Jalan Para Abdal (15): Melalui Husnun Niyah

 
Jalan Para Abdal (15): Melalui Husnun Niyah

LADuNI.ID - Para Abdal memiliki jalan tertentu dalam mendekatkan diri kepada Alloh untuk memperoleh ridho-Nya. Di antara jalan itu, berdasarkan atsar dari Abu Zanad melalui Sufyan bin `Uyainah dan diriwayatkan Ibnu Abi Dunya adalah: jujur, wara’, salamatush shudhur, husnun niyah, memberi nasehat di tengah umat, sabar, tawadhu’, penyantun (al-hilm), tidak melaknat/mencaci maki, tidak menghina dan tidak merendahkan orang, dan tidak hasad (al-Auliyâ’, riwayat No. 57).

Melalui jalan Imam Ali, jalan para Abdal, menurut Nabi Muhammad ada 3 hal: as-sakhô’, salâmatush shudhûr, dan memberi nasehat kepada umat (al-Auliyâ’, riwayat ke-8). Dalam hadits mursal Imam al-Hasan, Nabi Muhammad juga menyebutkan 3 hal itu (al-Auliyâ’, riwayat ke-58). Dalam riwayat Abu Said al-Khudri yang disebutkan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, ada 4: nyadong rahmatnya Alloh, murah hati, salâmatush shudhûr, dan mengasihi orang-orang Islam (al-Hâwî li al-Fatâwî, II: 241).

Berdasarkan riwayat Abu Darda’, jalan Para Abdal disebutkan: berakhlak baik, jujur, wara’, bagus niatnya, dan selamat hatinya kepada semua kaum muslimin dan memberi nasehat karena lillâhi ta`âlâ” (al-Hâwî li al-Fatâwî, II: 241). Dalam riwayat melalui Bakar bin Hunais secara marfu’, disebutkan jalan para Abdal adalah “tidak mencaci maki” (al-Auliyâ’, riwayat ke-59). Menurut pendapat Abu Abdulloh an-Nabaji disebutkan: “Mencintai sesuatu yang dikehendaki Alloh” (al-Auliyâ’, riwayat ke-60).

Atsar mursal dari Imam al-Hasan al-Bashri, jalan para Abdal, ada 4 jenis: menyibukkan diri dengan Alloh, berhimmah dalam mengingat Alloh, mengungkapkan perkataan-perkataan hikmahnya seperti para nabi-nabi, tidak lupa dengan Alloh manakala orang lain lupa” (Imam Jalaluddin as-Suyuthi di dalam kitab Jâmi`ul Ahâdîts: al-Jâmi`ush Shoghîr waz Zawâ’iduhu wal Jâmi`il Kabîr, Beirut: Darul Fikr, 1994, jilid IX: 331, hadits No. 28767).

Lewat Ibnu Mas`ud, Nabi Muhammad menyebutkan jalan para Abdal dengan menegaskan hatinya seperti hati Nabi Ibrahim (Ijâbatul Ghouts: Bayânu Hâlin Nuqobâ’ wan Nujabâ’ wal Abdâl wal Autâd wal Ghouts, Maktabah al-Qohiroh, 2006/1427, hlm. 51; dan Abu Nu’aim. Hilyatul Auliyâ’, I: 8).

Melalui sahabat Nafi’ dan Ibnu Umar, Nabi Muhammad menyebutkan: “Mereka memaafkan kepada orang yang menzhalimi mereka, dan mereka berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepada mereka dan rela terhadap apa yang diberikan Alloh (Abu Nu’aim, Hilyatul Auliyâ’, I: 8).

Menurut riwayat Abu Nu’aim lewat jalan Dawud bin Yahya, yang ditemui Rasululloh lewat mimpi, Nabi Muhammad menyebutkan menyebutkan: “Mereka itu adalah orang yang tangannya tidak pernah memukul sesuatu” (Abu Nu’aim, Hilyatul Auliyâ’, dalam membahas tokoh Waki’ bin Jarroh).

Sementara dalam jalan yang dikabarkan Nabi Khidhir, sebagaimana tercermin dalam wirid-wirid, doa, istighfar dan tashbihnya: senantiasa berdoa kepada Alloh, bertashbih, mengerti jalan kehendak Alloh (Mâ Syâ’alloh), beristighfar, dan menjadi Nabi Muhammad sebagai guru dan wasilah agar bisa dekat dengan Alloh, dan menyayangi umat Nabi Muhammad; dan menurut sebagian guru, yang telah dikutip sebelumnya bahwa dalam membersihkan gangguan setan yang masuk melalaui empat arah, tidak bisa dilakukan kecuali degan memakan makananan yang halal.

