Biografi KH. Muhammad Yusuf Hasyim (Pak Ud)

 
Biografi KH. Muhammad Yusuf Hasyim (Pak Ud)

Daftar Isi Biografi KH. Muhammad Yusuf Hasyim (Pak Ud)

  1. Kelahiran
  2. Wafat
  3. Keluarga
  4. Pendidikan
  5. Menjadi Pengasuh
  6. Tokoh NU
  7. Bergabung di Laskar Hizbullah
  8. Komandan Melawan PKI

 

Kelahiran

KH. Muhammad Yusuf Hasyim atau yang akrab dipanggil dengan Pak Ud lahir pada 3 Agustus 1929, di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Beliau merupakan anak terakhir dari sepuluh bersaudara, dari pasangan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Nyai Nafiqoh. 

Saudara-saudara kandung Pak Ud adalah Hannah, Khairiyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim (Abdul  Khaliq), Abdul Karim, Ubaidillah dan Mashurroh.

Ketika Nyai Nafiqoh meninggal dunia di tahun 1941, ayahnya KH. Hasyim Asy’ari menikah lagi  dengan Bu Nyai Masruroh yang kemudian dikaruniai empat orang anak, yakni, Abdul Qadir Hasyim (meninggal semasa bayi), Fatimah Hasyim, Chotijah Hasyim dan Ya'qub Hasyim.

Usia Yusuf Hasyim dengan kakak kandungnya terpaut jauh. Seperti contoh kakak termuda Yusuf  Hasyim, Abdul Karim Hasyim lebih tua sepuluh tahun darinya.

Wafat

Setelah 41 tahun mengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, akhirnya pada 13 April  2006, KH. Yusuf Hasyim menyerahkan tampuk kepemimpinan pondok pesantren kepada KH. Ir. Salahuddin Wahid atau Gus Sholah. Pada waktu itu usia KH. Yusuf Hasyim sudah mencapai 77  tahun.

Bisa dianggap bahwa KH. Yusuf Hasyim menjadi Kiyai tertua dalam memimpin pondok pesantren se-kabupaten Jombang jika dibandingkan dengan KH. Sholeh Tambakberas, Jombang (72 tahun), KH. Asad Umar pengasuh Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang (73 tahun). Beliau juga menjadi pengasuh terlama di Pondok Pesantren Tebuireng.

Setelah penyerahan tampuk kepemimpinan, KH. Yusuf Hasyim pindah ke kediamannya sendiri yakni dari ndalem kesepuhan atau yang dulu ditempati sebagai rumah KH. Hasyim Asyari ke rumah Cukir tepatnya di selatan Tebuireng.

Pada akhir tahun 2006 kesehatan KH. Yusuf Hasyim sudah menurun, hingga pada 30 Desember 2006, KH. Yusuf Hasyim jatuh dari kamar mandi kemudian dirujuk ke RSUD Jombang dan dirawat selama tiga hari. Kesehatan yang semakin menurun membuat KH. Yusuf Hasyim di rujuk ke RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Tanggal 11 Januari 2007, KH. Yusuf Hasyim menjalani operasi kecil untuk mengeluarkan lendir dari tenggorokan yang terluka akibat terlalu sering muntah. Namun, ternyata virus yang di lendir sudah menjalar sampai ke paru-paru. Pada tanggal 14 Januari 2007, KH. Yusuf Hasyim meninggal dunia setelah dirawat inap Graha Amerta Dr. Soetomo Surabaya. Pemakaman dilakukan pada tanggal 15 Januari 2007 di Pondok Pesantren Tebuireng.

Keluarga

KH. Muhammad Yusuf Hasyim termasuk salah satu anggota Hizbullah yang masyhur. Jiwanya dipenuhi dengan semangat cinta tanah air, sebagaimana ayahnya.

Setelah lama bergerilya, Pak Ud dan pasukannya turun gunung dan memilih desa Pojok, tepatnya di rumah KH. Abdul Karim, sebagai markas tentara. Markas dengan komandan Kapten Hambali ini, dalam perkembangannya semakin ramai dikunjungi anggota pasukan maupun rakyat yang simpati pada perjuangannya.

