Makna Ungkapan ‘Sah’ dalam Ibadah

 
Makna Ungkapan ‘Sah’ dalam Ibadah
Sumber Gambar: Ilustrasi/Hidayatullah.com

Laduni.ID, Jakarta – Perihal ibadah, seringkali kita mendengar istilah “sah” yang diucapkan oleh seseorang untuk menandakan terpenuhinya rukun dalam suatu ibadah. Misalnya, “Shalatnya sah”, “Puasanya sah”, Hajinya sah”, dan lain-lain. Sebenarnya apa makna dari kata “sah” tersebut?

Kata “sah” tersebut mengacu pada telah sesuainya suatu ibadah berdasarkan prosedut atau tata cara yang Allah berikan. Sehingga seseorang memiliki kemungkinan untuk amalnya diterima oleh Allah dan memiliki kemungkinan amalnya tidak diterima oleh Allah. Kata kuncinya ialah “kemungkinan”, artinya sesuatu yang tidak dapat dipastikan.

Sebab, walau sudah mengikuti prosedur atau tata cara yang Allah berikan, belum tentu Allah menerima amalnya tersebut. Mengikuti prosedur juga bukan satu-satunya syarat suatu amal diterima oleh Allah.

Meskipun shalat seseorang sudah sah, namun niatnya dikotori dengan riya, ujub, dan sum’ah, maka amal tersebut tertolak. Khusyuk juga menjadi penyebab amal seseorang diterima atau tidaknya. Belum lagi sifat-sifat buruk seperti iri, dengki, dan mengundat-ngundat pemberian juga akan menghancurkan amal.

Sehingga, jika kita merasa telah melakukan ibadah sesuai prosedur yang Allah berikan, jangan pernah merasa sudah menyembah Allah dengan sebaik-baiknya. Bahkan merasa menjadi seorang mukmin yang paling baik, sebab masih banyak ujian yang akan Allah berikan kepada kita untuk menjada amal hingga hari kiamat kelak.

Karena dalam kajian usul fikih, ibadah sah itu didefinisikan sebagai ibadah yang musqiṭun lil qaḍa’ (menggugurkan kewajiban mengqaḍa’).

Adapun dalam muamalah seperti jual beli atau menikah, maka makna “sah” adalah berlakunya konsekuensi hukum secara legal dan formal. Jadi jual beli “sah” maknanya anda berhak memiliki uang yang diterima dan berhak memiliki barang yang dibeli. “Sah” akad nikah maknanya anda halal menggauli pasangan dan terkena kewajiban-kewajiban dalam kehidupan suami istri, ian seterusnya.

Dalam kitab Al-Muwafaqat, Imam Al-Syaṭibi berkata:

وَلَفْظُ الصِّحَّةِ يُطْلَقُ بِاعْتِبَارَيْنِ:أَحَدُهُمَا: أَنْ يُرَادَ بِذَلِكَ تَرَتُّبُ آثَارِ الْعَمَلِ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا، كَمَا نَقُولُ فِي الْعِبَادَاتِ: إِنَّهَا صَحِيحَةٌ بِمَعْنَى أَنَّهَا مُجْزِئَةٌ، وَمُبْرِئَةٌ لِلذِّمَّةِ، وَمُسْقِطَةٌ لِلْقَضَاءِ فِيمَا فِيهِ قَضَاءٌ، وما أشبه ذلك من العبارات الْمُنْبِئَةِ عَنْ هَذِهِ الْمَعَانِي، وَكَمَا نَقُولُ فِي الْعَادَاتِ: إِنَّهَا صَحِيحَةٌ، بِمَعْنَى أَنَّهَا مُحَصِّلَةٌ شَرْعًا لِلْأَمْلَاكِ، وَاسْتِبَاحَةِالْأَبْضَاعِ، وَجَوَازِ الِانْتِفَاعِ، وَمَا يُرْجَعُ إِلَى ذَلِكَ. وَالثَّانِي: أَنْ يُرَادَ بِهِ تَرَتُّبُ آثَارِ ‌الْعَمَلِ ‌عَلَيْهِ ‌فِي ‌الْآخِرَةِ، ‌كَتَرَتُّبِ ‌الثَّوَابِ؛ فَيُقَالُ: هَذَا عَمَلٌ صَحِيحٌ، بِمَعْنَى أَنَّهُ يُرْجَى به الثواب في الآخرة». [«الموافقات» (1/ 451)]

“Lafal sah dipakai untuk dua makna. Pertama, dipakai untuk makna berlakunya konsekuensi perbuatan di dunia. Misalnya dalam ibadah kita mengatakan bahwa ibadah itu sah, maka maknanya adalah sudah mencukupi, membebaskan dari tanggungan dan menggugurkan kewajiban mengqaḍa’ pada amal yang mengharuskan qada’ atau ungkapan lain yang semakna dengan ini. Termasuk pada saat kita mengatakan dalam urusan selain ibadah/kebiasaan (muamalah) bahwa hal tersebut sah, maka itu bermakna secara syar’i menimbulkan konsekuensi hak kepemilikan, kehalalan persetubuhan, kebolehan pemanfaatan dan makna yang dikembalikan pada hal tersebut. Kedua, lafal sah dipakai untuk berlakunya konsekuensi amal di akhirat seperti didapatkannya pahala. Jadi saat dikatakan, ‘amal ini sah’ maka maknanya amal tersebut bisa diharapkan pahalanya di akhirat.” (Al-Muwafaqat juz 1 hlm 451)

Sumber: FB Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M. R. Rozikin)


Editor: Daniel Simatupang