Tahun 661-680 M: Jejak Peradaban Dunia di Era Khalifah Pertama Bani Umayyah

 
Tahun 661-680 M: Jejak Peradaban Dunia di Era Khalifah Pertama Bani Umayyah

Laduni.ID, Jakarta - Peristiwa sejarah dalam periode khalifah pertama Bani Umayyah, yakni Muawiyah bin Abi Sufyan, sungguh menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Dalam rentang waktu ini, terdapat banyak peristiwa penting yang membentuk arah peradaban Islam dan dunia pada masa itu. Dengan memahami lebih dalam tentang periode ini, kita dapat menggali wawasan yang berharga mengenai kebijakan politik, perkembangan agama dan sosial, serta dampaknya terhadap masyarakat pada masa itu.

Peristiwa bersejarah tersebut memperlihatkan pengaruhnya yang meluas, tidak hanya terbatas di Jazirah Arab, tetapi juga menorehkan jejaknya di berbagai belahan dunia lainnya. Melalui penelusuran peristiwa-peristiwa sejarah selama masa pemerintahan Khalifah Muawiyah ini, kita dapat memperkaya pemahaman tentang perkembangan peradaban Islam dan peradaban dunia pada masa itu.

Mari kita telusuri beberapa kejadian menarik yang terjadi di periode masa pemerintahan khalifah pertama Bani Umayyah untuk memahami betapa pentingnya periode tersebut dalam membentuk kehidupan dunia yang kita nikmati hari ini.

Di Jazirah Arab pada periode tahun 661 hingga 680 M, terdapat sejumlah peristiwa bersejarah yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Yang pertama adalah syahidnya Khalifah Ali bin Abi Thalib pada tahun 661 M. Ketika sedang menuju Masjid Agung di Kufah untuk menjalankan Shalat Subuh, Khalifah Ali diserang oleh seorang dari kelompok Khawarij yang bernama Abdurahman bin Muljam. Akibat menderita luka yang cukup parah, Khalifah keempat ini wafat pada tanggal 19 Ramadhan 40 H /661 M dalam usia 63 tahun. Syahidnya Khalifah Ali bin Abi Thalib juga menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin.

Sepeninggal Khalifah Ali bin Abi Thalib, kaum Muslimin sempat mengangkat putranya, yakni Sayyidina Hasan bin Ali. Namun, tiga bulan kemudian Sayyidina Hasan mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan kekhalifahan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Timbang terima jabatan itu berlangsung di Kota Kufah, peristiwa bersejarah ini kemudian dikenal dengan istilah Amul Jama'ah (Tahun Kesatuan). Dengan demikian, Muawiyah bin Abi Sufyan resmi menjadi khalifah, sekaligus menandai berdirinya Daulah/Bani Umayyah yang berpusat di Kota Damaskus, Suriah.

Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan salah satu Sahabat terdekat Rasulullah SAW. Beliau lahir di Kota Makkah empat tahun sebelum Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu yang pertama. Beberapa riwayat menyatakan, bahwa Muawiyah memeluk Islam bersama ayahnya, Abu Sufyan bin Harb dan ibunya Hindun binti Utbah tatkala terjadi Fathu Makkah (Pembebasan Makkah). Namun, riwayat lain menyebutkan, Muawiyah sudah masuk Islam pada peristiwa Umrah Qadha', akan tetapi dirinya menyembunyikan keislamannya sampai pada peristiwa Fathu Makkah.

Di masa Rasulullah SAW, Muawiyah diangkat sebagai salah seorang pencatat wahyu setelah Rasulullah bermusyawarah dengan Malaikat Jibril. Sedangkan pada masa Khulafaur Rasyidin, Muawiyah diangkat sebagai salah seorang panglima perang di bawah komando utama Abu Ubaidah bin Jarrah. Kaum Muslimin berhasil menaklukkan Palestina, Suriah, dan Mesir dari tangan Imperium Byzantium. Berbagai kemenangan ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.

Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, Muawiyah diangkat sebagai gubernur untuk wilayah Suriah dan Palestina yang berkedudukan di Damaskus menggantikan Gubernur Abu Ubaidah bin Jarrah. Dan pada masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sempat terjadi beberapa konflik antara kaum Muslimin. Di antaranya adalah Perang Shiffin, perang ini terjadi antara Khalifah Ali dengan Muawiyah, namun perselisihan ini berakhir dengan perdamaian.

Setelah menjadi khalifah, Muawiyah dikenal sebagai negarawan dan politikus ulung. Dirinya mempunyai kemampuan diplomasi yang sangat tinggi. Semasa pemerintahannya, kaum Muslimin memperoleh kemajuan yang sangat pesat. Tidak hanya dalam penyebaran agama Islam, tetapi juga penemuan-penemuan ilmu lainnya.

Selama berkuasa, beberapa kebijakan telah dibuat dan ada beberapa prestasi yang berhasil diraih Khalifah Muawiyah, di antaranya ketika Byzantium mengerahkan tentaranya untuk memperluas jajahannya di beberapa daerah kekuasaan Bani Umayyah, Muawiyah berhasil menahan dan mengusir tentara Byzantium itu. Muawiyah mengerahkan 1700 kapal perang kecil yang mampu menghalau pasukan musuh. Dengan tidak mengenal lelah, akhirnya kaum Muslimin berhasil menaklukkan pulau Cyprus dan Rhodus di Laut Tengah.

Selain itu, pada tahun 50 H/670 M, Muawiyah mengangkat Uqbah bin Nafi' menjadi gubernur di Maroko. Dengan 10.000 tentara dirinya berhasil mengalahkan pasukan Byzantium di wilayah Afrika Utara tersebut. Muawiyah beserta pasukan Muslim juga mengalahkan bangsa Barbar dan penduduk asli Afrika.

Khalifah Muawiyah juga pernah memperkerjakan orang-orang Kristen dalam berbagai bidang pemerintahannya. Hal ini menunjukan sikap toleransi kaum beragama pada masa itu, dan kebijakan ini terus dilanjutkan oleh khalifah-khalifah selanjutnya sepeninggal beliau.

Kemudian ada kebijakan lainnya dari Khalifah Muawiyah, yakni jika pada masa Khulafaur Rasyidin, pengangkatan khalifah dilakukan dengan cara pemilihan, maka Muawiyah mengubah kebijakan itu dengan cara turun temurun. Hal ini terbukti, ketika Muawiyah wafat pada tahun 680 M, posisi khalifah dilanjutkan oleh anaknya sendiri yang bernama Yazid bin Muawiyah. Yazid menjadi Khalifah kedua Bani Umayyah dari tahun 680 hingga 683 M. Lebih dari itu semua, Khalifah Muawiyah telah meletakkan pondasi Bani Umayyah yang telah mengharumkan nama Islam selama ratusan tahun kemudian. (Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, 2008)

Wilayah Timur Tengah di akhir periode ini tepatnya di tahun 680 M, terdapat peristiwa kelam dalam Peradaban Sejarah Islam, yaitu Tragedi Pertempuran Karbala. Peristiwa ini terjadi di awal pemerintahan Yazid bin Muawiyah sebagai Khalifah kedua Bani Umayyah. Tragedi memilukan ini terjadi pada tanggal 10 Muharram 61 H, di mana saat itu berlangsung pertempuran antara tentara Khalifah Kedua Bani Umayyah dengan pasukan kecil yang dipimpin oleh Sayyidina Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW, di wilayah Karbala (Irak modern).

Dalam pertempuran tersebut, Sayyidina Husain terbunuh bersama sebagian besar kerabat dan sahabatnya, sementara anggota keluarganya yang masih hidup ditawan. Mendengar terbunuhnya Sayyidina Husain, Yazid merasa sedih, tapi di sisi lain juga merasa nyaman setelah melenyapkan rival kuatnya dari keluarga Hasyimi. Pertempuran Karbala ini mendorong berkembangnya partai pro-Ali (Syiah Ali) menjadi sekte keagamaan yang unik dengan ritual dan ingatan kolektifnya sendiri.