Niat yang Baik

Orang yang mendekatkan diri kepada Alloh dengan amal-amal kebaikan, dan orang yang sedang berjalan untuk memperoleh keridhoan-Nya, pada dasarnya dia sedang memerangi nafsunya untuk selalu bisa tunduk di bawah cahaya ketatan kepada Alloh dan Rasul-Nya. Dia sedang menempuh medan jihad akbar, yang keadaannya dalam mengarungi itu bisa saja dibarengi dengan sakit perut, sakit mata, dan berbagai sakit muntah, muntaber, dan berbagai rintangan.

Dalam hal-hal seperti ini sudah terbiasa dan biasa adialami oleh para pejalan di medan jihad akbar, memerangi hawa nafsu, dan orang yang melakukan jihad melakukan amal-amal kebaikan dalam pengertian, bukan hanya perang qital. Bahkan, ketika nafsu-nafsu itu diperangi, terasalah baginya perubahan fisik yang terlihat oleh mata lahir yang melelahkan, dan beberapa kasus bisa saja terjadi kebutaan fisik mata.

Oleh karena itu, di tengah seperti itu, hidup tidak dilihat sebagai beban, tetapi sebagai pengabdian dan pelayanan, dengan menetapkan niat yang bagus dalam hatinya. Para Abdal dikenal lewat informasi para guru-guru sufi di atas, sebagai orang-orang yang memiliki niat yang baik di dalam dirinya, yang menjadi dasar dalam bersikap, berkata, dan berakhlak. Dengan menetapkan hatinya untuk mendekatkan diri kepada Alloh, beribadah, dan memperoleh ridho dan rahmat-Nya, maka apa yang dikerjakannya, menjadi terasa ringan, dengan tetap bersambung akan rahmat dan pertolongan Alloh, di dalam semua amal usahanya.

Innamal A’mâlu bin Niyât

Berhubungan dengan niat itu, ada satu hadits yang sangat dikenal, melalui sahabat Umar, Nabi bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang itu tergantung apa yang diniatkannya. Maka barang siapa yang hijrahnya untuk Alloh dan rasulnya, hijrahnya itu untuk Alloh dan rasul-Nya. Akan tetapi barang siapa yang hijrahnya untuk harta yang diinginkannya, atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai dengan apa yang dihijrahkannya” (HR. Bukhori, Muslim, Nasa’i, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Asbâbul Wurûd, hadits ke-1).

Menurut Ibnu Hajar al-Asqolani, dalam Fathul Bârî mengomentari hadits itu yang ada dalam Shohîh al-Bukhôrî, mengandung pengertian: “Tidak boleh mendahului mengerjakan amal sebelum tahu hukumnya, karena sesungguhnya amal itu bisa hilang sepi bila tidak ada niat, dan tidak syah niat mengerjakan sesuatu kecuali setelah mengetahui hukumnya; dan atas orang yang lupa/lalai/al-ghofil tidak ada pembebanan” (Fathul Bârî, I: 18). Oleh karena itu, dalam setiap perbuatan ibadah, selalu dimulai dengan niat, yang dalam madzhab Syafi`i disunnahkan untuk untuk menyempurnakan dengan dilafalkan mengikuti niat dalam hati.

Mengomentari hadits innamal a’mâlu binniyât itu, Imam Jalaluddin as-Suyuthi, dalam kitab Ad-Dîbâj `alash Shohîh Muslim bin Hajjâj (Dar Ibnu Affan, 1996/1416, IV: 502), mengemukakan: “Sesungguhnya amal-amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Al-Qurthubi berkata, maksudnya adalah amal-amal untuk mendekatkan diri kepada Alloh, dan sesungguhanya bagi seseorang itu tergantung apa yang diniatkan; faidah disebut setelah innamal a’amâlu binniyât, menjelaskan sesungguhnya menentukan niat bagi yang berniat adalah syarat,” tetapi ada jauga yang menyebutkan niat itu adalah rukun dalam amal.

Hadits di atas oleh Nabi Muhammad dikemukakan untuk menanggapi kasus seseorang yang berhijrah tetapi memiliki tujuan menikahi perempuan di Madinah. Ibnu Hajar al-Asqolani menyebutkan beberapa penjelasan: Ibnu Daqiqil `Id menyebutkan ada seorang laki-laki ikut hijrah ke Madinah, dengan tujuan untuk menikahi Ummu Qois; riwayat al-A’masy melalui Ibnu Mas`ud menyebutkan bahwa ada seorang yang berhijrah dan berniat untuk bisa menikahi perempuan bernama Ummu Qois, dan disebut orang itu sebagai Muhajir Ummi Qois; ath-Thobroni juga menyebutkan perempuan itu bernama Ummu Qois (Fathul Bârî, I: 10).

Soal niat ini, Imam Nawawi menyebutkan bahwa niat adalah al-qoshdu (tujuan yang ditetapkan) dan itu adalah `azimatul qalbi (kehendak hati); Al-Kirmani menyebutkan `azimatul qalbi adalah ketetapan tambahan bagi tujuan asal; Al-Baidhowi menyebutkan bahwa niat itu ibarat untuk membangkitkan hati agar sesuai dengan apa yang ingin ditarik dari manfaat amal atau menolak mudharat dari amal, dan secara syara’ dimaksudkan sebagai kehendak yang mengarahkan sebagaimana perbuatan itu dilakukan, untuk mencari ridho Alloh dan menjalankan perintah hukumnya (Fathul Bârî, I: 13)

Ibnu Hajar ak-Asqolani juga menyebutkan dalam Fathul Bârî: “Maksud hadits di atas, adalah: “Tidak ada amal tanpa ada niat, bukan dimaksudkan meniadakan dzat amalnya. Sebab amal itu sungguh telah didapatkan/dikerjakan dengan tanpa niat, tetapi maksudnya adalah menafikan hukumnya, seperti hukum syahnya dan kesempurnaannya” (Fathul Bârî, I: 13).

Dari hadits di atas juga membawa pada pembahasan, ada niat yang dicampur, antara hijrah dan menikahi perempuan, sehingga ini membawa pengertian pada amal-amal lain, bagaimana nilai dari amal-amal yang niatnya dicampur itu? Dalam soal niat yang diacampur itu, ada dua pendapat yang penting untuk dikutip, yaitu pendapat Imam al-Ghozali dan Abu Ja’far ath-Thobari, demikian:

“Yang dipilih Imam al-Ghozali, manakala tujuan duniawinya lebih menonjol, maka orang itu tidak memperoleh ganjaran pahala. Namun apabila ia memaksudkannya sebagai ibadah, maka ia mendapatkan pahala; apabila bobot niat itu sama, ia tidak akan memperoleh pahala; sedangkan apabila ia bermaksud niat ibadah, lalu dicampuradukkan dengan hal-hal yang merusak keikhlasan, maka dalam hal ini Abu ja’far ath-Thobari menukil pendapat mayoritas ulama salaf yang melihat dari sudut “niat permulaan”. Yaitu apabila amal dimulai dengan niat keikhlasan untuk Alloh, maka hal ini tidak memberi pengaruh apapun, artinya apa yang dia lakukan sesudah itu, tidak akan menghilangkan pahalanya” (Fathul Bârî, I: 18).

Beberapa Hal yang Penting dalam Niat

Ada beberapa hal yang perlu diketahui dalam soal niat ini hubungannya dengan amal-amal yang dikerjakan seorang mukmin:

Niat itu di Hati, Disempurnakan dengan Lisan-Perbuatan

Berdasarkan hadits innamal a’mâlu binniyât di atas, maka jelaslah, niat itu mendasari semua amal-amal, dan karenanya amal yang tidak didasari niat, tidak bermanfaat (kecuali dalam amal yang tidak mensyaratkan niat, seperti meninggalkan maksiat, tetap syah walaupun tidak berniat). Niat yang dimaksudkan, apakah hanya di hati atau dilafadzkan, adalah soal ikhtilaf dan tidak perlu dijadikan sebagai bahan olok-olok, baik yang melafalkan atau tidak.

Untuk hal ini penting memperhatikan hadits Kanjeng Nabi Muhammad di bawah ini, melalui jalan Ibnu Abbas, Nabi Muhammad bersabda:

“Sesungguhnya Alloh menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahan, kemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan kebaikan, namun dia tidak jadi melakukannya Alloh tetap menulisnya sebagai satu kebaikan sempurna. Jika ia berniat mengerjakan kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Alloh menulisnya di sisi-Nya 10 kebaikan hingga 700 lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berkeinginan berbuat buruk, namun dia tidak jadi melakukannya, maka Alloh menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa yang berbuat kesalahan dan kemudian mengerjakannya, maka Alloh menulisnya sebagai satu kesalahan” (HR. Bukhori, No. 6491).

Hadits di atas memberikan pengertian bahwa niat itu di dalam hati, perwujudan dari niat itu dalam bentuk lahir adalah penyempurnaan dari niat. Pengungkapan lisan yang sesuai dengan niat di hati adalah bagian dari perwujudan komitmen untuk menyempurnakan niat di hati; dan amal-amal adalah perwujudan dari niat dan komitmen lisan. Apalagi ada hadits Nabi yang juga mengajarkan untuk berniat dalam haji dan umro, dengan menggunakan talafudz/perkataan, yaitu Nabi Muhammad bersabda: “Malam ini telah datang malaikat utusan Tuhanku kepadaku.” Saat itu beliau sedang berada di lembah al-`Aqiq dan malaikat itu berkata: “Sholatlah di lembah yang penuh berkah ini dan katakanlah: “Aku berniat melaksanakan umroh dan haji (HR. Bukhori, No. 1534, 2337, dan 7343; dan juga diriwayatkan Imam Muslim). Hadits ini memerintahkan niat diucapkan dan dilafadzkan, yang bisa diqiyaskan untuk selain haji dan umroh dalam melafalkan niat.

