Legenda dari Betawi, Muhammad Bakir Sang Tokoh di Balik Naskah Pecenongan

Laduni.ID, Jakarta – Betawi atau Batavia pada tahun 1800-an atau abad ke-19, seorang lelaki bernama Muhammad Bakir duduk di sudut Pecenongan, menyalin dan menulis naskah-naskah beraksara Jawi. Ia bukan sekadar penyalin, melainkan juga pengarang, penjaga cerita, dan pemilik taman bacaan yang menyewakan puluhan karya sastra kepada tetangganya. Namanya nyaris hilang dari sejarah, sampai tiga puluh tahun lalu para peneliti menemukan jejaknya, dan terungkaplah sebuah dunia sastra yang selama ini tersembunyi.
Muhammad Bakir hidup di masa peralihan, ketika sastra Melayu tradisional mulai bersinggungan dengan pengaruh modern. Tapi karyanya justru mempertanyakan dikotomi "klasik" dan "modern". Sastra lama tak selalu kuno, sastra baru tak selalu lebih maju. Bakir dan keluarganya, ayahnya Sapian, pamannya Sapirin, dan sepupunya Ahmad Beramka, membuktikan bahwa tradisi tulis-menulis telah hidup dinamis jauh sebelum Indonesia mengenal penerbitan modern.
Berdasarkan pelacakan Henri Chambert-Loir (2013), sebanyak 26 karyanya tersimpan di Perpustakaan Nasional, membentuk korpus lebih dari 6.000 halaman yang ditulis dalam 14 tahun. Sebuah pencapaian yang luar biasa, tapi mengapa namanya tak setenar Raja Ali Haji atau pengarang sezamannya?
Bagaimana para peneliti melacak karya Bakir? Mereka harus menjadi detektif filologi mulai dari membongkar arsip lama (koleksinya tersebar di antara ratusan naskah Perpusnas, Leiden, bahkan Saint Petersburg), membaca kolofon (catatan kecil di akhir naskah yang sering berisi petunjuk waktu dan tempat penulisan), menganalisis tulisan tangan (gaya penulisan Bakir unik, kadang rapi, kadang terburu-buru seperti sedang dikejar deadline), dan meneliti tanda tangan misterius (Bakir gemar menyelipkan ratusan paraf rahasia di naskahnya, seperti seniman yang menandai setiap karyanya).
UNTUK DAPAT MEMBACA ARTIKEL INI SILAKAN LOGIN TERLEBIH DULU. KLIK LOGIN
Support kami dengan berbelanja di sini:
Memuat Komentar ...