Sejak tragedi tersebut pada tanggal 10 Muharram setiap tahunnya, para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib, menjadikan hari itu sebagai hari perkabungan internasional. Dan hingga saat ini, tragedi Karbala menjadi salah satu sejarah penting dalam peradaban Islam. (KH. Husein Muhammad, Tragedi Karbala (1), 2022)

Di Afrika bagian utara pada periode tahun 661-680 M, terdapat peristiwa bersejarah yang menarik yang berkaitan dengan dunia Islam. Peristiwa ini mencerminkan pentingnya pengaruh Islam dalam sejarah wilayah tersebut dan bagaimana agama ini memengaruhi perkembangan masyarakat serta budaya pada masa itu.

Salah satu peristiwa tersebut terjadi pada tahun 665 M, yaitu ekspedisi melawan Kekaisaran Byzantium di Afrika Utara. Sebenarnya ekspedisi ke Afrika Utara ini sudah dilakukan sejak pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab hingga Khalifah Utsman bin Affan, namun sempat mengalami kemandekan di masa pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib, karena terjadi banyak kekacauan/konflik di wilayah Jazirah Arab pada waktu itu. Setelah keadaan di Jazirah Arab mulai kondusif, kemudian ekspedisi melawan Byzantium di Afrika Utara kembali dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan dari Bani Umayyah.

Kala itu Khalifah Muawiyah mengirim pasukan yang dipimpin oleh Ibnu Hudayj untuk menyerbu wilayah Byzacena dan Gabes (distrik Byzantium di Afrika), setelah pasukan Muslim berhasil merebut daerah Bizerte untuk sementara waktu, sebelum akhirnya dipaksa mundur ke Mesir. Tahun berikutnya, Khalifah Muawiyah mengirim Fadala bin Ubaid dan Ruwayfi bin Thabit untuk menyerang pulau Djerba yang dianggap memiliki posisi strategis.

Kemudian pada tahun 667 M, Uqba bin Nafi, seorang komandan dari Suku Quraisy berhasil menegaskan kembali pengaruh Muslim di wilayah Fezzan, dengan merebut Oasis Zawila dan ibu kota Garamantes, Germa.

Setelah itu pada tahun 670 M, komandan Uqba bin Nafi berhasil mencatat prestasi baru dengan menaklukan daerah Ifriqiya (Afrika Utara Tengah). Kemenangan ini memperluas cakupan kekuasaan Bani Umayyah hingga Byzacena (Tunisia Selatan modern), di mana Uqba bin Nafi kemudian mendirikan Kota Garnisun Arab permanen yang dikenal sebagai Kairouan (Tunisia). Tindakan tersebut membuktikan keberhasilan dan ketangguhan pasukan Muslim dalam memperluas wilayah kekuasaan pada masa itu. (History-maps, Umayyad Recapture North Africa, 2024)

Sementara itu di Nusantara periode tahun 661-680 M menyimpan sejumlah peristiwa sejarah yang menarik untuk dieksplorasi lebih dalam dan dapat memberikan wawasan yang berharga tentang sejarah dan perkembangan dinamika masyarakat serta budaya di wilayah Nusantara pada masa lampau.

Pada masa ini, di wilayah Jawa Barat sekarang, terdapat Kerajaan Galuh yang dipimpin oleh seorang Raja bernama Wretikandayun dengan gelar Maharaja Suradarma Jayaprakosa, dirinya memerintah selama 90 tahun sejak tahun 612 hingga 702 M. Wertikandayun memerintah di Galuh setelah melepaskan diri dari Kerajaan Tarumanagara, yang berganti nama menjadi Kerajaan Sunda. Saat itu Kerajaan Sunda sendiri dipimpin oleh Raja Tarusbawa menantu Linggawarman. (Aditia Asmara, Kerajaan Galuh dan Sistem Sosial Pada Masyarakat Kampung Adat Kuta, 2022)

