Hukum Mewakafkan Harta Benda untuk Gereja

 
Hukum Mewakafkan Harta Benda untuk Gereja
Sumber Gambar: Gereja Katedral/Kompas.com

Laduni.ID, Jakarta – Sebagai negara yang bhineka, Indonesia memiliki enam agama yang diakui negara. Tentu hal tersebut juga mempengaruhi hubungan antar warga negara, khususnya antar umat beragama. Dalam Islam, hubungan atar manusia, khususnya antar umat beragama, dilandasi dengan kedamaian dan persaudaraan. Bahkan Nahdlatul Ulama menjadikan mengaplikasikan tiga konsep persaudaraan dalam Islam dengan sangat, tiga konsep tersebut adalah ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama umat Islam), ukhuwah wathaniya (persaudaraan bangsa), ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan).

Hubungan-hubungan sosial yang terjadi pada umat muslim di Indonesia tentu tak lepas dari hubungannya dengan umat agama lain. Dalam fikih Islam, pahala ibadah tidak hanya didapatkan melalui ritual ibadah, melainkan juga didapatkan dalam relasi seorang muslim terhadap sosialnya.

Namun, terdapat hal-hal yang boleh untuk dikerjakan serta batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar, misalnya terkait rumah ibadah. Seorang muslim dilarang untuk mewakafkan harta bendanya untuk rumah ibadah agama lain.

Ulama empat mazhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali) tidak membolehkan seorang muslim mewakafkan hartanya, tanpa akad, untuk kepentingan rumah ibadah agama lain. sebab, wakaf tidak boleh diperuntukkan bagi kemaksiatan, dalam hal ini ialah menyekutukan Allah. Syeikh Wahbah Az-Zuhaili pernah menyatakan:

فَلَا يَصِحُّ وَقْفُ الْمُسْلِمِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ عَلَى بِيْعَةٍ أَوْ كَنِيْسَةٍ لِعَدَمِ كَوْنِهِ قُرْبَةً فِيْ ذَاتِهِ وَلَا يَصِحُّ الْوَقْفُ فِيْ مَذْهَبِ الْمَالِكِيَّةِ عَلَى كَنِيْسَةٍ.

وَلَا يَصِحُّ الْوَقْفُ مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ ذِمِّيٍّ فِي رَأْيِ الشَّافِعِيَّةِ عَلَى جِهَةٍ مَعْصِيَّةٍ أَوْ مَالَا قُرْبَةَ فِيْهِ كَعِمَارَةِ وَتَرْمِيْمِ الْكَنَائِسِ وَنَحْوِهَا مِنْ مُتَعَّبَدَاتِ الْكُفَّارِ لِلتَّعَبُّدِ فِيْهَا.

وَلَا يَصِحُّ الْوَقْفُ لَدَى الْحَنَابِلَةِ مِنْ مُسْلِمٍ أَوْ ذِمِّيٍّ عَلَى كَنَائِسَ وَبُيُوْتِ نَارٍ وَبِيَعٍ وَصَوَامِعَ وَأَدِيْرَةٍ، وَمَصَالِحِهَا كَقَنَادِيْلِهَا وَفَرَشِهَا وَوَقُوْدِهَا وَسَدَنَتِهَا لِأَنَّهُ كَمَا ذَكَرَ الشَّافِعِيَّةِ إِعَانَةٌ عَلَى مَعْصِيَّةٍ.

“Tidak sah wakafnya muslim menurut mazhab Hanafi kepada gereja atau sinagoge (tempat ibadah agama Yahudi) karena tidak terdapat kebaikan (ibadah) dalam substansi wakaf tersebut, dan tidak sah menurut mazhab Maliki wakaf kepada sinagoge.

Tidak sah wakaf baik dari seorang muslim atau pun dzimmi (non-muslim yang tinggal di negara Islam dan bersedia menjalankan peraturan dan hukum yang berlaku di sana), menurut pendapat mazhab Syafii, kepada arah maksiat atau sesuatu yang tidak ada nilai ibadahnya seperti membangun sinagoge, memperbaikinya, dan semacamnya yang berupa tempat-tempat ibadah orang-orang non-muslim (yang dibangun) untuk ritual ibadah mereka.

Tidak sah wakaf menurut mazhab Hanbali, baik dari muslim atau pun dzimmi, kepada sinagoge, rumah-rumah api (tempat ibadah kaum Majusi), gereja, biara, kuil, dan fasilitas-fasilitasnya seperti lampu, alas tidur, bahan bakarnya, dan pelayannya karena hal itu—sebagaimana disebutkan oleh mazhab Syafii membantu kemaksiatan.”

Namun, jika harta benda seorang muslim diberikan untuk kepentingan rumah ibadah agama lain, dengan menggunakan akad ijarah (sewa), atau menjual jasa tenaga untuk bekerja membangun rumah ibadah agama lain, maka mazhab Hanafi mebolehkannya. Sedangkan mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali tidak membolehkannya/mengharamkan.

Dalil yang digunakan oleh mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali ialah sebagai berikut:

وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوٰىۖ وَلَا تَعَاوَنُوْا عَلَى الْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

Artinya: “Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah: 2).

Imam Syafii pernah berkata:

وَأَكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَعْمَلَ بِنَاءً أَوْ نِجَارَةً أَوْ غَيْرَهُ فِي كَنَائِسِهِمْ الَّتِي لِصَلَوَاتِهِمْ

“Aku benci seorang muslim yang bekerja membangun, menjadi tukang kayu, atau lainnya dalam gereja-gereja mereka yang digunakan untuk ibadah mereka.”

Syafii Syeikh Al-Khathib Asy-Syirbini (w. 1570 M) mengatakan:

وَلَا يَنْبَغِي لِفَعَلَةِ الْمُسْلِمِينَ وَصُيَّاغِهِمْ أَنْ يَعْمَلُوا لِلْمُشْرِكِينَ كَنِيسَةً أَوْ صَلِيبًا

“Tidak seharusnya bagi para pekerja dan para tukang cetak emas/perak muslim untuk membuat sinagoge/gereja atau salib bagi orang-orang musyrik (menyekutukan Allah).”

International Islamic Fiqh Academy (مجمع الفقه الإسلامي الدولي) dalam muktamar tahun 1986 di Yordania memberikan putusan haram hukumnya bagi seorang muslim yang bekerja membangun tempat ibadah agama lain atau membantu pembangunannya.

Sementara itu, mazhab Hanafi memperbolehkan seorang muslim untuk bekerja membangun tempat ibadah agama lain, karena substansi dari membangun sebuah bangunan bukanlah suatu kemaksiatan.

Syeikh Wahbah Az-Zuhaili mengemukakan:

يَجُوْزُ لِلشَّخْصِ عِنْدَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ أَنْ يُؤْجِرَ نَفْسَهُ أَوْ سَيَّارَتَهُ أَوْ دَابَّتَهُ بِأَجْرٍ لِتَعْمِيْرِ كَنِيْسَةٍ، أَوْ لِحَمْلِ خَمْرِ ذِمِّيٍّ، لَا لِعَصْرِهَا لِأَنَّهُ لَا مَعْصِيَّةَ فِي الْفِعْلِ عَيْنِهِ.

“Boleh bagi seseorang menurut Imam Abu Hanifah untuk menyewakan dirinya, mobilnya, atau tunggangannya dengan upah untuk membangun sinagoge atau membawa khamr milik dzimmi, bukan untuk memeras anggur (untuk dijadikan khamr), karena tidak ada kemaksiatan dalam substansi pekerjaan itu.”

Ibnu Najim Al-Hanafi (w. 1563 M) dalam kitab Al-Bahr Ar-Ra’iq Syarh Kanz ad-Daqa’iq, mengatakan:

وَفِي التَّتَارْخَانِيَّة: وَلَوْ أَجَّرَ الْمُسْلِمُ نَفْسَهُ لِذِمِّيٍّ لِيَعْمَلَ فِي الْكَنِيسَةِ فَلَا بَأْسَ بِهِ

Di dalam Al-Fatawa At-Tatarkhaniyah (kitab kumpulan fatwa mazhab Hanafi karya Syeikh Alim bin Al-‘Ala Ad-Dahlawi), Jika seorang muslim menyewakan (menjual jasa) dirinya kepada seorang dzimmi untuk bekerja di sinagoge, maka tidak apa-apa.

Grand Mufti Mesir, Syeikh DR. Syauqi Ibrahim ‘Allam dalam salah satu fatwanya memilih pendapat mazhab Hanafi yang menghalalkan dan memperbolehkan seorang muslim yang bekerja membangun tempat ibadah agama lain.

Para ulama yang membolehkan muslim bekerja membangun atau merawat tempat ibadah agama lain umumnya mengutip ayat berikut ini sebagai dalil:

وَلَوْلَا دَفْعُ اللّٰهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَّهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَّصَلَوٰتٌ وَّمَسٰجِدُ يُذْكَرُ فِيْهَا اسْمُ اللّٰهِ كَثِيْرًاۗ

Artinya: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, sinagoge-sinagoge, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.” (QS. Al-Hajj: 40).

Referensi: Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh dan Tafsir Al-Munir; Wahbah Az-Zuhaili; Al-Umm; Asy-Syafii; Mughni Al-Muhtaj; Al-Khathib Asy-Syirbini; Al-Bahr Ar-Ra’iq; Ibn Najim Al-Hanafi; Raudhah Ath-Thalibin; An-Nawawi.

Sumber: Kesan.id


Editor: Daniel Simatupang