Dengan memperhatikan hadits-hadits Kanjeng Nabi Muhammad itu, di kalangan madzhab Syafi`i, niat itu menurut Imam Jalaludin as-Suyuthi, tempatnya ada dalam hati, karena hakekatnya niat itu adalah al-qoshdu, dan dikatakan juga yang menyertai dengan amal perbuatan, dan itu adalah ibarat untuk perbuatan hati (Imam as-Suyuthi, al-Asybâh wan Nazho’ir, I: 54). Sedangkan Imam al-Baidhowi menyebutkan bahwa niat itu ibarat untuk membangkitkan hati agar sesuai dengan apa yang ingin ditarik dari manfaat amal atau menolak mudharat dari amal, dan secara syara’ dimaksudkan sebagai kehendak yang mengarahkan sebagaimana perbuatan itu dilakukan, untuk mencari ridho Alloh dan menjalankan perintah hukumnya (dalam Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Bârî, I: 13; dan dalam Imam as-Suyuthi, al-Asybah wan Nazhoir, I: 54).

Oleh karena itu, dalam madzhab Syafi`i pelafalan niat, semata-mata dilihat untuk menyempurnakan niat yang ada dalam hati, dan tetap syah walaupun tidak dilafalkan. Hal ini dapat kita baca dari tiga kitab di kalangan Madzhab Syafi`i misalnya:

1. Imam Abul Husain Yahya bin Abil Khoir dalam kitab al-Bayân fî Madzhabil Imâm asy-Syâfi`î, menyebutkan: “Tempatnya niat itu dalam hati, karena niat itu adalah ikhlas, dan tidak ada ikhlas itu kecuali dengan hati; apabila berniat dengan hatinya dan melafadzkan dengan lisannya, dia telah datang dengan kesempurnaan; dan jika melafalkan dengan lisan, tetapi tidak berniat di dalam hatinya, tidak syah; dan jika berniat dengan hati dan tidak dilafazhkan dengan lisan, Alloh akan membalasnya” (al-Bayân fî Madzhabil Imâm asy-Syâfi`i, Darul Minhaj, t.t., II: 160).

2. Imam ar-Ruyani dalam kitab Bahrul Madzhab juga mengemukakan: “Tempatnya niat ada di hati, karena ada firman Alloh surat Bayyinah ayat 5: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” Dan, ikhklas itu di dalam hati, maka apabila seseorang berniat di hatinya dan dilafadzkan dengan lisannya maka dia sempurna, dan jika berniat di dalam hatinya dan tidak dilafadzkan dengan lisannya boleh, dan bila melafazhkan dalam lisan tetapi tidak berniat di dalam hatinya maka tidak boleh, karena itu membawa niat dengan tidak pada tempatnya. Sebagaimana juga, seseorang berniat dengan hatinya membaca al-Fatihah dan menafakkurinya dan tidak melafadzkan dengan perbuatan itu maka tidak boleh; dan jika seseorang berniat di hatinya dan melafadz-kan dengan niatnya tetapi tidak sesuai dengan niat di hatinya untuk membaca al-Fatihah dan menafakkurinya, maka boleh tetapi termasuk yalgho apa yang dilafadzkan itu. Dan berkata Abu Abdillah az-Zubairi dari Ashhab kami: “Niat itu keyakinan dalam hati, dan menyebut melalui lisan untuk memperjelas melalui lisannya apa yang diyakininya dalam hati. Maka jadilah sempurna niatnya, terpercaya i’tiqadnya, maka tidak boleh sampai dia melakukan niat dan melafadzkannya (Imam ar-Ruyani, Bahrul Madzhab, I: 87).

3. Imam al-Mawardhi dalam kitab al-Hâwî al-Kabir menyebutkan beberapa pendapat: “Orang yang berniat dengan hatinya, melafazhkan dengan lisannya, dia diganjar dengannya, dan ini adalah ahwal yang paling sempurna; melafalkan dengan lisannya tetapi tidak berniat dengan hatinya, maka dia tidak diganjar, sebab tempatnya niat itu adalah al-i’tiqod di dalam hatinya; seseorang berniat dalam hatinya dan tidak melafalkan dengan lisannya, menurut madzhab Syafi`i, dia dibalas dengan ganjaran; tetapi menurut Abu Abdullah az-Zubairi, dari kalangan sahabat kami. Dia tidak dibalas dengan balasan sampai dia melafazhkan dalam lisannya berdasarkan perkataan |Imam asy-Syafi`i di dalam kitab al-Manâsik…” (Imam al-Mawardhi, al-Hâwi al-Kabîr, Beirut, Dar al-Kutub al-`Ilmiyyah, 1994/1414, II: 92).

Jadi, dalam madzhab Syafi`i melafalkan niat itu dipandang sebagai bagian untuk menyempurnakan, bukan wajib (kecuali pendapat Abu Abdullah az-Zubairi), dan karena menyempurnakan amal-amal, maka dihukumi sunnah. Hal ini diperkuat oleh Imam ar-Romli dalam kitab Nihâyatul Muhtâj, begini: “Disunnahkan mengucapkan apa yang diniati (dalam hati), sebelum takbir agar supaya lisan bisa membantu hati sehingga terhindar dari waswas. Dan agar bisa keluar dari pendapat ulama yang mewajibkan mengucapkan niat” (Nihâyatul Muhtâj, I: 437).

Niat di Permulaan-Bersamaan dengan Amal

Ada yang memaknai huruf bâ’ di dalam hadits innamal a’mâlu binniyât, itu bermakna mushohabah (berfungsi membersamakan), maka niat difahami harus diucapkan bersamaan dengan amal yang dilakukan. Niat tidak diperkenankan dilakukan setelah amal-amal dilakukan. Akan tetapi ada beberapa amal yang niat itu boleh didahulukan, seperti puasa wajib, niat zakat, dan niat menebus dosa dengan kaffarat. Hal ini diperbolehkan karena faktor kesulitan bila diucapkan bersamaan dengan amal-amalnya. Misalnya dalam kaffarat member fidyah kepada orang-orang miskin, maka boleh diucapkan tanpa menunggu satu-satu persatu fidyah itu dibagikan kepada orang-orang miskin.

Sedangkan dalam sholat, Imam Abdul Wahhab asy-Sya’roni menyebutkan begini, soal niat bersamaan dengan takbir: “Abu Hanifah dan Imam Ahmad berkata bahwa dalam sholat boleh mendahulukan niat atas takbir asal waktunya tidak lama (antara niat dan takbir). Akan tetapi menurut Imam Malik dan Imam Syafi`i, mewajibkan bersamaan dalam mengucapkan takbir dan niat, dan tidak syah niat mendahului atau mengakhiri. Sementara menurut Imam al-Qoffal dari kalangan Syafiiyah menyebutkan, syah hukumnya berniat sebelum takbir. Imam Nawawi memilih cukup bersamaan antara niat dan takbir itu secara urf (Imam Abdul Wahhab asy-Syaroni, Kitâb al-Mîzân lil Imâm Abdil Wahhâb asy-Syarônî, Alimul Kutub, 1989/1409, II: 30-31).

Ta’yin Niyat

Menentukan niat dalam amal-amal yang dijalankan diperlukan, karena ibadah jenisnya berbeda-beda dan hukumknya juga berbeda-beda, dan kadang dilakukan di tempat-tempat yang berbeda, berdasarkan pada lanjutan dari hadits innamal a’malu binniyat, yaitu likullim rî’in mâ nawâ. Untuk hal ini, Imam Jalaluddin as-Suyuthi mengurutkan: Pertama, ada kategori yang tidak memerlukan syarat niat, baik dalam hal yang berdimensi menjalankan atau meninggalkan. Yang dimensi amal menjalankan adalah iman kepada Alloh, khouf dan roja, dzikir-dzikir, membaca al-Qur’an, memandikan mayit (karena maksudnya adalah untuk menghilangkan najis dan membersihkan). Sedangkan yang berdimensi meninggalkan, seperti meninggalkan zina, dan maksiat lain, itu tidak diperlukan niat, tetap syah (Imam Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybâh wan Nazhô’ir, I: 31)

Kedua, kategori ibadah yang mensyaratkan adanya niat, seperti sholat, maka diperlukan ta’yin niat, karena jenis-jenis sholat berbeda, seperti ada sholat istikhoroh, sholat hajat, sholat tahajud, sholat dhuha, sholat taubat, sholat tasbih, dan lain-lain; ada juga yang sunnah, ada yang qodho’, ada yang fardhu, maka ta’yin niat di situ diperlukan. Dalam hal puasa juga demikian, ada puasa sunnat, Senin Kamis, puasa Romadhon, puasa Arofah dan lain-lain. Ta’yin niat juga berkaitan dengan objek dari amal-amal, seperti wudhu’, yang akan digunakan untuk sholat, maka niatnya adalah fardhu; ada juga yang sunnah rowatib ba’dhiyah dan qobliyah, sehingga ta’yin di situ diperlukan. Imam as-Suyuthi kemudian mennyebutkan dhabithnya: “Setiap amal ibadah yang membutuhkasn niat fardhiyah, maka dibutuhkan ta’yin”, kecuali tayamum” (Ibid., I: 33-34).

Tayamum itu tidak syah kalau tidak ada niat, tetapi niat dalam tayamum itu adalah untuk istibahatish sholah (agar sholatnya menjadi syah karena ada halangan untuk berwudhu), sehingga kalau diniatkan dengan niat menghilangkan hadats (najis), tidak boleh; apabila sholat itu sholat fardhu, tidak boleh tayamum sebelum masuk waktunya; dan juga sholat sunnah tidak tayamum sebelum waktunya. Ini adalah madzhab Imam Syafi`i, Imam Malik dan Ahmad (Ibid., I: 34, catatan kaki No. 1).

Jadi, ta’yin niat diperlukan, misalnya untuk menuntut ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hal-hal wajib seperti sholat, puasa dan sejenisnya, maka menuntut ilmu itu fardhu, memenuhi kewajiban yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad; tetapi tidak diperlukan misalnya untuk meninggalkan maksiat, untuk keluar dari ghoflah, dengan langsung berbuat meninggalkannya, tetap syah; dan bahkan merupakan kebaikan.

Menurut Guru Sufi Abu Tholib al-Makki

Dalam beberapa kitab tasawuf, tidak semua guru membahas niat sebagai tempat permulaan dalam jalan pendekatan diri kepada Alloh. Salah satu guru yang membahas ini, dan niat menduduki hal penting dalam pembahasannya adalah Abu Tholib al-Makki, dalam `Ilmul Qulûb (Kairo: maktabah al-Qohiroh, t.t.). Saya akan mengutip secara agak panjang apa yang dikemukakan Abu Tholib al-Makki itu, agar bisa diambil faedah. Abu Tholib al-Makki mengemukakan dalam soal niat ini, menjadi sangat sentral dan menjadi dasar dari seluruh amal yang dilakukan, pada bagian “Kekuatan Niat”, begini:

“Hati adalah sesuatu yang paling lemah dan paling tidak berdaya. Ia kuat hanya dengan kuatnya niat. Jika niat untuk kebaikan itu kuat, hati menjadi kuat pula dengan niat itu, dan jika niat untuk melakukan kebaikan lemah, hati pun menjadi lemah seiring dengan lemahnya niat.”

“Banyak orang tidak peduli dengan masalah niat dan tidak mencari tahu tentangnya, seperti tidak pedulinya mereka terhadap perjalanan hidup para pendahulu mereka, sebagaimana tidak pedulinya mereka tentang masalah tobat dan yang berkaitan dengannya. Mereka tidak menyadari bahwa niat adalah sesuatau yang fardhu bagi segala kefardhuan, wajib dalam seluruh kewajiban, dan dasar dalam semua dasar urusan agama.”

“Seseorang hamba janganlah takut meninggalkkan amal saleh hanya karena takut ada kekurangan pada dirinya dalam melaksanakan amal saleh. Jangan juga meninggalkan karena malas kepada manusia atau karena takut disebut sebagai orang alim. Jika seseorang meninggalkan amal saleh, karena alasan-alasan itu berarti si musuh (setan) telah berhasil mengalahkannya.”

Oleh karena itu, berhubungan dengan niat itu, orang beramal belum tentu niatnya baik, karena menurut Abu Tholib al-Makki, orang beramal itu ada 6 jenis: pertama, orang yang melakukan ketataan karena Alloh, lalu berhenti melakukannya, sehingga ia terkadang melakukan terkadang meninggalkan (disebut mukmin secara umum); kedua, orang beramal kebaikan, kemudian meninggalkan, dan setelah itu dia malah melakukan keburukan-keburukan (disebut sikap orang munafik); ketiga, orang yang melakukan ketaatan karena Alloh tetapi setelah banyak bergaul dihinggapi penyakit amal, yaitu berhenti melakukan ketaatan, dan dia menjadi su’ul khatimah, amal-amal yang dilakukan menjadi gugur (disebut para muqtashid, kaum pertengahan); keempat, orang yang membawa ketaatan sambil membawa kekurangan dan kecacatan, dalam taatnya atau dalam dirinya, tetapi seiring dengan waktu kecacatan dan kekurangannya itu diperbaiki dan menjadi hilang (disebut kalangan ahli zhalim); kelima orang yang melakukan amal ketaatan karena Alloh dan kadang berhenti juga karena Alloh. Ketika beristirahat dari mengerjakan amal shaleh itu, dia tidak mengisi istirahatnya itu dengan keburukan, dan dibandingkan semua yang 4 di atas, kategori ini lebih baik (disebut kalangan khos dari kaum mukmin); dan keenam, golongan yang lebih baik lagi, orang mengerjakan amal saleh karena Alloh dan senantiasa berada dalam amal salehnya bersama Alloh. Kalau berhenti sesekali dan itu sebentar saja dengan tetap memelihara kebersamaan dengan Alloh (disebut kalangan khos dari ahli ikhlas).

Dalam menjelaskan tipe 6 orang berkaitan antara niat dan amal itu, menurut Abu Tholib al-Makki harus diperhatikan soal amal-amal yang dilakukan seseorang, yang bisa gugur karena motif dan niat yang tidak tepat. Menurut Abu Tholib al-Makki, ada 4 hal yang menggugurkan amal: pertama, bangga dengan amal-amalnya dan memamerkan kepada orang lain (orang ini masih melakukan amal-amal secara lahir, dibarengi dengan `ujub); kedua, semula mengingat Alloh lalu berhenti mengingat Alloh dengan jalan sum`ah dan riya’ (orang ini telah berhenti dalam beramal, padahal sebelumnya beramal); ketiga, menampakkan amal-amal setelah beramal dengan sembunyi-sembunyi (orang ini masih beramal, dibarengi riya dan sumah, tetapi beda dengan yang ketiga, yang ini masih menjalankan amal-amalnya); dan keempat, merasa telah banyak berbuat amal dan menganggap rendah orang lain (orang ini masih beramal). Kesemua ini menggugurkan amal-amal yang telah dilakukan.

Oleh karena itu, menurut Abu Tholib al-Makki, hal terbaik yang harus dilakukan seorang hamba adalah: “Tidak berniat selain mengharapkan keridhoaan Alloh semata, karena mencintai sifat-sifat-Nya, serta dalam rangka tetap mengendalikan diri untuk tetap melakukan ibadah dan pengabdian kepada-Nya. Apabila hal ini luput dari seorang hamba maka Alloh yang Maha Agung pun juga akan luput dari dirinya ketika melakukan amal.”

Dalam hal itu, Abu Tholib al-Makki membedakan antara niat dengan angan-angan atau keinginan yang didorong nafsu. Menurut Abu Tholib al-Makki: “Niat itu ketetapan dalam hati yang diupayakan untuk mendekatkan seorang hamba kepada Alloh, baik berupa perintah, anjuran, maupun sesuatu yang dihalalkannya. Deangan kata lain ada sesuatu yang terkait dengan urusan akhirat. Ketetapan hati seperti ini yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam setiap amalnya.”

Adapun angan-angan itu menurut Abu Tholib al-Makki ada dua macam: pertama, yang dapat bernilai baik, yaitu hal-hal yang bisa mendekatkan diri kepada Alloh, yang dengannya seorang hamba merindukannya, atau kebaikan yang dirindukan orang-orang shaleh. Contoh yang seperti ini adalah: orang yang diberi Alloh ilmu Al-Qur’an serta mengamalkannya di malam dan siang hari. Berangan-angan seperti orang ini adalah terpuji. Kedua, angan-angan yang buruk, seperti berangan-angan memiliki fasilitas kemewahan dan keduniawian lain sebagaimana para pecinta dunia untuk mengumbar nafsu dan syahwat.

Maka yang terbaik dalam hal niat beramal itu, menurut Abu Tholib al-Makki, dengan jalan:

“Mengikhlaskan amal semata-mata untuk Alloh, karena rasa malu terhadap-Nya, demi mengagungkan-Nya, dan karena cintanya sekaligus kepada-Nya. Ketika mengerjakan hal-hal yang diwajibkan/diperintahkan dia berniat menjalankan apa yang diwajibkan-Nya; ketika mengerjakan yang dianjurkan, dia berniat bersegera untuk memperbanyak kebaikan; dan ketika melakukan sesuatu yang mubah, dia berniat meluruskan hati dan menenangkan jiwa, serta meneguhkan keadaan diri. Semua ini amal yang dilakukan demi agama.”

Niat dan Syahid di Tempat Tidur

Sebagaimana disebutkan bahwa jalan para Abdal adalah membaguskan niatnya, menunjukkan bahwa itu bukan hanya dalam perbuatan-perbuatan sholat dan ritual sejenisnya, tetapi juga di dalam keseluruhan hidup yang dijalaninya, didadasarkan dengan niat yang baik. Niat yang baik, adalah niat yang mendasarkan seluruh apa yang dilakukannnya, untuk mencari ridho Alloh, menjalankan perintah-Nya, dan berkeinginan berdekat dengan-Nya; serta mengikuti jalannya Kanjeng Nabi Muhammad untuk memperoleh ridho dan rahmat-Nya.

Orang yang demikian, akan senantiasa berhadapan dengan rintangan nafs dan setan dari bangsa jin dan manusia, sehingga perjalanan hidupnya, sejatinya dalah jihad akbar, dan perjuangan terus menerus. Apa yang dilakukannya adalah jihad akbar memerangi nafsu; dan melakukan jihad-jihad lain, untuk mengajar, bekerja, menolong, dan yang lain-lain amal di dunia ini, sebagai pelayanan dan pengabdian.

Dalam hal itu, di antara niat yang dipilih untuk meneguhkan seperti itu, dicontohkan oleh Sayyiduna Umar adalah berniat untuk bisa dimatikan Alloh pada waktu ajal-Nya dipanggil, sebagai mati syahid, mati dalam keadaan sedang berperang di jalan Alloh, bukan semata di dalam pengertian perang qital, tetapi dalam pengertian yang lebih luas. Sayyiduna Umar dalam doanya mengucapkan: “Ya Alloh berikanlah aku anugerah mati syahid di jalanmu, dan jadikanlah kematianku di negeri Rasul-Mu shollahu `alaihi wasallam” (HR. Bukhori, No. 1890).