Sedangkan di wilayah Jawa Tengah terdapat Kerajaan Kalingga di bawah pemerintahan Raja Kartikeyasinga, dirinya naik tahta pada tahun 652 dan memerintah hingga tahun 674 M. Kerajaan ini juga dikenal sebagai Kerajaan Holing yang berpusat di sebelah utara Gunung Muria Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Pada tahun 674 M, Raja Kartikeyasinga meninggal dunia dan Maharani Shima atau biasa dikenal sebagai Ratu Shima naik tahta menjadi penguasa Kerajaan Kalingga. Peristiwa ini menjadi momen penting dan menandai perubahan serta perkembangan dalam struktur politik di kerajaan tersebut. Pemerintahan Ratu Shima merupakan contoh dari perempuan yang memegang peranan penting dalam sejarah kerajaan.

Ratu Shima memerintah Kerajaan Kalingga hingga tahun 695 M, selama berkuasa dirinya dikenal sebagai sosok pemimpin perempuan yang tegas dan adil. Sikap tegas dan adilnya ini berhasil membawa Kerajaan Kalingga mencapai puncak masa keemasannya dan membuat Kalingga dikenal di beberapa wilayah dunia.

Pada waktu itu, Kalingga mengambil alih peran bandar dagang teramai yang awalnya dikuasai oleh Kerajaan Tarumanegara di pesisir utara Jawa bagian barat. Selain itu, Ratu Shima juga berhasil mengembangkan sektor pertanian serta kerajinan tangan untuk meningkatkan ekonomi Kerajaan Kalingga. (Yuda Prinada, Sejarah Kepemimpinan Ratu Shima di Kerajaan Kalingga (674-695 M), 2020)

Sementara itu di wilayah Nusantara lainnya pada tahun 671 M, Dapunta Hyang Sri Jayanasa mendirikan Kerajaan Sriwijaya, sebuah kerajaan maritim terbesar pertama yang ada dan berpengaruh di Nusantara dengan ibu kotanya Palembang, Sumatera Selatan. Keberadaan kerajaan ini menjadi salah satu titik penting dalam sejarah Nusantara yang memperlihatkan kejayaan dan kekuatan maritim di wilayah tersebut. Pada masa puncaknya, Sriwijaya menjadi pusat perdagangan berpengaruh di Asia Tenggara.

Dapunta Hyang Sri Jayanasa sendiri memerintah Sriwijaya hingga tahun 702 M. Sistem pemerintahan Sriwijaya adalah kumpulan kedatuan-kedatuan yang dipimpin oleh seorang Maharaja dengan model politik Mandala. Kedatuan adalah sebuah negara kota atau sebuah wilayah yang dipimpin oleh seorang Datu. Sedangkan Mandala adalah bentuk perpolitikan khusus yang mendominasi kerajaan-kerajaan Hindhu-Budha di Asia dengan menitik beratkan hubungan Vassal daripada kekuasaan langsung. Datu diangkat oleh Raja Sriwijaya untuk mengontrol kedatuannya sendiri dengan syarat harus membayar upeti dan sumpah setia kepada Kerajaan Sriwijaya. Mandala mirip seperti Feodalisme di Benua Eropa.

Catatan yang menuliskan keberadaan Kerajaan Sriwijaya ini salah satunya justru datang dari luar negeri, yakni negeri Cina. Kala itu I’Tsing seorang pendeta Buddha asal Cina menulis sebuah laporan perjalanan dari Canton ke Palembang di tahun 671, di mana pada saat itu Palembang disebutnya merupakan pusat kegiatan agama Buddha yang terpenting dari Kerajaan Sriwijaya, bahkan I’Tsing berlayar dari Palembang ke India menumpang kapal Raja Sriwijaya.

