Muhammad SAW, Sang Penutup Para Nabi

 
Muhammad SAW, Sang Penutup Para Nabi
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Muhammad SAW adalah penutup para nabi. Karena itu tidak mungkin dan tidak akan pernah ada nabi sepeninggalnya. Ini adalah fakta dan ketentuan dari Allah SWT.  Kenyataan ini juga telah menjadi kesepakatan umum (ijma') kaum Muslim dan prinsip agama yang harus diyakini.

Nabi Muhammad SAW bersabda:

مَثَلِي ومَثَلُ الأنْبِياءِ مِن قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بُنْيانًا فأحْسَنَهُ وأَجْمَلَهُ، إلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِن زاوِيَةٍ مِن زَواياهُ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ به ويَعْجَبُونَ له ويقولونَ: هَلّا وُضِعَتْ هذِه اللَّبِنَةُ قالَ فأنا اللَّبِنَةُ، وأنا خاتَمُ النبيِّينَ. وفي رِوايَةٍ : مَثَلِي ومَثَلُ النبيِّينَ فَذَكَرَ نَحْوَهُ مَثَلِي ومَثَلُ الأنْبِياءِ مِن قَبْلِي كَمَثَلِ رَجُلٍ بَنَى بُنْيانًا فأحْسَنَهُ وأَجْمَلَهُ، إلَّا مَوْضِعَ لَبِنَةٍ مِن زاوِيَةٍ مِن زَواياهُ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَطُوفُونَ به ويَعْجَبُونَ له ويقولونَ: هَلّا وُضِعَتْ هذِه اللَّبِنَةُ قالَ فأنا اللَّبِنَةُ، وأنا خاتَمُ النبيِّينَ.

"Perumpamaan diriku dan para nabi sebelumku tak ubahnya orang yang mendirikan bangunan. Dia memperbagus dan memperindahnya, menyisakan satu ruang untuk batu bata di sebuah sudut. Orang-orang pun mengelilingi bangunan itu dan mengaguminya, lalu berkata, 'Bukankah batu bata ini mesti dipasang?' Nah, akulah batu bata itu. Akulah penutup para nabi." (HR. Muslim)

Oleh karena itu, kita memahami bahwa dakwah dan risalah yang disampaikan Nabi Muhammad SAW merupakan penegas dan pelengkap bagi risalah-risalah Tuhan yang telah diturunkan sebelumnya. Buktinya, dakwah para nabi itu didasarkan atas dua hal, yaitu akidah serta hukum dan akhlak. Perihal yang berkaitan dengan akidah, kita semua tahu bahwa kandungannya tidak pernah berubah sejak Nabi Adam AS, hingga Nabi Muhammad SAW. Semua nabi dan rasul menyeru manusia untuk beriman pada keesaan Allah dan menyucikan-Nya dari segala sifat yang tidak layak bagi-Nya. Mereka juga mendakwahkan keimanan pada Hari Akhir, hisab, surga, dan neraka. Semua nabi mengajak kaumnya untuk mengimani semua itu. Masing-masing hadir untuk membenarkan dakwah nabi sebelumnya dan memberi kabar gembira tentang pengutusan nabi setelahnya.

Demikianlah kenabian mereka sampai ke berbagai kaum dan umat agar mereka menegaskan satu hakikat yang diperintahkan untuk disampakan dan manusia ditugasi untuk tunduk, yakni memeluk agama Allah SWT semata. Hal inilah yang dijelaskan dalam firman Allah SWT berikut ini:

شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِۗ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِۗ اَللّٰهُ يَجْتَبِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يُّنِيْبُۗ

“Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama yang Dia wasiatkan (juga) kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki pada (agama)-Nya dan memberi petunjuk pada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. Asy-Syura: 13)

Kita tidak bisa membayangkan bagaimana rancunya jika seandainya dakwah para nabi yang jujur itu berbeda-beda dalam perkara akidah. Sebab, urusan akidah tergolong pemberitaan, sedangkan pemberitaan tentang sesuatu tidak mungkin berbeda-beda antara penyampai berita yang satu dan penyampai berita yang lain, jika semua penyampai berita itu jujur. Tidak masuk akal jika ada salah seorang nabi yang diutus untuk menyampaikan kepada manusia bahwa Allah SWT adalah satu di antara yang tiga. Maha Suci Allah dari perkataan mereka itu. Kemudian, setelahnya diutus seorang nabi lain untuk menyampaikan kepada manusia bahwa Allah Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Padahal semua nabi itu jujur dalam menyampaikan risalah dan berita dari Allah SWT. Kita wajib yakin dan percaya bahwa semua nabi itu adalah orang-orang yang jujur, dapat dipercaya dan amanah.

Demikian itu berkaitan dengan akidah. Sementara, hal yang berkaitan dengan syariat, yakni bentuk hukum yang mengatur kehidupan individu dan masyarakat, setiap nabi mengajarkan cara yang berbeda-beda. Sebab, syariat tergolong dalam penyusunan, bukan pemberitaan, sehingga ia tidak memiliki karakteristik seperti yang diuraikan tadi, mengenai akidah.

