Penjelasan Kifarat Jima' Siang Hari di Bulan Ramadhan

 
Penjelasan Kifarat Jima' Siang Hari di Bulan Ramadhan

Laduni.ID, Jakarta - Puasa Ramadhan merupakan ibadah yang rahasia, hanya Allah  yang tahu dan yang bersangkutan, berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, dengan demikian ibadah puasa merupakan sarana untuk melatih kejujuran seseorang, karena kejujuran itu akan membawa keberkahan dan kebaikan.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ

Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga (HR. Imam Muslim).

Dalam kondisi apapun yang tidak memajibkan untuk tidak berpuasa, seseorang tidak akan melakukan hal-hal yang merusak bahkan membatalkan puasa ramadhan, salah satunya kegiatan bersenggama atau berhubungan suami istri  pada siang hari di bulan Ramadhan.

Orang yang sudah melakukan bersenggama suami istri siang hari di bulan ramadhan wajib hukumnya kifaratnya (tebusan), sesuai dengan hadis riwayat Imam Bukhari:

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: أَتَى رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلَكْتُ، وَقَعْتُ عَلَى أَهْلِي فِي رَمَضَانَ، قَالَ: أَعْتِقْ رَقَبَةً قَالَ: لَيْسَ لِي، قَالَ: فَصُمْ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ قَالَ: لاَ أَسْتَطِيعُ، قَالَ: فَأَطْعِمْ سِتِّينَ مِسْكِينًا

Artinya: Abu Hurairah meriwayatkan, ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) di bulan Ramadhan. Beliau bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.” Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin,” (HR al-Bukhari).

Pertama, memerdekakan hamba cahaya ('abid) jika tidak ada, kedua harus puasa 2 bulan berturut turut, jika tidak mampu, ketiga memberi makan kepada orang miskin atau faqir sebanyak 60 orang masing-masing sebanyak satu mud (kurang lebih sepertiga liter).

Apabila kafarat di atas tidak mampu untuk saat ini, apakah masih tetap berhutang dan menunggu sampai punya kemampuan? Tentang kifarat (khususnya jima' di bulan ramadhan), kifarat ini termasuk kifarat tartib (harus berurutan) di antara ketiganya, dan ketika tidak (belum) mampu, maka TETAP baginya menanggung hutang kifarat terrsebut, karena masalah ini termasuk HUQUUQULLOH /hak-hak Allah. Lihat Tuhfatul muhtaj 3/452 :

وَهِيَ) أَيْ: الْكَفَّارَةُ (عِتْقُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا) كَمَا فِي الْخَبَرِ السَّابِقِ وَسَيَأْتِي بَيَانُ هَذِهِ الثَّلَاثَةِ وَشُرُوطُهَا وَصِفَاتُهَا فِي بَابِ الْكَفَّارَةِ (فَلَوْ عَجَزَ عَنْ الْجَمِيعِ اسْتَقَرَّتْ) مُرَتَّبَةً (فِي ذِمَّتِهِ فِي الْأَظْهَرِ)

 

Sumber:

Tuhfatul muhtaj 3/452

__________________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Selasa, 16 April 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.