Nasihat Seorang Pelacur Tetap Bernilai Ibadah

 
Nasihat Seorang Pelacur Tetap Bernilai Ibadah
Sumber Gambar: Buku Menikahi yang Dicintai atau Mencintai yang Dinikahi

Laduni.ID, Jakarta – Seperti apapun alasannya, yang haq tetaplah haq dan harus disampaikan. Ketika ada seseorang yang di mata manusia sudah dicap sebagai ahli maksiat, maka semua tindak tanduknya bakal dicap salah. Sehingga nasehatnya pun akan tetap dianggap salah dan tak berguna laiknya air comberan yang mengalir di selokan. Dan ini sebuah kesalahan.

مالا يدرك كله لا يترك كله فعل المأمور به كله فإن قدر على بعضه وعجز عن باقيه فعل ما قدر عليه

"Jika tidak didapati seluruhnya maka jangan ditinggalkan seluruhnya (yang mampu dikerjakan). Wajib melakukan semua yang diperintahkannya. Jika mampu sebagiannya dan tidak sebagiannya yang lain, maka kerjakanlah yang mampu."

Secara teori Ushul Fiqh ini salah. Karena bagaimanapun kebenaran tetaplah mutlak sebuah kebenaran. Sedangkan perbuatan dan perkataan adalah dua amaliyyah taklifiyyah yang berbeda. Ketika perbuatannya salah maka bukan lantas perkataannya juga dianggap salah. Sehingga nasehat seorang pelacurpun itu tetap sebuah kebenaran.

Ketika kita misalnya seorang ahli maksiat, maka kita tetap wajib menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar kepada keluarga kita. Kita tetep wajib memberi nasehat kepada keluarga kita. Bukan lantas karena kita ahli maksiat maka kita tidak boleh melakukan amar ma'ruf nahi mungkar dan memberi nasehat. Ketika kita gagal dalam perbuatan maka jangan gagal lagi dalam perkataan. Jangan gagal lagi dalam nasehat.

Imam al-Bushiri Shahibil Burdah pernah dikritik oleh Imam Ibrahim al-Bajuri dalam kitabnya "Hasyiyah al-Bajuri Ala Matn al-Burdah" ketika beliau mengeluh karena merasa dirinya tidak bisa melakukan apa yang dinasehatkan. Dirinya hanya mampu berkata tapi tidak mampu mengerjakannya.

 فكيف يكون الأمر بالمعروف مذموما فإن الفعل حكم والأمر حكم أخر إلا في معرض ذم نفسه

"Jika ucapan itu untuk mengkritik diri sendiri tidak masalah. Tapi bagaimana bisa sebuah kebaikan menjadi tercela hanya karena ia tidak melakukannya. Sedangkan perbuatan dan perkataan adalah dua hukum yang berbeda."

Ketika kita masih doyan melakukan maksiat, bukan berarti kita tidak boleh melarang orang untuk berbuat maksiat. Ketika kita tidak pernah melakukan shalat Tahajjud bukan berarti kita tidak boleh menyuruh orang untuk shalat Tahajjud. Kita tetep harus menyampaikan yang haq. Dan ucapan itu harus diterima sebagai sebuah kebenaran meskipun dirinya sendiri ahli maksiat dan tidak pernah melakukan kebaikan itu.

al-Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam kitab "Lathaif al-Ma'arif" mengatakan:

لو لم يعظ إلا معصوم من الزلل لم يعظ الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم أحد لأنه لا عصمة لأحد بعده

"Seandainya tidak boleh memberi nasehat kecuali seorang yang terjaga (ma'shum) dari kekurangan, niscaya tidak akan ada seorang pun yang bisa menasehati orang lain selain Rasulullah Saw, karena tidak ada yang ma'shum selain beliau."

Benar pepatah mengatakan:

أنظر ما قيل ولا تنظر من قال

" Lihatlah perkataannya dan jangan lihatlah siapa orangnya."

Oleh karena itu, jika kita tidak bisa menjadi baik dalam perbuatan dan ucapan, maka setidaknya kita baik dalam ucapan. Sebruruk dan semaksiat apapun perbuatan seseorang, dia tetep berhak bahkan wajib untuk menyampaikan kebenaran. Dan kita wajib menerimanya sebagai sebuah kebenaran.

Disisi lain, jangan pernah putus asa pada Maghfirah dan Rahmat Allah Swt. Tetaplah berusaha mendekat kepada Allah swt.

Sidil Habib Umar bin Hafidz berkata: "Jangan pernah bosan bertaubat dan kembali mendekat kepada Allah swt meskipun dalam sehari kau jatuh kedalam kubangan maksiat sebanyak 100 kali."

Jika kau menyerah dan berhenti bertaubat kepada Allah swt hanya karena terlalu sering berbuat maksiat, maka itu adalah kemenangan terbesar setan karena sudah berhasil membuat manusia menjauh dari Allah Swt.

Begitupun cara kita menyikapi orang yang ahli maksiat, kita tetap wajib menjaga aib-aibnya, tidak boleh merasa lebih baik serta tetap berbelas-kasihan. Sidil Habib Umar bin Hafidz juga menjelaskan bagaiamana cara kita bersikap dengannya.

فقال سيدي: لانفشي لهم أمرا كتموه ولانقرهم على معصية أظهروها وإذا لم نقرهم ولم نحتقرهم ولم نحكم على مصيرهم ولم نخرجهم من دوائرالإيمان ولم نتكبر عليهم فنحن في وقت انكارنا عليهم لابد أن يحسوا بشيئ مما عندنا من الاحترام والرحمة والأدب فقد كان هذا شعار أهل الإيمان حتى وهم في وسط معارك الجهاد فالذي يتوقع أن الإنكار وتغير المنكر معناه الاحتقار أو التعالي على من ينهاه فهو لم يعرف قواعد الشرع ولم يعرف سرالأمر والنهي

"Kita tidak boleh menyebarkan aib-aib mereka dan juga tidak mendiamkam maksiat yang mereka lakukan secara terang-terangan. Kita harus meluruskan kesalahan mereka namun di sisi lain kita juga tidak boleh merendahkan, meremehkan dan merasa lebih baik dari mereka, justru ketika kita menasehati dan meluruskan mereka kita harus mencamkan dalam hati kita rasa hormat, kasih sayang dan belas kasih untuk mereka. Maka siapa saja yang mengira bahwa mengingkari suatu kesalahan adalah merendahkan dan merasa lebih baik dari orang yang berbuat salah tersebut, maka sama sekali ia tidak paham dengan kaidah-kaidah syariat."

الحق سبحانه وتعالى يحب الستر عن عباده بل وسمى نفسه في شأن محبة الله الستار ويعامل المتخلق بهذا الخلق من عباده بستر معايبه وتغطية قبائحه فالمتسارع إظهار المعايب معرض لخطر الفضيحة وأن يكشف الله عورته

"Allah swt suka menutupi aib dan kesalahan hamba-hamba-Nya, bahkan Allah menanamkan diri-Nya 'As-Sattar' (Yang Maha menutupi kesalahan) Allah juga memperlakukan orang yang suka menutupi kesalahan orang lain dengan menutupi aib-aib dan kesalahannya juga. Sedangkan orang yang mudah menyebar aib orang lain, maka Allah juga akan mengumbar aibnya dan membuka tabur-tabir kesalahannya."

Sumenep, 22 April 2021

 

Disarikan dari buku; "Menikahi yang Dicintai atau Mencintai yang Dinikahi"

Oleh: Ahmad Mo’afi Jazuli

Sumber: https://www.facebook.com/photo?fbid=125061086339967&set=a.115504967295579