Tata Cara Pembagian Qurban

 
Tata Cara Pembagian Qurban
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Ulama kita menganjurkan daging “Qurban Sunnah” dibagi menjadi 3 bagian: وَسُنَّأَنْيَجْمَعَبَيْنَالْاَكْلِوَالتَّصَدُّقِوَالْاِهْدَاءِ “Daging Qurban dianjurkan untuk; (1) Dimakan sendiri oleh pemiliknya; (2) Disedekahkan ke fakir miskin; (3) Dihadiahkan kepada orang lain.” (I’anat Ath-Thalibin 2/379)

Untuk sepertiga yang dimakan sendiri berdasarkan firman Allah:

لِّيَشْهَدُوْا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْلُوْمٰتٍ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۚ فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْبَاۤىِٕسَ الْفَقِيْرَ ۖ

Artinya: “Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka dan agar mere-ka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan atas rezeki yang diberikan Dia kepada mereka berupa hewan ternak. Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. (QS. Al Hajj: 28)

وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya: “Dan unta-unta itu Kami jadikan untuk-mu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makanlah orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Hajj: 36)

Wajib Dibagikan Mentah

وَيَجِبُالتَّصَدُّقُ - وَلَوْعَلَىفَقِيْرٍوَاحِدٍ - بِشَئٍنَيِّئًاوَلَوْيَسِيْرًامِنَالْمُتَطَوَّعِبِهَا.أيلِيَتَصَرَّفَفِيْهِالْمِسْكِيْنُبِمَاشَاءَمِنْبَيْعٍوَغَيْرِهِ.

“Wajib mensedekahkan daging Qurban dalam keadaan mentah walaupun kepada 1 orang fakir dari Qurban sunah. Yakni supaya orang miskin tersebut bisa mendayagunakan daging tersebut sesuai keinginannya, seperti dijual atau yang lain.” (Fath Al-Muin dan Ianah, 2/378)

Qurban Nadzar

Hewan Qurban ada 2 macam, ada Qurban sunah seperti diatas, ada pula Qurban Nadzar (janji). Misalnya, “Jika saya menikah tahun ini maka saya akan ber-qurban”, “Bila anak saya menghafal 30 juz Al-Quran maka saya akan menyembelih Qurban” dan lainnya. Maka jika sudah tercapai keinginannya, wajib baginya melakukan nadzarnya menyembelih kambing. Berkaitan Qurban Nadzar ini memiliki hukum sendiri, seperti yang disampaikan oleh Imam Nawawi:

(أَمَّا) إِذَانَذَرَهَدْىَهَذَاالْحَيَوَانِفَاِنَّهُيَزُوْلُمِلْكُهُبِنَفْسِالنَّذْرِوَصَارَالْحَيَوَانُلِلْمَسَاكِيْنِفَلَايَجُوْزُلِلنَّاذِرِالتَّصَرُّفُفِيْهِبِبَيْعٍوَلَاهِبَةٍوَلَاوَصِيَّةٍوَلَارَهْنٍوَلاَغَيْرِهَاوَلَايَجُوْزُأَيْضًااِبْدَالُهُبِمِثْلِهِوَلَابِخَيْرٍمِنْهُ

“Jika seseorang bernadzar menyembelih hewan Qurban, maka hak kepemilikannya terhadap hewan tersebut menjadi hilang, karena nadzar. Hewan tersebut menjadi milik orang miskin. Bagi yang bernadzar tidak boleh mendayagunakan hewan tersebut dengan dijual, hibah, wasiat, gadai dan sebagainya. Dan hewan tersebut tidak boleh diganti dengan yang sepadan atau yang lebih baik.” (Al-Majmu’ 8/364)

Ketika Hewan Qurban Hilang

عَنْتَمِيمِبْنِحُوَيْصٍيَعْنِىالْمِصْرِىَّقَالَ : اشْتَرَيْتُشَاةًبِمِنًىأُضْحِيَّةًفَضَلَّتْفَسَأَلْتُابْنَعَبَّاسٍرَضِىَاللَّهُعَنْهُمَاعَنْذَلِكَفَقَالَ : لاَيَضُرُّكَ. {ش} قَالَالشَّافِعِىُّ : وَلَكِنَّهُإِنْوَجَدَهَابَعْدَمَاأَوْجَبَهَاذَبَحَهَاوَإِنْمَضَتْأَيَّامُالنَّحْرِكَمَايُصْنَعُفِىالْبُدْنِمِنَالْهَدْىِ.

Tamim bin Huwaish Al-Mishri berkata: “Saya membeli kambing di Mina untuk Qurban, lalu hilang. Saya tanya kepada Ibnu Abbas, beliau menjawab, ‘Tidak apa-apa’. Dan Syafii berkata, ‘Namun jika ia menemukan kembali hewan tersebut setelah dinadzarkan, maka ia wajib menyembelihnya meski waktunya Qurban telah lewat seperti yang dilakukan pada hewan yang disembelih saat haji.’” (Sunan Al-Baihaqi 2/66)

Bila Hewan Qurban Tiba-tiba Cacat

إذَاأَوْجَبَأُضْحِيَّةًصَحِيحَةًسَلِيمَةًمِنْالْعُيُوبِ،ثُمَّحَدَثَبِهَاعَيْبٌيَمْنَعُالْإِجْزَاءَ،ذَبَحَهَا،وَأَجْزَأَتْهُ .رُوِيَهَذَاعَنْعَطَاءٍ،وَالْحَسَنِ،وَالنَّخَعِيِّ،وَالزُّهْرِيِّ،وَالثَّوْرِيِّ،وَمَالِكٍ،وَالشَّافِعِيِّ،وَإِسْحَاقَ .

“Jika seseorang mau melakukan Qurban wajib dengan hewan yang memenuhi syarat, kemudian menjadi cacat dan tidak memenuhi syarat, maka ia menyembelihnya dan sudah sah sebagai Qurban. Pendapat ini diriwayatkan dari Atha’ bin Yasar, Hasan Basri, Nakhai, Az-Zuhri, Sufyan Tsauri, Malik bin Anas, Asy-Syafii dan Ishaq bin Rahuwaih.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni 21/468)

Status Panitia Qurban

Ibadah Qurban, mulai pembelian, penyembelihan hingga pembagian, bisa dilakukan sendiri dan bisa juga diwakilkan. Mewakilkan ini bisa ke perorangan, misalnya ke kyai, atau ke organisasi, misalnya pengurus masjid, pengurus kampung dan sebagainya. Dengan demikian, panitia Qurban statusnya adalah sebagai wakil dari Mudlahhi (pemilik Qurban). Panitia Qurban dalam menerima amanat ada dua bentuk.

Pertama, Mudlahhi (pemilik Qurban) datang langsung dengan membawa hewan Qurban. Maka panitia menerima hewan Qurban tersebut. Hendaknya panitia menanyakan dahulu: “Apakah ini Qurban Sunah atau Qurban Wajib karena Nadzar?” Jika Qurban Sunah maka Mudlahhi berhak mendapat bagian. Dan jika Qurban Nadzar maka tidak boleh mendapat bagian dari Qurban, baik dirinya maupun keluarga yang ia nafkahi. Kemudian Panitia menuntun Mudlahhi untuk niat melakukan Qurban (baik saat penyerahan maupun saat penyembelihan), jika Qurban Sunah. Dan jika Qurban Nadzar tidak wajib niat. (Hasyiah Al-Bajuri 1/296)

Kedua, mudlahhi (pemilik Qurban) menyerahkan uang ke Panitia untuk dibelikan hewan Qurban. Hal ini berdasarkan fatwa ulama Yaman:

 فِيفَتَاوَيالْعَلَّامَةِالشَّيْخِمُحَمَّدِبْنِسُلَيْمَانَالْكُرْدِيمُحْشِيشَرْحِابْنِحَجَرٍعَلَىالْمُخْتَصَرِمَانَصُّهُ: (سُئِلَ) رَحِمَهُاللهُتَعَالَى: جَرَتْعَادَةُأَهْلِبَلَدِجَاوَىعَلَىتَوْكِيْلِمَنْيَشْتَرِيلَهُمُالنَّعَمَفِيمَكَّةَلِلْعَقِيْقَةِأَوِالْاُضْحِيَّةِوَيَذْبَحُهُفِيمَكَّةَ،وَالْحَالُأَنَّمَنْيُعَقُّأَوْيُضَحَّيعَنْهُفِيبَلَدِجَاوَىفَهَلْيَصِحُّذَلِكَأَوْلَا؟أَفْتُوْنَا.(الْجَوَابُ) نَعَمْ،يَصِحُّذَلِكَ،وَيَجُوْزُالتَّوْكِيْلُفِيشِرَاءِالْاُضْحِيَّةِوَالْعَقِيْقَةِوَفِيذَبْحِهَا،وَلَوْبِبَلَدٍغَيْرِبَلَدِالْمُضَحِّيوَالْعَاقِّ

“Dijelaskan dalam fatwa Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi, pengarang syarah Ibnu Hajar dalam Al-Mukhtashar (Minhaj Al-Qawim) bahwa beliau ditanya, ‘Tentang kebiasaan penduduk Jawa yang mewakilkan kepada seseorang untuk membelikan hewan ternak bagi mereka di Makkah, untuk Aqiqah maupun Qurban, dan disembelih di Makkah. Padahal orang yang diaqiqahkan atau disembelihkan Qurban berada di Jawa. Sahkah hal itu?’ Berilah fatwa kepada kami. Jawab: Ya hal itu sah. Boleh mewakilkan orang lain untuk membelikan Qurban atau aqiqah dan penyembelihannya, meski di luar negara orang yang berqurban dan aqiqah.” (Ianah Ath-Thalibin 2/381)

Karena berstatus wakil, maka panitia tidak boleh mengambil bagian dari Qurban kecuali mendapat izin. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Al-Azhar, Ibrahim Al-Bajuri:

 وَلَا يَجُوْزُ لَهُ اَخْذُ شَيْءٍ اِلَّا اِنْ عَيَّنَ لَهُ الْمُوَكِّلُ قَدْرًا مِنْهَا

“Tidak boleh bagi wakil mengambil sesuatu kecuali telah ditentukan oleh muwakkil (pemilik Qurban) untuk mengambil bagian tertentu darinya.” (Hasyiah Al-Bajuri 1/387)

Oleh karenanya supaya menjadi “boleh dan halal”, maka panitia perlu menyampaikan di awal bahwa panitia akan meminta bagian dari hewan Qurban tersebut.

Membagikan Keluar Daerah

 فَرْعٌ مَحَلُّ التَّضْحِيَةِ بَلَدُ الْمُضَحِّي وَفِي نَقْلِ الْأُضْحِيَّةِ وَجْهَانِ تَخْرِيْجًا مِنْ نَقْلِ الزَّكَاةِ وَالصَّحِيْحُ هُنَا الْجَوَازُ والله أعلم

“Tempat menyembelih Qurban adalah adalah negeri orang yang berqurban. Berkenaan dengan memindah hewan Qurban, ada 2 pendapat seperti memindah zakat. Pendapat yang sahih dalam masalah Qurban adalah boleh.” (Kifayat Al-Akhyar 1/695)

Bagaimana Dengan Non Muslim?

Hewan Qurban ini bagian dari rangkaian ibadah sedekah kepada sesama umat Islam, khususnya kepada fakir-miskin. Sehingga ulama kita berkata:

 وَلَا يُصْرَفُشَيْءٌمِنْهَالِكَافِرٍعَلَىالنَّصِّ

“Tidak boleh menyerahkan suatu apapun dari Qurban kepada orang kafir, berdasarkan nash Imam Syafii.” (Tuhtah Al-Muhtaj 41/145)

Namun, sudah menjadi masalah tahunan yang selalu ditanyakan bagi sebagian masjid yang berdekatan dengan non Muslim. Kita pun tetap menjawab tidak boleh. Kalaupun ada ulama yang memberi penjelasan hanya sebatas memberi makan dari Qurban yang sudah dimasak bersama:

 فَإِنْطُبِخَلَحْمُهَافَلَابَأْسَبِأَكْلِالذِّمِّيِّمَعَالْمُسْلِمِينَمِنْهُمَانَصُّهُهَذَاكَلَامُابْنِالْمُنْذِروَلَمْأَرَلِأَصْحَابِنَاكَلَامًافِيهِوَمُقْتَضَىالْمَذْهَبِأَنَّهُيَجُوزُإطْعَامُهُمْمِنْضَحِيَّةِالتَّطَوُّعِدُونَالْوَاجِبَةِاهـ

“Jika daging Qurban dimasak maka boleh untuk dimakan oleh kafir Dzimmi bersama umat Islam. Penjelasan ini adalah perkataan Ibnu Mundzir. Saya (Imam Nawawi) tidak menjumpai komentar ulama kita dalam masalah ini. Arah pendapat madzhab kita memberi makan (daging Qurban yang sudah dimasak) kepada mereka adalah boleh jika diambilkan dari Qurban Sunah, bukan dari Qurban Nadzar.” (Tuhfat Al-Muhtaj 41/145)

Masalah ini tidak cukup berhenti sampai disini jikalau masih ditanya apakah status non Muslim di Indonesia ini kategori ahlu dzimmah? Wallahu A’lam


Editor: Daniel Simatupang