Di markas ini pula semangat perjuangan Pak Ud makin terpompa, terutama ketika mendapat kunjungan seorang gadis Madiun yang datang menjenguk kakaknya yang sedang sakit, yakni Kapten Hambali. Gadis cantik itu bernama Siti Bariyah. Awalnya Pak Ud menganggap pertemuan dengan adik komandannya ini biasa saja. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri, hatinya kemudian terusik dan perlahan menyimpan rasa.

Pada kesempatan berikutnya, Pak Ud mendapat kesempatan mengunjungi rumah Siti Bariyah di Madiun. Jabatan sebagai Komandan di Kompi Hambali membuatnya cepat akrab dengan keluarga Siti Bariyah. Ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan.

Lalu pada tanggal 24 November 1951, pernikahan keduanya diresmikan tanpa kehadiran mempelai wanita. Saat itu, Siti Bariyah masih harus meneruskan sekolahnya di Solo.

Pendidikan

Masa kecil KH. Muhammad Yusuf Hasyim dihabiskan di Tebuireng. Beliau belajar membaca Al-Quran langsung dari ayahandanya. Ketika melakukan perjalanan, Kiyai Hasyim sering meminta Gus Muhammad Yusuf kecil untuk mengulangi hafalan ayat-ayat Al-Quran, baik saat naik mobil, kereta api, atau naik delman (dokar).

Sejak berumur 12 tahun, beilau mondok di Pesantren Al-Quran, Sedayu Lawas, Gresik, yang dipimpin oleh Kiyai Munawar. Kemudian pindah ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan Kiyai Ali Ma’sum. Setelah dari Krapyak, Pak Ud sempat menimba ilmu di Pondok Pesantren Modern Tegalsari (Gontor), Ponorogo.

Meskipun tidak sempat mengenyam pendidikan formal, tapi Pak Ud rajin membaca dan banyak bergaul dengan kalangan terpelajar. Hal itu diimbangi dengan ketajaman intuisi dan keluwesan bergaul. Kebiasaan ini sangat mendukung ketika Pak Ud harus terjun sebagai politisi Nasional di kemudian hari.

Menjadi Pengasuh

Tiga bulan sebelum peristiwa G30S/PKI tahun 1965, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng saat  itu KH. Abdul Kholiq Hasyim meninggal dunia. Kepergian KH. Kholiq mengharuskan KH. Yusuf Hasyim meneruskan perjuangan KH. Kholiq di Pondok Pesantren Tebuireng. Saat itu, keadaan memang memaksanya harus menjadi pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, tapi pada saat yang sama beliau masih menjabat sebagai salah satu anggota DPR RI fraksi PPP.

Dalam kepemimpinan KH. Yusuf Hasyim, Pesantren Tebuireng mengalami beberapa kemajuan di antaranya adalah membuka Universitas Hasyim Asy’ari (1967), mendirikan Madrasah Huffadz Al-Qur’an sekarang Madrasatul Qur’an/MQ (1971), mendirikan SMP dan SMA (1975).

Selain itu, pada tahun 1972  dibentuklah madrasah persiapan Tsanawiyah sebagai jawaban atas kebutuhan santri lulusan sekolah dasar dan lanjutan umum untuk dapat memasuki Madrasah Tsanawiyah Tebuireng yang sarat dengan pelajaran agama. Lalu, pada tahun 1974 KH. Yusuf Hasyim mendirikan perpustakaan yang sekarang dikenal dengan perpustakaan Wahid Hasyim dan beliau adalah pemrakarsa  berdirinya perpustakaan Wahid Hasyim yang berada di gedung KH. Yusuf Hasyim.

Kemudian pada tahun 1975 didirikan SMP dan SMA Wahid Hasyim. Di samping sebagai lembaga  pendidikan umum SMP dan SMA Wahid Hasyim mendirikan kelas yang menampung laki-laki dan perempuan dalam satu kelas. Pemberlakuan kelas ini mendapatkan reaksi keras di kalangan masyarakat karena merupakan suatu budaya yang belum ada pada dunia pesantren saat itu. Namun hal itu lambat laun hilang dengan sendirinya karena banyak yang berminat, hingga pada tahun 2000-an telah dipenuhi oleh 1000-an siswa dari berbagai penjuru tanah air.

