Memahami Hadis Dajjal dengan Tepat: Makna Allah Tidak Buta Sebelah

 
Memahami Hadis Dajjal dengan Tepat: Makna Allah Tidak Buta Sebelah
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Salah satu hujjah para mujassim untuk mempropaganda awam bahwa Allah adalah jisim, dengan memplesetkan hadis yang bercerita tentang ciri Dajjal. Salah satu redaksi hadis tersebut berbunyi:

ما بَعَثَ اللَّهُ مِن نَبِيٍّ إلّا أنْذَرَ قَوْمَهُ الأعْوَرَ الكَذّابَ، إنَّهُ أعْوَرُ وإنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأعْوَرَ

"Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi kecuali dia memperingatkan kaumnya tentang si buta sebelah yang pembohong besar. Sesungguhnya dia buta sebelah dan Tuhanmu tidaklah buta sebelah". (HR. Bukhari)

Dalam versi riwayat lainnya disebutkan bahwa yang cacat adalah mata kanan si dajjal. Versi lainnya menyebutkan bahwa Nabi Muhammad menjelaskan cacat itu sambil menunjuk mata kanan beliau sebagai tanda bahwa mata kanan si dajjal yang buta.

Para mujassim di setiap masa seolah kegirangan dengan hadis tersebut yang menurut mereka adalah bukti paling jelas bahwa Allah adalah jisim bermata dua dan kedua matanya sehat semua tidak picek (buta sebelah). Dajjal kan (jisim) buta sebelah, jadi ketika Nabi bersabda bahwa Allah tidak buta sebelah artinya Allah adalah jisim yang mempunyai dua mata dan dan keduanya berfungsi. Begitulah nalar sesat mereka menyimpulkan.

Meskipun seolah benar, pemahaman mereka sebenarnya sangat keliru dan hanya menunjukkan bahwa otak mereka betul-betul menyamakan Allah dengan makhluk, meskipun semua tidak mau mengakui telah menyamakan Allah dengan makhluk. Mari kita urai kerancuan berpikir mereka dalam tiga poin berikut:

Soal Jumlah "Mata"

Pemikiran itu timbul karena dalam benak mereka Allah sama dengan manusia. Ketika kita mendengar bahwa si Fulan tidak buta sebelah, pikiran kita akan menyimpulkan bahwa kedua mata si Fulan sehat semua. Jumlah dua mata ini muncul karena kita tahu bahwa manusia bermata dua. Andai yang dibicarakan adalah hewan, maka kata "tidak buta sebelah" tidak menunjukkan berapa jumlah matanya sebab hewan ada yang bermata empat, sepuluh bahkan ada yang sangat banyak. Misalnya saya katakan bahwa Chiton (merupakan hewan laut yang hidup di substrat, ukuran terbesarnya adalah 23 cm, sedangkan panjangnya mencapai 12 cm) itu tidak buta sebelah, maka berapa jumlah matanya yang tidak buta? Anda takkan bisa menjawabnya kecuali menghitungnya satu persatu.

Karena itu mereka yang menyatakan bahwa Allah mempunyai mata berjumlah dua ('ainain) sejatinya sedang menyamakan Allah dengan manusia. Andai dia membuang pikiran itu dan menyadari bahwa Allah maha berbeda, maka kesimpulan itu takkan terpikirkan. Kata-kata saya ini berlaku pada siapa pun termasuk pada tokoh-tokoh besar yang lumrahnya kita sebut imam. Perlu diketahui bahwa tidak ada ayat atau hadis yang menyebutkan "dua mata" bagi Allah dengan penyebutan angka dua. Semua tokoh yang menyebutkan angka dua ini berdasar kesimpulannya pribadi terhadap hadis Dajjal. Ini kesalahan soal menyimpulkan jumlah.

Soal Kejisiman

Soal kejisiman logikanya juga sama. Kata "tidak buta sebelah" adalah kata penegasian atau penafian. Yang bisa disimpulkan dari kebalikan kata penegasian tergantung objek yang dibahas. Bila objeknya jisim, maka berlaku kaidah jisim. Bila objeknya bukan jisim, maka tidak berlaku kaidah jisim. Ingat poin ini.

Simak contoh berikut agar jelas:

Kalimat "Timbangan itu tidak berat sebelah" berbicara tentang jisim dan bobot dari neraca timbangan. Namun kalimat "Penilaianku tidak berat sebelah" sama sekali bukan soal jisim atau pun bobot, tapi soal keadilan. Kalimatnya sama tetapi bila objek yang dibicarakan berbeda maka kesimpulannya juga harus berbeda.

Dengan demikian ketika membaca kata "Allah tidak buta sebelah", pembaca yang berakidah tajsim akan langsung memberlakukan kesimpulan tajsim pada Allah. Sedangkan pembaca yang berakidah tanzih (Ahlussunnah wal Jamaah) sama sekali tidak akan sampai pada kesimpulan tersebut sebab baginya Allah berbeda mutlak dengan jisim. Berbeda jauh ketika ojbjek yang dibahas adalah jisim dan ketika objeknya Allah. Ketika yang dibahas adalah Allah, maknanya tak lebih dari sekedar Allah Maha Melihat dengan sempurna tanpa ada celah sedikit pun yang mengurangi sifat ke-Maha Melihat-an Allah.

