Mengapa Penting Bermadzhab? Ini Penjelasan Kyai Taufik Damas

 
Mengapa Penting Bermadzhab? Ini Penjelasan Kyai Taufik Damas
Sumber Gambar: Foto : Kyai Taufik Damas (twitter; @TaufikDamas )

LADUNI.ID, Jakarta- Wakil Katib Syuriah PWNU DKI Jakarta Kyai Taufik Damas menjelaskan bahwa umat muslim sejatinya telah bermadzhab, meski mayoritas tidak disertai oleh pemahaman dan kemampuan menjabarkannya. Penjelasan itu disampaikan oleh Kyai Taufik Damas melalui akun twitter pribadinya @TaufikDamas pada 30 Maret 2021. Menurutnya, mengapa mayoritas muslim banyak yang belum paham seputar madzhab dalam Islam, lantaran mereka tidak atau belum pernah mau mempelajari agama secara serius dan mendalam.  

"Memang ada orang yang beragama terkesan tidak bermadzhab, tapi sejatinya mereka bermadzhab. Hanya saja mereka tidak mampu menjelaskan ke-bermadzhaban-nya karena tidak pernah ngaji (belajar) secara serius soal rincian ilmiah cara beragama. Mereka shalat pakai madzhab, puasa pakai madzhab, haji pakai madzhab, dst. Ketika ditanya ikut madzhab siapa, mereka tidak bisa menjawab," tulis Kyai Taufik. 

Lalu, apakah orang yang awam pemahaman keagamaannya itu bersalah? "Inilah yang disebut sebagai orang awam dalam ilmu-ilmu agama. Salahkah mereka? Tidak. Selama menjalankan semua itu untuk diri sendiri, maka mereka tidak bersalah. Meski demikian, seharusnya setiap muslim tahu dari siapa (imam madzhab) dia mengambil ilmu urusan agamanya; mengikuti madzhab siapa. Muslim model ini adalah sebagian besar, " sambungnya. 

Meski demikian, kata Kyai Taufik, umat muslim model begini, tidak boleh menjadi ustadz, kyai, ulama, atau tokoh agama. Karena, untuk menjadi tokoh agama yang dijadikan rujukan oleh masyakarat, orang harus mengerti soal bermadzhab dalam beragama. "Bisa menjelaskan dengan rinci soal metodologi dan dasar-dasar bermadzhab. Jika tidak, sebaiknya jadi pendengar saja, jangan ceramah. Madzhab dalam Islam dibangun berdasarkan akumulasi pemikiran dari generasi ke generasi. Dimulai dari guru utamanya, yaitu Nabi Muhammad Saw., para sahabat, tabiin, tabiit-tabiin, ulama-ulama dan seterusnya, sampai generasi sekarang ini. Jadi tidak bisa anda beragama kemudian mengaku guru anda adalah Nabi dan para sahabatnya secara langsung. Apalagi kemudian ceramah ke sana ke mari," tegasnya 


Inilah Alasan Pentingnya Bermadzhab
Para ulama sepakat akan pentingnya bermadzhab dalam beragama. Sebagian mereka bahkan menganggap beragama tanpa bermadzhab adalah kemungkaran. Menukil dari kitab Aqdul Jayyid fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid, hal. 14, Syah Waliyullah ad-Dahlawi al-Hanafi (w. 1176 H.), Kyai Taufik Damas menegaskan pentingnya bermadzhab; “ketahuilah bahwa bermadzhab adalah kebaikan yang besar. Meninggalkan madzhab adalah kerusakan (mafsadah) yang fatal.”

Kyai Taufik melanjutkan, bahwa pernyataan tersebut dilandasi oleh tiga alasan mengapa bermadhzab menjadi penting. Pertama, semua ulama sepakat bahwa untuk mengetahui Syariat harus berpegang teguh pada pendapat generasi salaf (Nabi dan sahabat). Tabiin berpegang teguh pada para sahabat. Tabiit-tabiin berpegang teguh pada para tabiin. Demikian seterusnya: setiap generasi (ulama) berpegang teguh pada generasi sebelumnya. Ini masuk akal, karena Syariat tidak bisa diketahui kecuali dengan jalan menukil (naql) dan berpikir menggali hukum (istinbath). Tradisi menukil (naql) tidak bisa dilakukan kecuali satu generasi (ulama) menukil dari generasi sebelumnya (ittishol). "Dalam berpikir mencari keputusan hukum (istinbath) tidak bisa mengabaikan madzhab-madzhab yang sudah ada sebelumya. Ilmu-ilmu seperti nahwu, sharf, dan lain-lain tidak akan bisa dipahami jika tidak memahaminya melalui ahlinya," jelasnya. 

Kedua, Rasulullah SAW bersabda; “Ikutilah golongan yang paling besar (as-sawad al-a’zham).” Kyai Taufik menuturkan, bahwa setelah mempelajari berbagai madhzab yang benar, dirinya menemukan bahwa empat madhzab (Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hanbali)--madzhab ahlus sunnah adalah golongan yang paling besar. "Mengikuti 4 madhzab berarti mengikut golongan paling besar," tegasnya.  Ketiga, karena zaman telah jauh dari masa-masa awal Islam, maka banyak ulama palsu yang terlalu berani berfatwa tanpa didasari kemampuan menggali hukum dengan baik dan benar. Banyak amanat keilmuan yang ditinggalkan tetapi mereka berani mengutip pendapat generasi salaf tanpa dipikirkan lebih mendalam. "Mereka mengutipnya lebih didasari oleh hawa nafsu belaka. Ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah langsung dirujuk, sementara mereka tidak memiliki otoritas keilmuan untuk istinbath. Mereka terlalu jauh dibanding para ulama yang benar-benar memiliki otoritas keilmuan dan selalu berpegang teguh pada amanat ilmiah," bebernya. 
Ia melanjutkan, realitas itulah, persis seperti yang pernah disampaikan oleh Umar ibn Khattab bahwa; “Islam akan hancur oleh perdebatan orang-orang yang bodoh terhadap Al-Quran.” Begitu juga perkataan Ibnu Mas'ud yang menyatakan bahwa; “Jika kamu ingin mengikuti, ikutilah orang (ulama) yang memegang teguh amanah ilmu pengetahuan.” 

Wallahu a'lam
(Ali Ramadhan,ed)