Mengenai Kerajaan Sriwijaya, informasi yang menarik juga dapat ditemukan dalam 'Prasasti Kota' yang ditemukan di Pulau Bangka pada tahun 686 M. Informasi dalam prasasti ini menceritakan mengenai kisah dari Kerajaan Sriwijaya yang telah berhasil dalam menaklukkan wilayah Sumatera bagian selatan, Bangka, Belitung, Lampung, serta Kerajaan Melayu di Jambi. (Nandy, Sejarah Pendiri Kerajaan Sriwijaya Beserta Silsilahnya, 2024)

Sedangkan di wilayah Eropa pada periode 661-680 M, terdapat beberapa peristiwa sejarah menarik yang patut diperhatikan. Salah satunya adalah pergantian kepemimpinan dalam pemerintahan Kekaisaran Byzantium, di mana peristiwa ini memainkan peran penting dalam arus sejarah pada masa tersebut.

Pergantian kepemimpinan ini terjadi pada tahun 668 M, di mana Kaisar Konstans II (641-668 M) waktu itu telah meninggal dunia. Selanjutnya kepemimpinan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Konstantinus dengan gelar Kaisar Konstantinus IV (Constantine IV), yang berkuasa hingga tahun 685 M.

Sebagai Kaisar baru, Konstantinus IV harus berhadapan dengan tantangan besar, tatkala menghadapi serangan pasukan Bani Umayyah di bawah pimpinan Khalifah Muawiyah. Kala itu, Muawiyah mengirim pasukan yang dikomandoi putranya, yakni Yazid untuk menyerbu Kekaisaran Byzantium. Serbuan pasukan Muslim ini berhasil mencapai Kalsedon dan merebut pusat penting Byzantium, yakni Kota Amorion.

Selanjutnya pasukan Muslim terus maju hingga wilayah Kartago dan Sisilia pada tahun 669 M. Dan pada tahun 670 M, pasukan Muslim berhasil merebut Cyzicus dan mendirikan pangkalan untuk melancarkan serangan lebih lanjut ke jantung Byzantium. Armada mereka berhasil merebut Smyrna dan kota-kota pesisir lainnya pada tahun 672.

Pada tahun 674 M, lagi-lagi Kaisar Konstantinus IV dihadapkan pada situasi yang sangat serius ketika pasukan yang dipimpin oleh Khalifah Muawiyah mengepung Kota Konstantinopel, pusat Byzantium. Pengepungan ini merupakan tantangan besar bagi Kaisar Konstantinus IV dan tentara Byzantium, karena mereka harus mampu bertahan dan mempertahankan kota mereka dari serangan musuh yang kuat.

Pengepungan yang memakan waktu cukup lama itu, pada akhirnya berhasil ditumpas oleh pasukan Byzantium berkat senjata rahasia mereka yang bernama Api Yunani atau Greek Fire. Sebuah senjata penyembur api yang terbuat dari cairan mudah terbakar. Tembok besar yang melindungi Konstantinopel juga sulit ditaklukan, karena tembok ini memiliki ketebalan 3 lapisan. Selain itu, pasukan Byzantium juga mengalahkan tentara darat pasukan Muslim di Asia Kecil. Ketiga faktor inilah yang memaksa pasukan Muslim untuk menghentikan pengepungan.

Kemenangan itu sangat penting bagi kelangsungan hidup Kekaisaran Byzantium, seiring dengan surutnya ancaman Bani Umayyah untuk sementara waktu. Tak lama kemudian, sebuah perjanjian perdamaian ditandatangani segera, tepatnya di tahun 678 M. Khalifah Muawiyah dan Kaisar Konstantinus IV sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Ketentuan gencatan senjata ini mengharuskan pasukan Bani Umayyah untuk mengevakuasi pulau-pulau yang mereka rebut di Laut Aegea. (History-maps, First Arab Siege of Constantinople, 2024)

Selanjutnya pada tahun 680 M, Kaisar Konstantinus IV yang sebelumnya berhasil mengalahkan pasukan Muslim Bani Umayyah, memimpin sebuah ekspedisi dengan memimpin pasukan dan armada besar untuk mengusir orang-orang Bulgar, tetapi justru mengalami kekalahan telak di tangan Asparuh di Onglos, sebuah wilayah berawa di sekitar Delta Danube tempat orang-orang Bulgaria mendirikan kemah berbenteng.