Lagi pula, perkembangan zaman serta perbedaan antar umat dan antar kaum pasti mempengaruhi perkembangan dan wujud syariat. Perbedaan itu pasti terjadi karena syariat dilandasi prinsip kesesuaian dengan tuntutan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat mereka. Inilah alasannya mengapa setiap nabi sebelum Nabi Muhammad SAW diutus, mereka hanya dikhususkan untuk umat tertentu, bukan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, hukum syariat masing-masing berlaku secara terbatas dalam bingkai yang sempit, sesuai dengan tuntutan keadaan umat yang bersangkutan.

Sebagai contoh, Nabi Musa AS diutus kepada Bani Israil dengan menetapkan syariat yang sangat keras dan ketat sesuai dengan kondisi Bani Israil kala itu. Nyaris tidak ada kelonggaran di dalamnya. Zaman pun berganti, kemudian Allah mengutus di tengah mereka Sayyidina Isa AS. Disampaikanlah syariat yang lebih mudah dan lebih ringan dibanding syariat sebelumnya yang dibawa Nabi Musa AS. Keterangan mengenai hal ini, kita bisa melihat firman Allah SWT melalui ucapan Isa AS ketika berkata kepada Bani Israil, sebagaimana terdapat dalam Surat Ali Imran ayat 50:

وَمُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرٰىةِ وَلِاُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِيْ حُرِّمَ عَلَيْكُمْ وَجِئْتُكُمْ بِاٰيَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْۗ فَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوْنِ

“Dan (Aku diutus untuk) membenarkan Taurat yang (diturunkan) sebelumku dan untuk menghalalkan bagi kamu sebagian perkara yang telah diharamkan untukmu. Aku datang kepadamu dengan membawa tanda (mukjizat) dari Tuhanmu. Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.”

Nabi Isa AS juga menerangkan kepada mereka bahwa berkaitan dengan urusan akidah, dia membenarkan dan menegaskan keterangan yang ada dalam Taurat. Disampaikanlah kembali bahwa Tuhan yang harus disembah adalah Allah Yang Maha Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Nya.

Sementara, perkara yang berkaitan dengan syariat serta hukum halal dan haram, Nabi Isa AS ditugasi untuk melakukan beberapa perubahan dan memudahkan beberapa hal yang sulit, serta menghapuskan sejumlah peraturan hukum yang terlalu ketat yang ada dalam syariat sebelumnya.

Jadi, semua nabi dan rasul diutus kepada suatu kaum dengan membawa akidah dan syariatnya masing-masing. Dalam urusan akidah, masing-masing nabi dan rasul menegaskan akidah yang diajarkan nabi sebelumnya, tanpa perbedaan atau perubahan. Sementara dalam urusan syariat, setiap nabi dan rasul menghapus syariat sebelumnya, kecuali beberapa perkara yang didukung syariat yang datang belakangan, atau yang didiamkannya. Hal itu sesuai dengan kaidah yang menegaskan bahwa syariat sebelum kita adalah juga merupakan syariat kita, selama tidak ada syariat baru yang menghapus dan menyelisihinya.

Dengan demikian, jelaslah bahwa agama samawi itu hanya satu. Para nabi dan rasul diutus oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hanya saja syariat yang dibawanya ada perbedaan. Syariat yang telah lalu dihapuskan dan dilengkapi sebagiannya oleh syariat yang datang belakangan. Perkembangan syariat itu mencapai puncaknya yang lengkap dan sempurna melalui kerasulan Muhammad SAW, sang penutup para nabi dan rasul. Kenyataan ini tidak bisa terbantahkan selamanya.

Kita meyakini hanya ada satu Ad-Din Al-Haqq (agama sejati), dan bahwa seluruh nabi diutus untuk mendakwahkannya serta memerintahkan manusia untuk memeluknya, sejak zaman Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW, sang penutup para nabi dan rasul. Dan agama sejati itu tidak lain adalah Islam. Ibrahim, Ismail, Ya’qub dan semua nabi diutus untuk membawanya.

Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَّرْغَبُ عَنْ مِّلَّةِ اِبْرٰهٖمَ اِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهٗ ۗوَلَقَدِ اصْطَفَيْنٰهُ فِى الدُّنْيَا ۚوَاِنَّهٗ فِى الْاٰخِرَةِ لَمِنَ الصّٰلِحِيْنَ اِذْ قَالَ لَهٗ رَبُّهٗٓ اَسْلِمْۙ قَالَ اَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَ وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۗ

“Siapa yang membenci agama Ibrahim selain orang yang memperbodoh dirinya sendiri? Kami benar-benar telah memilihnya (Ibrahim) di dunia ini dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang-orang saleh. (Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), “Berserahdirilah!” Dia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.” Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub, “Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan memeluk Islam (sebagai seorang Muslim).” (QS. Al-Baqarah: 130-132)

Kita tahu bahwa Nabi Musa AS pun diutus dengan risalah Islam kepada Bani Israil. Allah SWT berfirman tentang para penyihir Fir’aun ketika berhadapan dengan Nabi Musa AS:

قَالُوْٓا اِنَّآ اِلٰى رَبِّنَا مُنْقَلِبُوْنَۙ وَمَا تَنْقِمُ مِنَّآ اِلَّآ اَنْ اٰمَنَّا بِاٰيٰتِ رَبِّنَا لَمَّا جَاۤءَتْنَا ۗرَبَّنَآ اَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَّتَوَفَّنَا مُسْلِمِيْنَ ࣖ

“Mereka (para penyihir) menjawab, “Sesungguhnya kami hanya akan kembali kepada Tuhan kami. Engkau (Fir‘aun) tidak menghukum kami, kecuali karena kami beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami.” (Mereka berdoa,) “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami dan matikanlah kami dalam keadaan muslim (berserah diri kepada-Mu).” (QS. Al-A'raf: 125-126).

Kita juga tahu bahwa Nabi Isa AS pun datang dengan membawa risalah agama yang sama sebagaimana para nabi lainnya.

Allah SWT berfirman:

فَلَمَّآ اَحَسَّ عِيْسٰى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ اَنْصَارِيْٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ قَالَ الْحَوَارِيُّوْنَ نَحْنُ اَنْصَارُ اللّٰهِ ۚ اٰمَنَّا بِاللّٰهِ ۚ وَاشْهَدْ بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ

“Ketika Isa merasakan kekufuran mereka (Bani Israil), dia berkata, “Siapakah yang akan menjadi penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?” Para hawari (sahabat setianya) menjawab, “Kamilah penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah dan saksikanlah sesungguhnya kami adalah orang-orang Muslim (yang berserah diri).” (QS. Ali Imran: 52)

Tapi, dari sini mungkin ada yang bertanya, “Lalu mengapa ada orang yang bersikukuh mengklaim bahwa Nabi Musa AS membawa akidah khusus yang berbeda dari akidah tauhid yang disampaikan para nabi yang lain?” Atau pertanyaan, “Mengapa pula ada orang yang mengimani bahwa Isa AS datang dengan akidah yang berbeda?”

Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah firman Allah SWT, sebagaimana terdapat di dalam Surat Ali Imran ayat 19:

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ

“Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah ialah Islam. Orang-orang yang telah diberi kitab tidak berselisih, kecuali setelah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian di antara mereka. Siapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah, sesungguhnya Allah sangat cepat perhitungan-Nya).”

Allah SWT juga berfirman dalam Surah Asy-Syura ayat 13, sebagaimana berikut ini:

۞ شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِۗ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِۗ اَللّٰهُ يَجْتَبِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يُّنِيْبُۗ

“Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama yang Dia wasiatkan (juga) kepada Nuh, yang telah Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), dan yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu: tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki pada (agama)-Nya dan memberi petunjuk pada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”

Kemudian dilanjutkan dengan ayat setelahnya (QS. Asy-Syura: 14) berikut ini:

وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ

“Mereka (Ahlul Kitab) tidak berpecah-belah kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan (tentang kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Seandainya tidak karena suatu ketetapan yang telah terlebih dahulu ada dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Sesungguhnya orang-orang yang mewarisi kitab suci (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Nabi Muhammad) benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentangnya (Al-Qur’an) itu.”

Jadi, dari penjelasan di atas kita memahami dengan utuh, bahwa pada hakikatnya semua nabi diutus membawa risalah Islam, yang merupakan satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah SWT. Para Ahli Kitab pun mengetahui kesatuan agama dan mengetahui bahwa para nabi diutus untuk saling membenarkan agama yang dibawa satu sama lain, dan mereka tidak pernah terpecah-pecah ke dalam berbagai akidah yang berlainan. Hanya saja, Ahli Kitab yang belakangan muncul justru berbeda-beda, saling terpecah-belah dan berselisih atas nama nabi-nabi mereka. Padahal, para nabi tidak pernah mengajari demikian, dan sesungguhnya mereka pun mengetahui perihal itu. Perpecahan itu semata-mata diakibatkan kedengkian di antara mereka, sebagaimana diterangkan Allah SWT dalam Al-Quran. Bahkan, mereka tidak pernah rela untuk mengakui bahwa Nabi Muhammad SAW adalah penutup para nabi dan rasul. []


Catatan: Tulisan ini diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber otoritatif, khususnya dari Kitab Fiqhus Sirah An-Nabawiyah karya Dr. Ramadhan Al-Buthi dan Buku Membaca Sirah Nabi Muhammad (Dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih) karya Prof. Quraish Shihab.

___________

Editor: Hakim