Hadits itu juga mengisyaratkan, bahwa selalu berdoa agar sejalan dengan jalan yang diridhoi-Nya, adalah harapan terus menerus bagi seorang yang berniat baik dalam semua perjalananya. Karena perjalanan pertempuran di medan jihad akbar dan jihad dalam segala perbuatan menjalankan amal-amal kebaikan itu, sudah pasti bagi mereka menyadari bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Oleh karenanya, seperti Sayyiduna Umar, bahkan dia meminta dimatikan dalam keadaan syahid agar memperoleh ridho-Nya, adalah jalan yang diajarkan Kanjeng Nabi Muhammad dan kesadaran agar selalu dekat dengan Alloh, perlu diteladani.

Dengan demiakian, hidup ini bila disadari sebagai pertempuran melawan hawa nafsu, dan unsur syaithoniyah di dalam diri kita, yang itu berlaku sepanjang hayat, maka dalam pertempuran itu, yang ada hanya kalah atau menang. Karenanya meminta mati syahid adalah jalan terbaik. Mati syahid, berperang di jalan Alloh, itu bukan hanya mati di peperangan dalam pengeritan qital, tetapi dalam banyak hadits lain dan pendapat para ulama, ada yang mati karena sakit perut, muntaber, karam di air, jatuh dari pohon, dan lain-lain, ketika dia sedang berjihad melakukan amal-amal yang dipilihnya dan memerangi nafsunya; dan sedang menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangn-Nya.

Oleh karena itu, Kanjeng Nabi Muhammad memberikan kejelasan isyarat di mana umatnya nanti akan banyak mati syahid, tetapi ada di tempat tidur; dan itu mengisyaratkan mereka yang wafat di jalan ini. Hadits soal ini dari Sahal bin Hunaif dari ayahnya dari kakeknya, menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Barangsiapa mengharapkan mati syahid dengan sungguh-sungguh, maka Alloh akan mengangkatnya sampai ke derajat para syuhada’, meski ia meninggal di atas tempat tidur” (HR Muslim No. 4907, Kitab al-Imâroh bab “Istihbâbu Thalabisy Syahâdah fî Sabîlillâhi Ta`âlâ; dan No. 5039; Ibnu Majah, No. 2797).

Menurut Abul Hasan al-Hanafi as-Sindi, dalam Sunân Ibnu Mâjah bi Syarhil Imâm Abul Hasan al-Hanafî al-Ma’rûf bi as-Sindî (Beirut: Dar al-Ma’rifah, III: 359), hadits di atas “dikeluarkan Imam Muslim (No. 4907), Abu Daud (No. 1520), at-Tirmidzi (No. 1653), an-Nasa’i (No. 3162 dan 4653).” Imam an-Nawawi, dalam Shohîh Muslim bi Syarah an-Nawâwî (al-Mathba`ah al-Mishriyah bil Azhâr, 1930, XIII: 55), menyebutkan bahwa hadits ini memberikan pengertian dua hal: “Disunnahkan/dianjurkan untuk berdoa agar bisa mati syahid di jalan Alloh; dan disunnahkannya untuk (mengucapkan) niat baik,” dalam keseluruhan hidup kita.

Selain berdoa dan berniat agar mati syahid sebagai contoh untuk meneguhkan niat yang baik, ada juga contoh bentuk niat baik seperti di kalangan ahli tarekat. Di dalam tarekat Syathoriyah, niat itu dita’yin/ditentukan, begini: ketika baiat berniat untuk masuk ke dalam jalannya para sholihin, agar berada di jalan yang lurus; ketika mandi dia berniat pindah dari kelalaian kepada hudhur kepada Alloh; ketika puasa dia berniat untuk masuk ke dalam jalannya para sholihin; ketika sholat sunnah sebelum wirid dan baiat berniat hajat untuk masuk jalannya orang-orang shalih; dan ketika berdzikir berniat untuk mendekatkan diri kepada Alloh, dan hanya Alloh yang dituju (Tuntunan Dzikir Khusus Kagem Poro Murid Thoriqoh Syathoriyah, hlm. 2-3).

Meniru jalan melalui penetapan “niat baik” dalam amal-amal yang ditempuh para Abdal, dapat menghantarkan amal-amal yang dikerjakan itu, bisa ikhlas, dan berbuat shidiq. Hal ini akan menjadi pembahasan di jalan Abdal berikutnmya. Faedahnya, menjalani hidup ini juga dapat terasa ringan, karena semua dikembalikan kepada Alloh, dimaksudkan untuk menuju-Nya dan beribadah kepada-Nya. Manakala ada kekurangan-kekurangan sebagaimana setiap orang mengalami ini, selalu ingat akan rahmat Alloh, sebagai tempat kembali, meminta pertolongan, dan asal dari segala sesuatu.

Oleh: Nur Kholik Ridwan

Anggota PP RMINU

 

 

Tags