Khutbah Jumat: Lebaran Kupat, Budaya Teologis Muslim Indonesia

 
Khutbah Jumat: Lebaran Kupat, Budaya Teologis Muslim Indonesia
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID

KHUTBAH PERTAMA :

اَلْحَمْدُ للهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ رَسُوْلِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ في مُحْكَمِ كِتَابِهِ: مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ خَيْرٌ مِنْهَا وَهُمْ مِنْ فَزَعٍ يَوْمَئِذٍ آمِنُونَ، وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (النمل: ٨٩-٩٠) ـ  

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Mengawali khutbah yang singkat ini, khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menjalankan semua kewajiban dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang dan diharamkan. 

Hadirin yang dirahmati oleh Allah,

Tradisi lebaran di beberapa daerah Indonesia masing-masing mempunyai ciri khas sendiri dan bermacam-macam cara untuk menyambut kemenangan Hari Raya Idul Fitri, di Indonesia khususnya di pulau Jawa mempunyai 2 (dua) tradisi lebaran, yaitu lebaran Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. Lebaran Hari Raya Idul Fitri seperti serentak dilakansakan sesuai ketentuan Pemerintah yang sudah di umumkan tanggal dan hari Raya Idul Fitri secara resmi kemudian seminggu setelahnya muslim di Indonesia khususnya yang berada di pulau Jawa merayakan lebaran ketupat.

Budaya kupatan atau Riyoyo Kupat (bahasa Jawa) adalah budaya yang sudah lama ada di Jawa, bahkan sejak masa kejayaan Hindu dan Budha. Namun seiring perkembangan zaman, tradisi Kupatan berakulturasi dengan tradisi Islam. Dan hampir setiap daerah memiliki ke khas-an hari raya ketupat atau raya kupat.

Dalam Hadis Imam Muslim dalam Shahih Muslim nomor 1991 menyatakan bahwa: “Barang siapa yang berpuasa Ramadhan, kemudian diikuti dengan puasa enam hari pada bulan Syawwal, maka ia seolah-olah puasa setahun.” Hadis inilah yang mendasari masyarakat muslim di Indonesia untuk melaksanakan puasa sunah enam hari dibulan syawal lalu kemudian mengakulturasikan tradisi selametan dalam bentuk “Lebaran kupat atau hari raya kupat”.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Lebaran kupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga, saat itu, beliau memperkenalkan dua istilah Bakda kepada masyarakat Jawa, Bakda Lebaran dan Bakda Kupat. Bakda Lebaran dipahami dengan prosesi pelaksanaan shalat Ied satu Syawal hingga tradisi saling kunjung dan memaafkan sesama muslim, sedangkan Bakda Kupat dimulai seminggu sesudah Lebaran. Pada hari itu, masyarakat muslim Jawa umumnya membuat ketupat, yaitu jenis makanan yang dibuat dari beras yang dimasukkan ke dalam anyaman daun kelapa (janur) yang dibuat berbentuk kantong, kemudian dimasak, ketupat tersebut diantarkan ke kerabat terdekat dan kepada mereka yang lebih tua, sebagai bentuk silaturrahmi dan simbol kebersamaan dan lambang kasih sayang.

Menurut H.J. de Graaf, dalam buku Malay Annal, ketupat adalah simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak. Pada awal abad ke-15, Kesultanan Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah. Kesultanan Demak membangun kekuatan politiknya sembari menyiarkan agama Islam dengan dukungan Walisongo, salah satu di antaranya adalah Sunan Kalijaga. Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur kelapa yang telah dibuang lidinya itu menunjukkan identitas budaya pesisir yang dipenuhi banyak pohon kelapa.

Kupatan sendiri merupakan salah satu tradisi masyarakat muslim Jawa yang masih dilestarikan sampai sekarang. Umumnya, kupatan hanya dirayakan oleh masyarakat secara individual. Menurut Clifford Geertz, kupatan adalah tradisi selametan kecil yang dilaksanakan pada hari ketujuh bulan syawal.Secara filosofi, janur kuning yang dibuat untuk membungkus kupat menurut orang Jawa diyakini bisa menolak bala (nasib buruk). Oleh karena itu, tidak heran ketupat selalu hadir di beragam upacara adat.

