ‘illat atau alasan dari sebuah hukum atau kejadian dari sebuah teks adalah adanya penyebutan hukum atau kejadian setelah penyebutan sebuah sifat serta adanya huruf fa’ pada salah satunya. Dalam konteks ini, penyebutan hari sial tejadi setelah penyebutan pengingkaran kaum ‘Ad terhadap utusan Allah dengan disertai penyebutan fa’ yang memberi indikasi bahwa ‘illat (alasan) turunnya adzab di hari sial tersebut dilatarbelakangi oleh maksiat dan pengingkaran terhadap ajaran Allah. Dengan demikian, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa hari sial berlaku pada orang yang melakukan maksiat. Sementara orang mukmin yang konsisten terhadap ajaran agama, hari-hari mereka selalu baik. Hal ini didukung oleh Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dengan redaksi;

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاِكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

“Kagum terhadap keadaan orang mukmin, semua perkaranya baik, dan hal tersebut tidak dimiliki kecuali oleh orang mukmin. Saat dia bahagia dia bersyukur, maka menjadi kebaikan baginya, saat ditimpa musibah, dia bersabar, maka menjadi kebaikan baginya.”

Dari itulah, ayat ini tidak ada hubungannya dengan hari Rabu terakhir dari Bulan Safhar. Karena secara lafadh memang tidak mengarah ke sana. Sehingga ayat-ayat ini tdak bisa dijadikan pijakan terkait dengan rebo wekasan.

Rebo Wekasan berdasarkan ilham seorang Wali

Kendati tidak ditemukan dalil shahih mengenai hari sial di hari Rabu terakhir Bulan Shafar, namun ada sebagian sumber menyebutkan, bahwa Rebo Wekasan itu bukan didasarkan pada Hadis Nabi atau ayat Al-Qur’an. Akan tetapi berdasarkan ilham seorang waliyullah yang melihat di hari terakhir dari Bulan Shafar akan turun sekian banyak malapetaka. Seperti yang dituturkan dalam Kitab Mujarrabat Ad-Dairabi sebagai berikut “Sebagian orang yang ahli ma’rifat kepada Allah (wali) menyebutkan, bahwa dalam setiap tahun akan turun tiga ratus dua puluh ribu malapetaka, semuanya terjadi pada rabu terakhir bulan shafar, sehingga hari tersebut menjadi hari tersulit dalam hari-hari tahun itu.”  

Jika itu memang benar, maka pertanyaannya adalah, apakah ilham orang wali bisa dijadikan pijakan hukum? Apakah pengamalan ilham orang wali sudah mendapatkan legitimasi dari syariah?

Kutipan dari Kitab Mujarrabat Ad-Dairabi memberikan informasi bahwa perihal turunnya malapetaka yang sangat banyak tersebut dituturkan oleh seorang wali dan bukan dari hadis. Pengetahun seorang wali mengenai hal ghaib merupakan karomah yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki. As-Syaukani dalam Kitab Fathul Qadir mengutip As-Sahruwardi saat menyebutkan karomah orang wali, kadang mereka mengetahui sebagian kejadian sebelum waktu terjadinya. Ibnu Hajar dalam Kitab Fathul Bari mengatakan saat menjelaskan hadis Juraij, bahwa hadis ini menunjukkan bolehnya terjadinya karomah bagi orang wali dengan kehendak mereka.

An-Nawawi dalam Kitab Syarh Muslim mengatakan saat menjelaskan Hadis tentang pertanyaan Rasulullah siapa saja yang puasa hari ini dan yang menjenguk orang sakit hari ini, Hadis ini menunjukkan bolehnya terjadinya karomah bagi orang wali dan ini adalah Mazhab Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa mengatakan,

 وَمِنْ أُصُوْلِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ: اَلتَّصْدِيْقُ بِكَرَامَاتِ الْأَوْلِيَاءِ وَمَا يَجْرِي اللهُ عَلَى أَيْدِيْهِمْ مِنْ خَوَارِقِ الْعَادَاتِ فِي أَنْوَاعِ الْعُلُوْمِ وَالْمُكَاشَفَاتِ

“Salah satu dasar Aqidah Ahlussunnah adalah membenarkan karomah para wali dan apa yang Allah jalankan pada tangan mereka yang berupa hal-hal yang di luar kebiasaan dalam beberapa ilmu dan mukasyafah.”

Pernyataan Ibn Taimiyah ini mengharuskan kita percaya dan mengakui adanya karomah yang Allah berikan pada seorang wali yang Allah kehendaki semisal hal yang berhubungan dengan pengetahuan yang Allah berikan pada hamba yang disebut dengan ilham.

Di sisi lain, bahwa mayoritas ulama tidak setuju jika ilham dijadikan pijakan hukum islam. Namun, ilham dalam kasus ini tidak sedang berbicara hukum. Akan tetapi berbicara tentang informasi kejadian ghaib, yaitu turunnya malapetaka di hari Rabu terakhir dari Bulan Shafar yang biasa terjadi pada para wali Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah

Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa turunnya malapetaka di hari Rabu terakhir dari Bulan Shafar atau kita sebut sebagai hari sial tidak berdasarkan dalil yang shahih. Akan tetapi berdasarkan ilham yang Allah berikan pada seorang wali yang Allah kehendaki.

Ilham dalam konteks ini dapat dibenarkan dan diamalkan seperti yang dikatakan oleh An-Nawawi, Ibn hajar, dan Ibn Taimiyah. Ilham memang bukan dalil syar’i, tapi Ilham sudah mendapatkan legitimasi dari syariat untuk dibenarkan selama tidak bertentangan dengan dalil syar’i. Wallahu ‘Alam bis Showab. []


Penulis: Badrut Tamam

Editor: Hakim