Pertempuran itu dikenal sebagai Pertempuran Ongal yang terjadi pada musim panas tahun 680 M di daerah Ongal, dekat Pulau Peuce, sekarang Tulcea, Rumania. Pertempuran antara pasukan Bulgaria, yang baru saja menginvasi Balkan, dengan Kekaisaran Byzantium. Pertempuran itu sangat penting dalam perkembangan pembentukan Kekaisaran Bulgaria Pertama di daratan Eropa. (History-maps, Battle of Ongal, 2024)

Sementara itu di dataran Cina pada periode tahun 661-680 M, masih dikuasai oleh Dinasti Tang di bawah kekuasaan Kaisar Li Zhi, pemerintahannya berpusat di Kota Chang An. Kaisar Li Zhi sendiri juga dikenal sebagai Kaisar Gaozong, memerintah sejak tahun 649 hingga 683 M. Selama mengurusi pemerintahan, Kaisar Li Zhi ditemani oleh permaisurinya yang bernama Wu Zetian.

Kaisar Li Zhi, termasuk pemimpin Dinasti Tang yang memiliki cukup banyak prestasi. Sebelumnya pada tahun 657 M, dirinya berhasil mengontrol perbatasan barat, setelah mendapatkan kemenangan gemilang dalam Pertempuran Sungai Irtysh atau Pertempuran Sungai Yexi melawan pasukan Turki Barat. Kemenangan ini sekaligus menegaskan kedaulatan Dinasti Tang atas Turki Barat pada masa tersebut.

Selanjutnya, pada tahun 668 M Kaisar Li Zhi menorehkan kembali prestasi gemilang. Di mana pada tahun ini Dinasti Tang berhasil mendapatkan kemenangan berharga dalam melawan Kerajaan Goguryeo di Korea. Kemenangan ini sekaligus mengakhiri riwayat dari Kerajaan Goguryo pada masa tersebut. Sebenarnya peperangan ini sudah dimulai sejak tahun 645 M antara kubu Dinasti Tang dengan Kerajaan Goguryeo, namun masih berada dalam skala kecil. Hingga akhirnya pada tahun 668 M, Dinasti Tang yang waktu itu beraliansi dengan Kerajaan Silla dari Korea, berhasil mengalahkan Kerajaan Goguryeo ini, sekaligus mengakhiri riwayat Kerajaan Korea ini. (History-maps, Tang Defeats the Kingdom of Goguryeo, 2024)

Pemaparan di atas memberikan gambaran singkat tentang kondisi dunia pada periode tahun 661 hingga 680 M. Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan betapa pentingnya pemahaman akan sejarah pada masa lalu. Semoga penggalian informasi mengenai periode ini dapat memberikan wawasan baru yang bermanfaat bagi semua yang ingin mengetahui lebih dalam tentang peradaban sejarah dunia.

Dengan fokus pada Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai Khalifah pertama dari Bani Umayyah dalam sejarah Islam, ada peristiwa besar lainnya di belahan dunia yang bisa kita ketahui seperti, Peristiwa Kelam Perang Karbala di Timur Tengah, kerajaan-kerajaan bercorak Hindu-Budha di Nusantara, ekspansi pasukan Muslim di wilayah Afrika bagian utara, pergantian pemerintahan di Kekaisaran Byzantium, dan pemerintahan Dinasti Tang Kaisar Li Zhi di Cina.

Dengan mempelajari peristiwa-peristiwa di atas, kita dapat lebih memahami perkembangan sejarah di dunia dan menjadi pengetahuan yang penting bagi generasi sekarang maupun yang akan datang, dengan harapan bisa menjadi pembelajaran dan membangkitkan semangat positif, sehingga dapat memunculkan generasi-generasi yang unggul dan berkualitas di masa depan.

Laduni.ID akan mengupas artikel-artikel paralel lintas peradaban di masa-masa lainnya. []


Penulis: Muhammad Fahrul Rozi

Editor: Kholaf Al Muntadar