Janur merupakan kependekan dari 'Jatinining nur' yang memiliki makna memiliki cita-cita untuk menggapai cahaya ilahi dengan hati yang bersih. Untuk itu, agar bisa mencapainya, seseorang harus selalu ingat pada Tuhan, berzikir, dan beramal saleh.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Dalam Kamus Pepak Basa Jawa, Slamet Mulyono menuliskan bahwa kata "Ketupat" berasal dari kata "Kupat". Kupat merupakan parafrase dari "Ngaku Lepat" dan "Laku Papat".

Ngaku Lepat umumnya diimplementasikan dengan tradisi sungkeman di hadapan orang tua. Prosesi sungkeman memperlihatkan bagaimana seorang anak bersimpuh dan meminta maaf pada orang tua, tidak angkuh, memuliakan orang tua, serta selalu meminta bimbingannya.

Sedangkan Laku Papat diartikan ke dalam empat istilah, yakni "Lebaran", "Luberan, "Leburan", dan "Laburan". Lebaran memiliki arti usai atau berakhir, yang menandakan selesainya masa berpuasa dalam bulan Ramadhan dan kesiapan menyongsong kemenangan.

Luberan bermakna meluber atau melimpah, selayaknya air yang meluber dari wadah. Istilah ini memiliki makna budaya untuk membagikan berkah yang ada pada orang yang lebih membutuhkan.  Leburan berarti melebur habis. Saling meleburkan dosa dan memaafkan satu dengan yang lain. Terakhir, Laburan berasal dari kata Labur atau Kapur yang memiliki warna putih dan dapat menjernihkan, sama seperti hati manusia usai lebaran ketupat.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Lebaran Ketupat sering disebut pula sebagai kupatan. Di beberapa daerah tertentu di Indonesia dirayakan secara lebih istimewa. Tidak hanya saling bersilaturahmi antarkeluarga, saudara, kerabat, maupun tetangga, masyarakat juga biasanya mengadakan kirab tumpeng raksasa. Tumpeng raksasa itu dibuat dari ribuan ketupat dan biasanya disusun mengerucut.

Motif atau tujuan paling utama diselenggarakannya tradisi kupatan oleh masyarakat muslim khususnya di pulau Jawa adalah untuk memperkuat tali silaturahmi antar sesama warga. Namun demikian, masyarakat juga meyakini bahwa kupatan sebagai tradisi luhur yang harus dijaga dan dilestarikan sebagai warisan ajaran yang di dalamnya berisi tentang anjuran untuk silaturrahmi, bersedekah dan memuliakan tamu.

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Tradisi kupatan diyakini sebagai wujud praktik dari keutamaan ajaran hadis Nabi yang berkaitan dengan silaturahmi, sedekah, dan memuliakan tamu yang dituangkan dalam bentuk praktek kupatan buka rumah. Disinilah kandungan ajaran dalam sebuah hadis hidup di tengah masyarakat. Meskipun pada dasarnya masyarakat kurang mengetahui dan memahami hadis mana yang dijadikan sebagai dasar praktik kupatan. namun, mereka meyakini bahwa tradisi itu adalah bentuk praktik nilai luhur yang diajarkan oleh para leluhur, sehingga masyarakat merasakan ketenangan dan kenyamanan dalam dalam kehidupan sehari-harinya.

Demikian khutbah yang singkat ini. Mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua.

 أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ  

KHUTBAH KEDUA:

اَلْحَمْدُ للهِ وَكَفَى، وَأُصَلِّيْ وَأُسَلِّمُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْمُصْطَفَى، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الْوَفَا. أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ عَظِيْمٍ، أَمَرَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى نَبِيِّهِ الْكَرِيْمِ فَقَالَ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ، يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا، اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِيْ الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

DO'A KHUTBAH:

 اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ والْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ، اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً، إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، إنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى ويَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذكُرُوا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ  

__________________________
Oleh: Ahmad Baedowi, M.Si.
Sumber: Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa (Terj), ed. Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto (Jakarta, 2013), 105.