Hukum Menjual Kambing Aqiqah

 
Hukum Menjual Kambing Aqiqah
Sumber Gambar: Pixabay / Pexels

Laduni.ID, Jakarta - Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi di dalam kitabnya (al Majmu’ Syarh al Muhaddzab) menyatakan bahwa hukum aqiqah adalah sunah, aqiqah adalah hewan yang disembelih atas nama seorang anak yang dilahirkan, berdasar sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Buraidah yang menyatakan bahwa:

“Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW melaksanakan aqiqah atas nama Hasan dan Husain, dan hal itu tidak wajib berdasar hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abi Sa’id dari bapaknya yang menyatakan bahwa sesungguhnya Nabi SAW pernah ditanya perihal aqiqah, maka beliau menjawab “Aku tidak suka dengan kedurhakaan, barang siapa mendapatkan kelahiran anak dan ingin menyembelih atas nama anak tersebut, maka laksanakanlah,” kalimat tersebut dikaitkan dengan “keinginan”, dan itu menunjukkan bahwa aqiqah tidak wajib, dan karena aqiqah adalah mengalirkan darah bukan karena sebuah hukuman ataupun nadzar.

Dalam kesempatan lain, Imam Nawawi juga menjelaskan tentang hukum-hukum terkait dengan aqiqah. Beliau berkata “Sahabat-sahabat kami (Ulama dari kalangan madzhab Syafi’i) menyatakan bahwa hukum-hukum dalam mensedekahkannya, memakan, menghadiahkan, kadar yang dimakan, larangan untuk menjualnya, kambing tertentu ketika telah ditentukan sebagai aqiqah, adalah sebagaimana yang telah kami ulas dalam bab kurban, keduanya sama dan tidak ada perbedaan.” Masih di dalam literatur yang sama, Imam Nawawi juga menyatakan bahwa uraian Imam Syafi’i dan sahabat-sahabatnya telah disepakati bahwa tidak boleh menjual sesuatu dari hadiah dan aqiqah, baik bersifat sunah atau nadzar (wajib), baik daging, lemak, kulit, tanduk, kulit dan lain sebagainya, juga tidak boleh menjadikan kulit sebagai upah tukang jagal, melainkan harus disedekahkan, atau ia (orang yang berkurban/yang memberikan hadiah) boleh mengambil sesuatu yang bermanfa’at dengan materinya, seperti mengambil kulit sebagai wadah air, timba, sejenis sepatu dan lain sebagainya.

Imam Nawawi juga mengingatkan bahwa seorang wakil tidak memiliki wewenang untuk mengelola kecuali sebatas yang dituntut oleh orang yang mewakilkan baik dari sisi yang diucapkan, atau convensi (kebiasaan yang berlaku), karena pengelolaannya adalah berdasar izin, maka ia tidak memiliki kecuali sebatas yang diizinkan, sedang izin dapat diketahui dengan ucapan dan kebiasaan.

Dari pemaparan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa status penerima hewan aqiqah dalam deskripsi masalah adalah wakil, sehingga ia tidak boleh mengelola kambing tersebut atas kemauannya sendiri, melainkan wewenangnya terpatri atas izin orang yang mewakilkan. Maka seharusnya kambing tersebut disembelih sebagai aqiqah atas nama anak orang yang mewakilkan. Lantas, apabila kambing tersebut tidak disembelih (dengan izin orang yang mewakilkan), melainkan diternak, dijual, dan lain sebagainya, maka nilainya sama dengan sedekah dan bukan sebagai aqiqah. Wallahu a’lam bis shawab.


Sumber : Al Majmu’ Syarh al Muhaddzab. XIV/ 109, 419, 432, 426.