Sebagaimana dipahami, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan berasrama yang terdapat di Indonesia. Pendidikan di dalam pesantren bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa-bahasa Arab. Para pelajar pesantren (disebut sebagai santri) belajar di sekolah yang ada di dalamnya, sekaligus tinggal di asrama yang telah tersedia di dalam pesantren. Di sini banyak ilmu diajarkan, mulai dari ilmu teori, terapan sampai ilmu kehidupan. Karena itu, lulusan pesantren kelak diharapkan akan siap hidup di tengah-tengah masyarakat dan memberikan pengaruh positif di dalamnya. Demikianlah prinsip Pak Ud yang membuatnya berani membuat terobosan pendidikan di dalam dunia pesantren.

Pada tahun 1989 KH. Yusuf Hasyim mendirikan koperasi Jasa Boga (Jabo) sebagai antisipasi semakin padatnya kegiatan belajar santri. Koperasi ini khusus melayani dan menangani kebutuhan makan santri sehari-hari. Dengan adanya koperasi ini diharapkan para santri tidak perlu khawatir dengan kebutuhan pokoknya dan dapat berkonsentrasi dengan baik pada belajarnya.

KH. Muhammad Yusuf Hasyim tergolong menjadi pengasuh terlama di Tebuireng setelah KH. Hasyim Asy’ari. Pak Ud mengasuh Tebuireng selama 41 tahun (1965-2006), sementara ayahandanya, Kiyai Hasyim Asy'ari mengasuh Tebuireng selama 48 tahun (1899-1947).

Pak Ud memang menjadi pengasuh Tebuireng menggantikan kakaknya, KH. Kholiq Hasyim, yang meninggal dunia tiga bulan sebelum meletusnya peristiwa G302/PKI, tetapi selama memimpin Tebuireng, beliau telah berhasil memperjuangkan kemandirian pesantren dan mengupayakan pendidikan murah bagi semua kalangan.

KH. Muhammad Yusuf Hasyim merupakan pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng yang berumur panjang bila dibandingkan dengan kakak-kakaknya, seperti KH. Wahid Hasyim yang wafat di usia 39 tahun, KH. Abdul Kholik wafat dalam usia 48 tahun, dan KH. Abdul Karim Hasyim wafat pada usia 54 tahun. Sementara itu, Pak Ud wafat pada usia 77 tahun.

Tokoh NU

KH. Muhammad Yusuf Hasyim adalah salah satu dari tokoh NU yang menonjol dan berpengaruh. Ada beberapa faktor yang menyebabkannya menjadi seperti itu. Selain karena putra KH. Hasyim Asy'ari, beliau juga terkenal sosok yang pemberani dan gemar sekali membaca pola kemasyarakatan. Bahkan menurut satu riwayat keluarga, dikatakan bahwa di kamar pribadinya lebih banyak terlihat surat  kabar dan kliping-kliping daripada kitab-kitab kuning yang biasanya menjadi ciri khas keluarga kiyai.

Bergabung di Laskar Hizbullah

Secara ideologis, sejak dulu umat Islam di Indonesia sangat anti Barat, sehingga dimanfaatkan oleh pemerintah Jepang untuk melawan Sekutu. Awalnya pemerintah Jepang mengizinkan pendirian Kantor Urusan Agama (KUA) untuk menangani urusan pernikahan, talak, rujuk, dan ibadah haji, dengan tujuan untuk mengambil hati umat Islam. Selain itu, penjajah Jepang juga menyetujui berdirinya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) bulan Oktober 1943. Dan ketika ancaman Sekutu kian meningkat, Jepang menyetujui usulan para tokoh Islam untuk membentuk Laskar Hizbullah pada Bulan Desember 1944. Setahun sebelumnya, terbentuk pula PETA (Pembela Tanah Air).

Sebagai tokoh Islam yang sangat berpengaruh, KH. Hasyim Asy’ari mendukung penuh berdirinya PETA dan Hizbullah, bahkan merestui dua orang putranya bergabung di dalamnya. Abdul Kholik Hasyim bergabung ke PETA dan ikut latihan menjadi Daidanco (Komandan Batalyon), sedangkan Muhammad Yusuf Hasyim yang saat itu masih berumur 16 tahun, masuk Hizbullah sekitar awal tahun 1945.

