Kiai Abdul Wahab Ahmad: Alasan LBM PWNU Jatim Mengharamkan Cryptocurrency (bagian 3)

 
Kiai Abdul Wahab Ahmad: Alasan LBM PWNU Jatim Mengharamkan Cryptocurrency (bagian 3)
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Abdul Wahab Ahmad

Laduni.ID, Jakarta – Saat artikel ini ditulis, sebuah sumber mengatakan bahwa jumlah cryptocurrency di seluruh dunia adalah 11.000 jenis. Jumlah yang sangat banyak hingga jauh melampaui jumlah negara di dunia, sebab siapa pun dapat dengan bebas membuatnya, menentukan harganya dan menentukan mekanisme bermainnya. Asalkan orang lain setuju dan mau memberinya harga juga, maka bim salabim, jadilah uang kripto baru. Siapa yang dapat menjamin keberadaan harga dalam masing-masing currency atau mata uang itu? Tidak ada.

Potensi gharar ini tetap melekat saat kripto dianggap bukan sebagai currency, tetapi sebagai aset atau komoditas. Nilainya tetap tidak jelas, sebab memang sejatinya hanya berupa “angka canggih” yang serta merta diberi nilai tanpa patokan yang jelas.

Bila terjadi apa-apa pada investasi beresiko ini, tidak akan ada yang akan bertanggung jawab. Terjadinya penipuan, hacking, blocking oleh pemerintah, tutupnya web exchange, dan berbagai hal lain akan membuat investor kripto rugi besar dalam sekejap tanpa ada mekanisme hukum yang dapat mengembalikan uangnya. Inilah yang membuat mayoritas musyawirin lebih memilih fatwa haram sebagai wujud perlindungan terhadap masyarakat untuk saat ini.

Bila ke depannya potensi gharar ini teratasi, saya yakin seyakin yakinnya LBM PWNU akan mempertimbangkan ulang poin ini, seperti yang sudah-sudah sesuai kaidah “al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman”.

Ketiga, soal regulasi. Sampai saat ini, undang-undang dan peraturan Bank Indonesia hanya mengakui satu currency (alat tukar) di NKRI, yakni rupiah. Sebab itu, membahas keberlakuan currency lain di Indonesia adalah tidak tepat dan jelas-jelas melanggar hukum. Regulasi ini mempunyai tujuan kemaslahatan yang terukur untuk NKRI, sehingga menyatakan bahwa cryptocurrency tertentu halal digunakan sebagai mata uang alternatif di NKRI jelas keliru, baik dari sigi hukum positif mau pun fikih. Lagi-lagi, bila regulasi ke depan berkata lain, maka putusan hukum pun akan lain pula.

Tiga hal inilah yang menjadi perdebatan sengit dalam forum. Kemudian ada beberapa pertimbangan lain yang menjadi masukan para musyawirin seperti isu keamanan, pencucian uang dan lain-lain sebagaimana dapat dibaca dalam dokumen PWNU Jatim nomor 1087 /PW/A-11/L/XI/2021 Tentang Cryptocurrency dan Bursa Kripto.

Jadi, anggapan Kiai Imam Jazuli bahwa keharaman itu hanya muncul karena soal entitasnya tidak terlihat sama sekali tidak tepat sasaran, mendekat pun tidak. Pertimbangannya jauh lebih kompleks dari yang beliau sangka. Tentu saja pada akhirnya pihak lain tetap dapat mempunyai pendapat berbeda dan LBM PWNU Jatim menyadari betul hal ini. Karena itu, ketika ada LBM lain yang menghasilkan produk putusan yang berbeda, reaksinya biasa saja. Yang jelas topik ini akan dibahas ulang nanti di forum muktamar yang notabene adalah forum tertinggi yang diikuti seluruh perwakilan se-Indonesia.

3. Pengakuan bahwa lembaga fatwa Internasional juga mengharamkan

Setelah memvonis LBM Jatim sebagai jumud dan menyarankan untuk membaca kitab putih (baca: buku kontemporer), Kyai Imam berkata, “Ulama-ulama Islam dari Mesir, Kuwait, dan Indonesia condong mengharamkan uang kripto.”

