Politik Identitas dan Penyebaran Ideologi 'Khilafah' Jadi Pemicu Pecahnya Kerukunan Masyarakat

 
Politik Identitas dan Penyebaran Ideologi 'Khilafah' Jadi Pemicu Pecahnya Kerukunan Masyarakat

LADUNI.ID, Jakarta - Sejak peristiwa politik kekuasaan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta banyak ditemukan masyarakat terjadi saling umpat, mencerca, menghujat, dan memaki, saling curiga antara masyarakat satu dengan yang lainnya. Hingga berlanjut pada Pilihan Presiden (Pilpres).

Entah mengapa, berbeda pilihan politik, paham, pendapat, harus saling menghujat, bahkan sampai timbul aksi anarkis disejumlah daerah. Fenomena semacam itu seolah sudah menjadi budaya. Namun bila kita cermati, hal demikian tidak begitu saja terjadi tanpa ada skenario terselubung dalam peristiwa itu.

Apalagi sejak pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM resmi mencabut izin keberadaan organisasi pengusung khilafah pada 19 Juli 2017 silam, hingga organisasi ini dinyatakan dilarang di Indonesia. Diketahui organisasi pengusung khilafah ini bertentangan dengan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Proses keputusan pemerintah membubarkan organisasi tersebut bersamaan dengan pesta demokrasi Pilkada DKI pada tahun yang sama (2017). Hingga momentum pilkada DKI menjadi awal rentetan perseteruan kepentingan ideologi hingga politik kekuasaan.

Kondisi Pilkada DKI saat itu membawa dampak negatif pada kerukunan antar warga, bahkan sampai pada kerukunan antar umat beragama. Teringat ketika salah satu warga di DKI, ketika ia meninggal dunia dilarang oleh sebagian 'oknum' kelompok untuk menshalati jenazahnya, sebab berbeda pilihan. Banser, badan otonom Nahdlatul Ulama berani menshalati jenazah tersebut tanpa menghiraukan larangan kelompok tersebut yang menyebut kafir. Karena bagi Banser tugas kemanusiaan lebih utama dari politik kekuasaan.

Politik identitas terus dimainkan, namun bagi masyarakat yang cerdas, mereka akan cepat sadar, bahwa mereka sedang digiring pada situasi yang memang tidak menguntungkan dalam keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara yang rukun dan damai. Namun berbeda bagi yang tak menyadari hal itu, mereka terus meyakini bahwa politik kekuasaan harus dimenangkan apapun resiko yang harus mereka tempuh, karena mereka sudah menganggap itu bagian dalam perjuangan ideologi mereka.

Ideologi dan politik identitas semacam itu bukan saja berimbas pada perilaku sebagian masyarakat yang menganggap bahwa pilihan politik adalah jihad. Namun juga mempengaruhi kehidupan bermasyarakat, yang tadinya bertegur sapa, saling silaturahmi, ghuyub dan bisa tersenyum lepas. Mereka anggap yang bukan satu aliran, satu pilihan bukanlah saudara, teman.

Tentang kondisi negara-negara di kawasan Jazirah Arab yang diketahui bersama telah terjadi peperangan dan luluh lantah akibat politik perebutan kekuasaan yang tidak menghiraukan rasa kemanusiaan, persatuan dan kesatuan suatu negara, nyaris saja ditularkan di Indonesia. Alhamdulillah di Indonesia, pemerintah, TNI, Polri, akademisi, masyarakat bahkan organisasi Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Ormas lain yang cinta kedamaian bahu membahu meredam fenomena diatas.

Maka kerusuhan yang bakal mengantarkan seperti kondisi di kawasan Jazirah Arab tak terjadi di negara yang kita cintai ini.

Dari kondisi pilkada DKI, pembubaran organisasi pengusung khilafah hingga pilpres selalu kita saksikan dan kita lihat kejadian yang seolah akan dijadikan pemicu kerusuhan. Narasi negatif selalu kita temukan di media sosial, bahkan sampai pembicaraan dikampus, majelis pengajian sampai tempat nongkrong jadi sasaran. Dari yang kasar hingga narasi yang dibuat apik seolah umat Islam terdzolimi, seperti penistaan agama, Aqidah hingga masalah isu ras, dan antar suku digelorakan. Dan anehnya mereka yang berbicara hanya 'latah' ikutan. Mereka tidak sadar jika dijadikan alat untuk turut menyebarkan politik sesat, politik identitas.

Dari rentetan peristiwa diatas, dapat berimplikasi pada masyarakat karena kurangnya pemahaman antara politik kekuasaan dan politik  kebangsaan.

Tabik,
========================
Syarif Cakhyono