Perjalanan menuju kemerdekaan Indonesia tidaklah mudah. Setelah Amerika Serikat menjatuhkan Bom Atom di Hiroshima dan Nagasaki (tanggal 14 dan 15 Agustus 1945), lalu disusul dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, di berbagai wilayah banyak organisasi-organisasi massa yang membentuk laskar-laskar bersenjata. Salah satunya adalah Laskar Hizbullah. Yang menggunakan nama Laskar Hizbullah cukup banyak. Masyumi, yang saat itu merupakan salah satu partai besar, mempunyai laskar yang juga bernama Hizbullah. Dan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari juga membentuk Laskar Hizbullah, yang kemudian dikenal sebagai Laskar Hizbullah Cibarusa, karena perkembangannya berada di wilayah Cibarusa, Cimahi, Jawa Barat.

Sementara itu, walaupun dalam usia yang masih relatif sangat muda, Pak Ud bergabung dengan Laskar Hizbullah Jombang. Ketika resolusi jihad lahir dan disusul dengan meletusnya Peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya, Pak Ud terpilih menjadi komandan Kompi Laskar Hizbullah Jombang.

Setelah berhasil menaklukkan kota Surabaya, pasukan Belanda bergerak ke arah Jombang dan berhasil memporak-porandakan kota santri itu. Pasukan yang dipimpin Kolonel Van Der Plass tersebut lalu bergerak ke arah selatan menuju Tebuireng. Pesantren Tebuireng yang saat itu dipimpin Kiyai Wahid Hasyim, dituding sebagai tempat persembunyian Tentara Republik Indonesia sehingga diserang sampai luluh lantak.

Pasukan Van Der Plass lalu bergerak ke selatan untuk mengejar pasukan Laskar Hizbullah yang dipimpin Pak Ud. Dalam kontak senjata di Desa Laban, selatan Tebuireng, Pak Ud tertembak di bagian dada sebelah kiri. Namun peluru hanya merobek baju uniform kebanggaannya, tidak sampai menembus dada. Pak Ud sempat pingsan selama beberapa jam akibat tembakan tersebut. Beliau kemudian diamankan di rumah Maksum, teman dekatnya. Rumah Maksum memang digunakan sebagai tempat menyembunyikan mortir, bedil, mesiu, dan tentara yang sedang dicari Belanda.

Setelah tiga hari bersembunyi, Pak Ud meninggalkan tempat persembunyiannya tersebut bersama beberapa warga desa. Dari Desa Laban mereka melewati hutan jati ke Desa Sugihwaras, Wonosalam, Gumeng, sampai ke kawasan Tretes di Malang. Jarak itu ditempuh selama berminggu-minggu dengan berjalan kaki. Semuanya dilalui tanpa keluh kesah, sebab perjalanan panjang untuk membela tanah air tidak pernah surut di dalam semangat KH. Muhammad Yusuf Hasyim.

Komandan Melawan PKI

Ketika Perdana Menteri Moh. Hatta melakukan rasionalisasi dan strukturisasi TNI, Pak Ud masuk dalam dinas TNI dan mendapat pangkat Letnan Satu di bawah pimpinan Letkol Munasir. Konon, ada riwayat yang mengatakan bahwa Letkol Munasir adalah teman dekat KH. Wahid Hasyim.

Dalam peristiwa Madiun 1948, Pak Ud menjadi salah satu komandan tempur yang berada di garis depan. Pak Ud bersama pasukannya berhasil menyelamatkan beberapa tokoh penting yang diculik PKI, seperti Kapten Hambali, KH. Ahmad Sahal, dan KH. Imam Zarkasyi, pengasuh Pondok Modern Gontor Ponorogo. Saat itu Pak Ud terjun bersama kakaknya, Kiyai Kholik Hasyim.

Tujuh  tahun  berikutnya, yaitu tahun 1955, PKI kembali melakukan pemberontakan melalui peristiwa G30S/PKI dengan dibunuhnya beberapa Jenderal TNI. Di tengah peristiwa G30S/PKI, Pak Ud dan keluarga sudah pindah ke Jakarta, tinggal di kawasan Tebet. Ketika itu, Pak Ud menjadi salah satu target pencarian orang-orang PKI di Jakarta, namun tidak pernah sekalipun berhasil ditangkap. Karena pada saat itu, beliau telah kembali berada di Tebuireng. []


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 14 Januari 2023, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 03 Agustus 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya