Hukum Mengucapkan Insya Allah Ketika Khatib Menyeru Ittaqullah

 
Hukum Mengucapkan Insya Allah Ketika Khatib Menyeru Ittaqullah
Sumber Gambar: Foto Alena Darmel / Pexels (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Salah satu syarat sah shalat Jum'at adalah adanya pembacaan dua khutbah yang disampaikan oleh seorang khatib. Dalam khutbah terdapat rukun-rukun yang harus dipenuhi oleh setiap Khatib. Salah satu rukun dalam khutbah adalah wasiat ketakwaan yang pada prinsipnya adalah mengajak kepada seluruh jama'ah shalat Jum'at untuk bertakwa dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Adapun bentuk redaksi kalimat ajakan atau wasiat tidak memiliki bentuk yang tetap. Adapun redaksi kalimat wasiat ketakwaan yang paling sering atau dominan kita dengar adalah kaliat "Ittaqullaha" yang artinya bertakwallah kepada Allah.

Tentang tidak adanya redaksi kalimat yang tetap tersebut, Syekh Ibrahim Al-Bajuri menjelaskan dalam kitab Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Ibni Qasim sebagai berikut:

Baca Juga: Membaca Shalawat di Antara Dua Khutbah dengan Suara Keras dan Panjang oleh Bilal

ثم الوصية بالتقوى ولا يتعين لفظها على الصحيح (قوله ثم الوصية بالتقوى) ظاهره أنه لا بد من الجمع بين الحث على الطاعة والزجر عن المعصية لأن التقوى امتثال الأوامر واجتناب النواهي وليس كذلك بل يكفي أحدهما على كلام ابن حجر ...الى ان قال... ولا يكفي مجرد التحذير من الدنيا وغرورها اتفاقا

"Kemudian berwasiat ketakwaan. Tidak ada ketentuan khusus dalam redaksinya menurut pendapat yang shahih. Ucapan Syekh Ibnu Qasim ini kelihatannya mengharuskan berkumpul antara seruan taat dan himbauan menghindari makshiat, sebab takwa adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangan, namun sebenarnya tidak demikian kesimpulannya. Akan tetapi cukup menyampaikan salah satu dari keduanya sesuai pendapatnya Syekh Ibnu Hajar. Tidak cukup sebatas menghindarkan dari dunia dan segala tipu dayanya menurut kesepakatan ulama"

Ketika khatib sedang berkhutbah, jama'ah shalat Jum'at wajib mendengarkan dengan khusyu' dan seksama dan tidak mengeluarkan suara yang akan menggagu kekhusyu'an. Ketika Khatib sedang memberikan wasiat ketakwaan dengan mengucapkan Ittaqullaha, mungkin ada sebagian jama'ah yang menjawab dengan jawaban Insya Allah. Sedangkan redaksi dari wasiat ketakwaan seperti di atas adalah megajak kita untuk bertakwa kepada Allah. Lalu bagaimana hukumnya?

Sebagaimana yang telah dijelasakan dalam Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-1 bahwa menjawab Insya Allah ketika Khatib menyerukan ketakwaan dengan kalimat "Ittaqullah" hukumnya adalah boleh dengan catatan tidak bermaksud menggantungkan takwa kepada kehendak Tuhan, karena ta’liq demikian itu berlaku terhadap apa yang akan dikerjakan. Seyogyanya tidak usah menyatakan ta’liq (Insya Allah), karena bertobat dan bertakwa itu seharusnya dilaksanakan seketika.

Baca Juga: Hukum Khutbah tidak Terdengar Jama’ah

Adapun keterangan yang menjadi dasar dari keputusan hukum tersebut adalah kitab Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil karangan Imam Nasiruddin Al-Baidhawi:

وَلاَ تَقُوْلَنَّ لِشَيْءٍ إِنِّي فَاعِلٌ ذَلِكَ غَدًا إِلاَّ أَنْ يَشَآءَ اللهُ

أَيْ مُلْتَبِسًا بِمَشِيْئَتِهِ قَائِلاً إِنْ شَآءَ اللهُ بِمَعْنَى إِنْ يَأْذَنْ لَكَ فِيْهِ وَلاَ يَجُوْزُ تَعْلِيْقُهُ بِفَاعِلٍ  ِلأنَّ اسْتِثْنَاءَ اقْتِرَانِ الْمَشِيْئَةِ بِالْفِعْلِ غَيْرُ سَدِيْدٍ وَاسْتِثْنَاءَ اعْتِرَاضِهَا دُوْنَهُ لاَ يُنَاسِبُ النَّهْيَ

Imam Baidhawi dalam menafsirkan firman Allah (surat Al-Kahfi: 23). “Dan jangan sekali-kali kamu menyatakan saya akan melakukan hal tersebut besok, (tanpa menyatakan) kecuali jika Allah menghendaki”. Yakni bahwa ia harus melibatkan kehendak Allah dalam arti: “Jika memang Allah menghendaki Anda melakukan hal tersebut”. Dan tidak diperbolehkan mengaitkan suatu tindakan kepada pelaku (saja). Sebab, mengecualikan (tidak memperhatikan) kebersamaan kehendak Allah dengan suatu tindakan (manusia) itu tidak benar, dan pengecualian (tidak memperhatikan) dengan menampakkan kehendak Allah tanpa (memperhatikan) tindakan manusia itu tidak sesuai dengan larangan (dalam ayat tersebut).

Wallahu A'lam


Referensi: 
1. Kitab Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Ibni Qasi karya Syekh Ibrahim Al-Bajuri
2. Kitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 12