Mengurai Islam Arus Utama di Indonesia

 
Mengurai Islam Arus Utama di Indonesia
Sumber Gambar: Ilustrasi/Unsplash

Laduni.ID, Jakarta - Jika membincang perihal Islam arus utama di Indonesia, mungkin masih banyak hal-hal yang menimbulkan beberapa biji pertanyaan yang tak tuntas terjawab, baik itu oleh lontaran pertanyaan dari umat agama lain atau bahkan dari umat Islam sendiri.

Pertanyaan-pertanyaan itu di antaranya berkisar:

Pertama, soal mengapa kalangan umat Islam yang mengaku beraliran "tradisional", yang umumnya dianut oleh orang-orang desa itu sikap keagamaannya malah cenderung toleran, bisa guyub rukun dengan umat agama lain, dan agak berjarak dengan narasi-narasi agitatif seperti jihad, thagut, kafir, atau pekikan takbir?

Bukankah orang-orang desa itu selama ini dinarasikan – oleh ke-soktahuan orang-orang kota – sebagai orang-orang yang kurang berperadaban, yang kurang maju dalam olah pikir, berpikiran kerdil, fanatik kelompok, dan gampang diprovokasi sisi emosionalnya untuk melakukan suatu tindak kekerasan fisik?

Kedua, sementara mengapa fragmen kalangan Islam Perkotaan yang mengaku "Modernis", yang terdidik dalam kampus-kampus Islam elit nan mentereng itu malah sikap keagamaannya cenderung puritan, intoleran dengan umat agama lain, fanatik identitas, memuja-muja simbol, dan seakan-akan jauh dari narasi-narasi yang teduh seperti keutamaan bersikap Wasathiyyah (moderat), Tasamuh (saling menghormati), Ta’awun (saling tolong-menolong), Tawazun (saling menyeimbangkan), Musawah (menjunjung tinggi kesetaraan), dan juga bahkan sepertinya asing dengan konsep Rahmatan Lil Alamin (rahmat untuk seluruh alam) itu?

Bukankah selama ini diyakini – oleh klaim orang-orang kota – jika Islam perkotaan yang bercorak modernis itu adalah simbol umat Islam yang terpelajar, yang berpikiran maju, berwawasan kosmopolitan, rasional, dan tidak fanatik golongan?

Saya waktu kuliah dulu banyak bergaul dengan teman-teman dari berbagai latar belakang aliran Islam, mulai dari aliran Islam yang paling santuy sampai dengan Islam kanan yang paling ekstrim utopis. Dari situ sedikit banyak saya jadi bisa mengenali perbedaan perbedaan spesifik di antara mereka.

Dan untuk itu izinkan saya ikut menjawab – dengan perspektif lain – atas beberapa biji pertanyaan tadi.

Pertama, kalangan Islam tradisional yang umumnya dipahami sebagai umat Islam yang tinggal di desa-desa itu mengapa bagi kalangan Islam perkotaan dianggap kurang tegas secara politik dan aspek solidaritas sosial?

Menurut saya, jelas semua itu karena kalangan Islam tradisional ini tidak/kurang mempunyai kesadaran ekopol (ekonomi politik), untuk bisa merasakan dan menganalisis jika dirinya itu ditindas oleh sistem pelanggeng ketimpangan ekonomi, yang secara terstruktur begitu menyengsarakan rakyat miskin.

Islam dalam imaji kebanyakan kalangan tradisional itu hanya seperti candu yang melenakan dari dinamika kehidupan sosial konkret dan hanya peduli pada ritual-ritual untuk dunia pasca kematian.

Atau fragmen mereka yang lebih terorganisir dan terstruktur memang juga punya kepedulian untuk melawan kelompok Islam kanan garis keras. Namun sayangnya mereka pun mencukupkan diri pada perlawanan terhadap identitas keagamaan yang desdruktrif itu semata, mereka belum sampai kepikiran untuk melawan sistem sosial ekonomi yang juga desdruktif menindas rakyat.

Maka kebanyakan mereka hanya siap dalam membela konsep "abstrak" multi tafsir seperti negara dan agama, tetapi belum siap menjadi pembela "entitas nyata" seperti rakyat, wong cilik, kaum mustad'afin, dll.

Dari hal itulah timbul efek samping, yang membuat mereka bisa hidup rukun dengan siapapun, karena seringkali ketidaktahuan – dalam hal ini ketidaktahuan struktur penindasan sosial – membuat kesadaran kolektif sekelompok orang itu tetap adem ayem, damai, apatis, dan tidak bisa menganalisis "siapa kawan" dan "siapa lawan" yang sebenarnya. Serta medan perjuangan dan pergerakan apa yang semestinya dijalankan.

Kedua, sementara kalangan Islam modernis yang umumya tinggal di perkotaan itu mengapa punya tendensi sentimen terhadap segala identitas di luar kelompoknya?

Menurut saya, karena mereka secara geografis hidup di perkotaan yang identik dengan lingkup industri-industri besar dan persaingan bisnis ekonomi yang ketat atau bahkan kejam, mereka jadi timbul "kesadaran" bahwa diri dan kelompoknya itu ditindas dan diskriminasi dalam berbagai bidang sosial, oleh suatu sistem yang adi daya. Tetapi mereka belum bisa mengenali dengan teliti jika sistem jahat itu sesungguhnya adalah sistem Kapitalisme.

Maka efek sampingnya mereka malah terjebak kepada sentimen/kebencian pada identitas keagamaan serta etnik yang lain dan bukan sentimen pada kelas yang menindas. Akibatnya mereka mengira yang jahat dan menimbulkan ketimpangan ekonomi itu adalah orang Kristen atau etnik Cina.

Mereka gagal melihat bahwa akar penindas itu sesungguhnya adalah sistem Kapitalisme yang bisa diadopsi kalangan borjuis manapun, baik itu dia beridentitas Kristen, Katolik, Islam perkotaan, Islam tradisional, Islam Liberal, etnis Cina, Jawa, Minang, Batak, atau siapapun.

Karena disebabkan Islam Perkotaan tahu bahwa dirinya secara ekonomi politik ditindas tetapi tidak tahu realitas siapa yang menindas itulah, mereka akhirnya terjebak kepada kebencian identitas, baik identitas agama atau etnis.

Dan karena hal itulah mereka menjadi punya tendensi fasis sektarian dan sulit hidup rukun dengan golongan lain, sekalipun mereka identik dengan kaum kosmopolitan terpelajar yang semestinya mau menerima realitas pluralisme dengan sikap yang bijak.

Nah selanjutnya, jika Islam Tradisional adalan sebuah tesis yang berdiri di satu sisi dan Islam Modernis adalah anti tesis yang berlawanan di satu sisi. Lalu adakah sekelompok umat Islam lain yang bisa dikatakan sintesis peleburan di antara keduanya, atau sebut saja kalangan umat Islam yang tahu bahwa dirinya ditindas secara ekopol dan tahu dengan benar siapa realitas yang menindas itu?

Golongan sintesis atau golongan ketiga itu adalah kalangan Islam Progresif, atau yang biasa menyebut dirinya sebagai kalangan "Islam Kiri". Sebuah kelompok Islam yang juga akrab dengan narasi-narasi agitatif seperti Jihad, Thagut, Nahi Munkar untuk perlawanan terhadap kelas penindas (kapitalis). Tetapi terhadap pluralisme identitas di satu sisi mereka juga menerapkan narasi-narasi teduh seperti sikap Wasathiyyah (moderat), Tasamuh (saling menghormati), Ta’awun (saling tolong-menolong), Tawazun (saling menyeimbangkan), Musawah (menjunjung tinggi kesetaraan), dan juga konsep Rahmatan Lil Alamin (rahmat untuk seluruh alam).

Secara epistemologis Islam Progresif ini adalah gerakan kalangan pemikir muda Islam – yang kebanyakan juga merangkap aktivis – yang dalam analisa sosialnya memakai pisau bedah "analisis perjuangan kelas" dari Marxisme. Karena hal itulah mereka tidak terjebak pada sentimen identitas – yang menurut Karl Marx merupakan "bangunan atas" atau "lapisan ideologi" masyarakat – seperti halnya tendensi Islam Perkotaan, melainkan mereka lebih fokus pada perlawanan yang lebih esensial, yaitu pada perlawanan kelas penindas (sektor ekonomi) – yang menurut Karl Marx merupakan "basis" atau "permasalahan material" masyarakat.

Maka golongan Islam Progresif ini punya tendensi bisa hidup rukun dengan orang dari beragam latar belakang identitas apapun juga. Tetapi mereka jelas mempunyai "sikap permusuhan" yang tegas dengan kelas kapitalis yang merupakan golongan penindas rakyat miskin. Bahkan jika sekalipun itu si kapitalis mengaku atau bertopeng identitas keagamaan Islam yang santun, toleran, liberal, sufisme, berkebudayaan, dan sebagainya.

Meski begitu, golongan Islam Progresif ini menurut saya juga tidak sepenuhnya memakai senjata Materialisme Dialektika Historis (MDH) dari Karl Marx. Unsur-unsur keislaman dan dalil-dalil al-Qur'an masih 50% menjadi bentuk epistemologis berpikir mereka. Hal ini semisalnya berbeda sekali dengan Tan Malaka yang dalam bukunya, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) dengan tegas berusaha mendekonstruksi "Logika Mistika" keagamaan yang dalam banyak hal cenderung irasional dan memperhambat laju perkembangan sains.

Fragmen kalangan Islam Progresif yang berasal dari kalangan Islam Tradisional saya lihat juga masih banyak menaruh hormat pada kelompok "feodalis" kontra revolusioner seperti kalangan Sayyid dan Syarifah – orang-orang yang "merasa" istimewa karena keturunan Nabi Muhammad. Sekali lagi hal itu juga berbeda dengan progresifisme revolusioner Tan Malaka yang juga dalam bukunya Madilog mendekonstruksi "klaim kesucian" para Sayyid.

Bahkan di situ Tan Malaka juga mendedah jika golongan Sayyid itu bisa menjadi kaya raya dan mewariskan kekayaan turun temurun di tanah yang dianggap tidak suci ini (Indonesia), karena dulunya mereka adalah para kapitalis lintah darat yang membungakan uang dan sering menjebak kaum miskin pribumi. Lalu jika kaum miskin pribumi tidak kuat lagi membayar bunga hutangnya yang terus beranak pinak, maka terpaksa mereka harus menjual anak perempuannya atau dirampas rumah dan tanahnya.

Kembali menyoal Islam arus utama di Indonesia ini, memang sebenarnya arus Islam Sintesis atau Islam Progresif ini belum bisa dikategorikan sebagai Islam arus utama. Mereka yang tertarik pada diskursus Islam Progresif juga sangat minor jumlahnya, serta saya juga tidak heran jika di antara semua teman kuliah saya dulu juga tidak ada satupun yang berkiblat pada Islam dalam jenis ini – Islam dalam wajah pembela wong cilik.

Meski begitu, jika ada yang bertanya model gerakan Islam apa yang menurut anda terbaik?

Saya akan dengan mantab dan tegas menjawab "Islam Progresif", segmen gerakan Islam yang tidak hanya menampilkan diri sebagai pembela hal-hal abstrak seperti "agama" dan "negara" — yang bebas ditafsirkan sesuai kepentingan dan sekehendak hati — melainkan lebih kepada menafsirkan Islam untuk kepentingan pembelaan terhadap entitas nyata seperti "wong cilik" yang seringkali menjadi objek kezaliman para penguasa dan kelas kapital.

Ngawi, 31 Januari 2022
Oleh: Alvian Fachrurrozi


Editor: Daniel Simatupang