Pertanyaannya, apakah itu artinya beliau juga menganggap fukaha dalam lembaga fatwa di belahan dunia yang lain tersebut jumud? Kita tahu bahwa mereka adalah salah satu produsen kitab-kitab putih yang beredar saat ini. Apakah para ekonom di Bank Indonesia dan bank sentral negara lain yang hingga saat ini tidak mengakui eksistensi cryptocurrency dan melarangnya juga mau dibilang jumud? Para ekonom itu kebanyakan tidak mengenal kitab kuning tetapi sepenuhnya berpedoman pada buku-buku yang mereka pelajari.

Seperti disinggung di awal, tidak ada relevansi langsung antara penilaian terhadap cryptocurrency dengan kejumudan berpikir atau mengultuskan kitab kuning. Bisa jadi yang menganggapnya boleh itulah yang jumud karena hanya karena melihat ini menguntungkan maka “harus halal”. Pikiran harus halal sebab bisa untung jelas adalah pikiran jumud yang sudah ada sejak masa jahiliyah.

4. Santri dan teknologi

Dalam penutupnya, Kyai Imam berkata, “Terakhir sekali, para santri di pondok pesantren jangan terus-terusan dicekokin kitab kuning. Tetapi mereka juga harus diajari teknologi.”

Saya tidak tahu santri mana yang dimaksudnya di sini? Kalau yang dimaksud adalah santri secara umum, bukankah sudah banyak sekali santri yang melanjutkan kuliah ke segala bidang, termasuk di bidang teknologi? Banyak aplikasi android yang ada di Playstore adalah buatan santri, semisal aplikasi falak, waris, pembaca kitab dan sebagainya.

Selain itu, saya tidak tahu penguasaan teknologi macam apa yang dikuasai beliau sebagai pengkritik yang tidak dimiliki para santri secara umum. Kalau hanya level user seperti memakai komputer, hape, internet dan memakai entitas dunia maya, saya pastikan hampir semua bisa, karena ini tuntutan zaman. Kalau yang dimaksud adalah teknologi di level creator, maka kenapa santri yang dituntut menguasainya, kan ada anak sekolah yang memang belajar untuk tujuan itu?

5. Tandingan kripto?

Di bagian closing, Kiai Imam berkata, “Jika kita sepakat bahwa uang kripto adalah haram, maka apa solusi atau karya dari santri dalam hal mata uang digital? Bisakah para santri tidak saja pandai mengharamkan sesuatu, tetapi menciptakan tandingannya?”

Sebentar, sebentar, jadi sekarang santri diminta membuat uang kripto juga dalam kondisi saat ini seperti dijelaskan di atas? Ini sama seperti ketika santri mengharamkan sabung ayam lalu ditantang untuk membuat sabung ayam syar’i.

Sekali lagi, kripto dapat berpeluang halal apabila kondisi telah berubah di mana faktor-faktor yang membuatnya diharamkan telah hilang. Jadi solusinya bukan dengan membuat mata uang kripto tandingan tetapi dengan cara mengubah situasi. Yang bisa mengubah situasi ini tentu bukan santri tetapi pemerintah secara khusus dan perubahan kondisi dunia ekonomi secara umum. Di sinilah kita dituntut untuk berpikir kompleks dan tidak menyederhanakan masalah, agar tidak jumud.

Ini adalah pandangan saya pribadi sebagai salah satu saksi sejarah saat keputusan haram terhadap cryptocurrency itu dibuat. Jadi, ini bukan mewakili lembaga LBM atau pun PWNU. Silakan bila Anda tidak sepakat sebab ruang diskusi tetap terbuka. Saya hanya menceritakan kondisi di belakang layar yang tidak terekam dalam edaran, itu pun berdasarkan apa yang saya ingat. Bila ada yang tidak akurat, itu murni dari saya pribadi.

Semoga bermanfaat.

Jember, 23 November 2021

Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad, Ketua Aswaja NU Center Jember, Jawa Timur


Editor: Daniel Simatupang