Agar makin jelas, coba perhatikan contoh kalimat penegasian yang juga disebutkan dalam al-Qur'an berikut:

"Allah tidak mengantuk dan tidak tidur." Ketika mujassim membaca kalimat ini maka pikiran sesatnya akan menyimpulkan bahwa mata Allah selalu segar bugar dan tidak pernah lama terpejam seperti saat manusia tidur. Dia lah yang terlebih dahulu menyamakan Allah dengan manusia sehingga sampai pada kesimpulan semacam itu. Tetapi bila yang membaca kalimat itu adalah ahli tanzih (Ahlussunnah wal Jamaah), maka yang dia pahami dari itu tak lebih dari sekedar pengawasan Allah yang tidak mengenal jeda apalagi berhenti.

"Allah tidak beranak." Ketika mujassim membaca kalimat ini, pikiran sesatnya mungkin saja akan menyimpulkan bahwa Allah mandul atau bahwa tidak pernah ada sosok yang dilahirkan dari kelaminnya. Maha Suci Allah dari pikiran yang super bodoh semacam ini. Ketika ahli tanzih membaca itu, maka pikirannya hanya akan sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada sesuatu pun yang terpisah dari Dzat Allah yang non-jisim itu. Sama sekali bukan soal mandul dan bukan soal kelamin sebab Allah tidak punya badan.

"Allah tidak dilahirkan." Ketika mujassim membaca kalimat ini, otak mujassimnya bisa jadi akan bertanya-tanya jangan-jangan Allah ada karena berevolusi tanpa proses reproduksi? Maha Suci Allah dari pertanyaan yang super bodoh ini. Dia menyamakan Allah dengan jisim terlebih dahulu sehingga pertanyaan itu muncul. Bagi Ahlussunnah wal Jamaah, maknanya tidak lebih dari sekedar penegasan bahwa Allah itu qadim yang selalu ada tanpa didahului dengan ketiadaan dan tidak juga berasal dari entitas lain sebelumnya sebab memang tidak ada sesuatu pun sebelum Allah. Bahkan kata "sebelum Allah" pun sebenarnya salah.

Jadi, memahami kebalikan dari sebuah penegasian tidaklah sesederhana yang dipikirkan otak bodoh mujassim. Perlu diketahui dengan jelas terlebih dahulu hakikat dari objek yang dibahas. Ketika yang dibahas adalah Allah yang maha berbeda dari segala isi semesta, maka jangan sampai pola pikirnya sama seperti saat membahas hal lain.

Soal Sisi Selain Mata

Hadis tersebut membicarakan soal Dajjal yang dinyatakan tidak sama dengan Allah. Dajjal buta sebelah sedangkan Allah tidak. Pertanyaannya, selain soal buta sebelahnya mata, sama atau tidak antara Allah dan Dajjal? Mujassim di sekitar kita takkan berani menjawab pertanyaan ini sebab takut divonis musyabbih (orang yang menyamakan Allah dengan makhluk). Tapi dalam pikirannya jelas bahwa selain soal buta sebelahnya mata semua sama antara keduanya sehingga mereka bangga sekali berdalil dengan hadis itu untuk menjisimkan Allah.

Bagi mereka, ciri yang membedakan Allah dengan Dajjal hanya soal buta sebelah sedangkan soal yang lain sama. Karena Dajjal bermata dua, maka Allah pun dianggap bermata dua. Karena Dajjal berjisim, maka Allah pun dianggap berjisim. Karena organ lainnya tidak disebut dengan ciri berbeda oleh Nabi, maka mereka berasumsi bahwa organ lainnya sama meskipun pasti diakhiri dengan embel-embel "kaifiyahnya berbeda dan tak usah ditanya". Ini pikiran sesat yang takut untuk mereka ungkapan terus terang. Maha Suci Allah dari kesimpulan super bodoh semacam ini.

Dalam pemahaman ahlussunnah wal jamaah yang berciri khas tanzih, Allah bukanlah jisim dan Dzatnya bukanlah susunan organ-organ. Saat itu Nabi Muhammad hanya ingin menekankan sebuah fakta sederhana bahwa Dajjal yang mengaku Tuhan itu menyembuhkan mata kanannya saja tidak bisa. Semua orang bisa melihat bahwa matanya buta sebelah kanan sehingga bagaimana mungkin yang seperti ini mengaku Tuhan? Ini saja inti yang ingin beliau sampaikan, tak perlu dibayangkan macam-macam seolah Nabi Muhammad sedang menetapkan organ mata bagi Allah. Parahnya, para mujassim terlalu banyak mengkhayal lalu khayalan fasid mereka itu dinisbatkan pada Rasulullah. Subhana Rabbika Rabbil Izzati 'Amma Yashifun.

Semoga bermanfaat

Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad


Editor: Daniel Simatupang