Benarkah Selingkuh Memicu Perceraian?

 
Benarkah Selingkuh Memicu Perceraian?

LADUNI.ID, Jakarta - Tingginya angka perselingkuhan hingga berujung pada perceraian, membuat akademisi dan praktisi psikologi mengambil langkah. Salah satu langkah yang ditempuh adalah berbentuk seminar yang diselenggarakan oleh Unit Pelayanan dan Pengembangan Psikologi (UP3) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Jakarta dengan tema: “Selingkuh, Salah Siapa? Memaafkan, untuk Siapa?”.

Dalam kegiatan yang diselenggarakan secara online pada Rabu, 10 Maret 2021 ini, hadir sebagai pembicara adalah Wakil Dekal III Universitas Gunadarma, Dr. Muhammad Fakhrurrozi, M.Psi., Psikolog, dan; Wakil Dekan Fakultas Sosial Humaniora UNUSIA sekaligus Kepala UP3, Maryam Alatas, M.Psi., Psikolog.

Menurut Muhammad Fakhrurozi, jumlah perceraian di Indonesia rata-rata mencapai ¼ dari 2 juta peristiwa nikah dalam satu tahun. Faktor ekonomi menjadi hal yang cukup besar dalam memicu terjadinya perceraian. Selain itu, dengan adanya pandemi yang menghantam perekonomian masyarakat juga dapat memicu perselisihan dalam keluarga.

“Berdasarkan survey BKKBN 2017 menyatakan bahwa selingkuh tidak menjadi penyebab dominan perceraian. Penyebab dominannya adalah di tinggal pergi,” tutur lelaki berkacamata ini, sebagaimana rilis yang diterima Laduni.id, Kamis (11/3/2021).

Pengampu rubrik Konsultasi Psikologi di Laduni.id ini juga menyampaikan bahwa selingkuh bisa dilakukan oleh siapapun, baik pria maupun wanita. Menurutnya, perselingkuhan itu terjadi dikarenakan terdapat beberapa faktor, di antaranya faktor psikofisik, faktor kepribadian dan faktor spiritual religi.

Sementara itu, menurut Maryam Alatas, memaafkan menjadi hal yang penting untuk menjadi solusi agar membuat hati menjadi tenang, damai, tentram dan sejahtera. Jika kita sudah memaafkan, maka keinginan untuk membalas dendam kemudian rasa emosi negatif yang hadir itu dapat di minimalisasi.

“Pelepasan emosi negatif itu sebagai rumah yang penuh dengan debu yang dimana perlu di bersihkan. Memaafkan lebih dari sekedar menerima apa yang sedang terjadi, menunda kemarahan, dan melebihi dengan bersikat netral terhadap orang lain,” terang Maryam.

Memaafkan, lanjut Maryam, bukan memaklumi, melupakan, pembenaran, menenangkan, memaafkan palsu dengan menyatakan “saya memaafkanmu”. Menurutnya, memaafkan juga bukan pula mengadili dan memaafkan juga tidak harus selalu diiringi dengan perdamaian.

“Lokasi dan waktu terbaik untuk memaafkan adalah terletak pada diri sendiri. Memaafkan bukan sebuah keharusan, melainkan sebuah pilihan untuk diri sendiri, untuk kesejahteraan diri. Dan pada intinya memaafkan adalah untuk kita dapat melepaskan rasa sakit yang di rasa yang mengganggu kehidupan sehari-hari,” jelasnya.

Dalam kegiatan tersebut, Maryam juga memberikan pelatihan tentang pemaafan atau terapi forgiveness, yakni dengan menggunakan tahapan memaafkan oleh Catherine Morgan yang terdiri dari 5 tahapan.

Selain itu, Dekan Fakultas Sosial dan Humaniora UNUSIA, Muhammad Afifi, M.H. dalam sambutannya menyampaikan bahwa UP3 sangat urgen dalam melakukan layanan psikologis. Ia berharap dengan melakukan kegiatan webinar ini akan ada banyak lembaga yang juga dapat berkolaborasi. “UP3 diharapkan dapat terus melakukan pembinaan pada aspek kelembagaan,” ungkapnya.

Kegiatan webinar ini dilaksanakan pada Rabu, 10 Maret 2021 yang di hadiri oleh para pejabat kampus Unusia di antaranya Kaprodi Psikologi UNUSIA Ibu Elmy Bonafita Zahro, M.Psi., Psikolog dan Dekan Fakultas Sosial dan Humaniora Unusia yaitu Muhammad Afifi, MH. Selain itu kegiatan juga di hadiri oleh para dosen, mahasiswa dan masyarakat dari berbagai kalangan. Dengan jumlah peserta sekitar 190 orang.(*)

***

Editor: Muhammad Mihrob