Kisah Rasulullah Mencoret Tujuh Kata Piagam Madinah

 
Kisah Rasulullah Mencoret Tujuh Kata Piagam Madinah

LADUNI.ID, Jakarta - Sepotong sejarah penting dari banyak kisah perjalanan Islam periode awal adalah perjanjian hudaibiyah. Peristiwa ini tidak hanya menggambarkan ketegangan militer antara umat Islam dan musyrikin Quraisy tapi juga jejak diplomasi Rasulullah SAW.

Perjanjian Hudaibiyah adalah perjanjian antara kaum Muslimin Madinah dengan kaum musyrikin Mekah. Perjanjian yang ditandatangani di lembah Hudaibiyah, pinggiran Mekah, ini terjadi pada tahun ke-6 setelah Rasulullah hijrah dari Mekah ke Madinah.

Pada saat itu rombongan kaum Muslimin yang dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW hendak melakukan ibadah haji. Namun mereka dihalang- halangi masuk ke Mekah oleh kaum musyrik Quraisy warga Mekah. Rasulullah pun mengajak mereka bernegosiasi sampai akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian damai. Hudaibiyah merupakan sebuah sumur yang terdapat di arah barat daya kota Mekah yaitu sekitar 22 km.

Kesepakatan yang juga dikenal dengan sebutan ”shulhul hudaibiyah” tersebut bermula dari rencana sekitar 1400 pengikut Rasulullah untuk menunaikan ibadah haji. Kaum musyirikin tidak rela. Mereka berupaya menghalangi pintu masuk kota Makkah dengan kekuatan militer yang cukup besar.

Rasulullah yang tidak menginginkan peperangan pun lantas mengambil jalur perundingan.  Hasilnya, pada bulan Maret 628 M atau Dzulqaidah 6 H, perjanjian hudaibiyah diputuskan, di antaranya menyepakati adanya gencatan senjata dan kesempatan beribadah umat Islam di Makkah.

Hanya saja, perundingan ini sempat berlangsung alot dan cenderung merugikan umat Islam. Contohnya, muncul penolakan-penolakan terkait dengan sebagian redaksi pembuka perjanjian yang diusulkan Rasulullah, sebagaimana diterangkan dalam kitab Hayatus Shahabat.

”Tulislah bismillahirrahmanirrahim (atas nama Allah yang maha rahman lagi maha rahim),” perintah Nabi kepada juru tulisnya, Ali bin Abi Thalib.

”Ar-Rahman? Aku tak mengenal dia,” sahut perwakilan musyrikin Quraisy, Suhail bin Amr, memberontak. ”Tulis saja bismika allahumma seperti biasanya!”

Umat Islam yang mengikuti proses perundingan tidak terima dengan protes ini. Mereka mengotot akan tetap mencantumkan lima kata yang sangat dihormati itu (bi, ism, allah, ar-rahman, ar-rahim).

”Tulis saja bismika allahumma,” Nabi menenangkan.

Nabi kemudian menyambung, ”Tulis lagi, hadza ma qadla ’alaih muhammad rasulullah (Inilah ketetapan Muhammad rasulullah).”

”Sumpah, seandainya kami mengakui Engkau adalah rasulullah (utusan Allah), kami tak akan menghalangimu mengunjungi Ka’bah. Jadi tulis saja Muhammad bin Abdullah,” Suhail kembali memprotes.

”Sungguh aku adalah rasulullah meskipun Kalian mengingkarinya.” Akhirnya Nabi mengabulkan tuntutan musyrikin Quraisy untuk mencoret dua kata lagi, rasul dan allah. ”Tulislah Muhammad bin Abdullah saja,” pintanya kemudian.

Menghindari pertikaian dan pertumpahan darah adalah sikap yang dijunjung tinggi Rasulullah. Perdamaian menjadi prioritas tujuan, meski isi kesapakatan "mengurangi" kebesaran nama agama pada tataran simbolis.

Penggalan sejarah ini megingatkan kita pada sejarah penyusunan asas Pancasila. Demi persatuan dan kerukunan bangsa Indonesia, Piagam Jakarta yang memuat butir sila pertama ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” akhirnya diubah. Mayoritas ulama dan umat Islam Tanah Air menyepakati pencoretan tujuh kata dalam butir itu sehingga menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.