Beda Pilihan Politik Silahkan, Namun Tidak Harus Saling Mencaci dan Mencela

 
Beda Pilihan Politik Silahkan, Namun Tidak Harus Saling Mencaci dan Mencela

LADUNI. ID, KOLOM, PERBEDAAN itu merupakan sunnatullah dan merupakan fenomena yang tidak dapat dielakkan dalam kehidupan ini. Hal ini juga terjadi di setiap elemen kehidupan termasuk dunia politik yang kini sedang membooming baik dalam pemilihan calon legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres).

Menyikapi perbedaan itu membutuhkan kedewasaan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) dengan memanfaatkan kekuatan kekuatan pikiran bawah sadar atau yang dikenal dengan suara hati ( God Spot). Kedewasaan ini bukan hanya sebatas teori namun implementasinya.

Kita tidak ingin mereka yang selama ini hanya pandai beretorika di atas mimbar namun saat berbeda pandangan politik kembali menjadi tidak “baligh” alias dewasa bahkan melakukan hal yang diluar konteks ukhuwah dan persaudaraan.

Hal yang miris kita lihat yang sebagian dilakoni oleh orang terpelajar bahkan tokoh agamawan yang  ikut terseret ke dalam arus hoaksisme di medsos juga ikut "mencela" lawan politik dalam konteks kampanye hitam (Black campaign) yang tidak wajar. 

Pasca pihak KPU atau KIP mengumumkan waktu kampanye bahkan sebelumnya, suhu politik kian “panas”. Fenomena suhu politik itu dapat kita saksikan di media sosial dan media lainnya. Pendukung masing-masing pasangan calon masih sibuk adu opini, kadang fakta.

Beda itu biasa, idealnya tak jadi masalah. Namun tak dapat dipungkiri perbedaan pilihan dalam hal politik kerap memicu masalah dalam relasi dengan sesama.

Agar tak berlarut-larut dan merugikan banyak pihak, ada baiknya jika Anda bertindak. Selama beberapa bulan ke depan, pastikan hubungan dengan teman, keluarga, mungkin juga pasangan tetap terjalin baik.

Para pakar dan peneliti telah mencoba menelusuri pengaruh politik dengan kecerdasan otak. Berdasarkan para ahli yang berasal dari University College, London yang mencoba meneliti kaum konservatif dan liberal membuktikan bahwa perspektif politik dipengaruhi oleh struktur otak. Argumen tidak dapat mengubah otak, bahkan segala argumen pun tidak akan bisa mengubah pikiran seseorang.

Beranjak dari itu sangat penting untuk disadari, yang terbaik yang lakukan seseorang di tengah arus perbedaan adalah bagaimana memanajemen perbedaan dengan mencoba “memaksa” menerima perbedaan dan terus memperbaiki serta mencobanya.

Bahkan menurut beberapa penelitian, melanjutkan argumen hanya akan membuat mereka semakin memperkuat posisi tanpa mempertimbangkan logika dan alasan. Pandangan politik yang berbeda tak berarti salah. Anda hanya harus belajar untuk menerima perbedaan.

Salah seorang ulama terkemuka Indonesia KH. A. Musthofa Bisri yang juga sering mengkritisi elite dengan caranya yang santun menyebutkan demokrasi membutuhkan persiapan dan kesiapan. Sementara selama berpuluh tahun demokrasi hanya digembar-gemborkan. Kita, misalnya, tidak pernah diajari berbeda. Maka, orang pun terkaget-kaget setiap melihat perbedaan. Lalu mereka yang berbeda pun saling memutlakkan pendapat dan kecenderungannya masing-masing.

Derasnya arus politik dewasa ini dan tentunya perbedaan tidak dapat di hindari. Kita sebagai muslim yang baik jangan sampai perbedaan melahirkan renggangnya ukhuwah dan persaudaraan serta silaturrahmi juga saling mencela .


Anehnya dan tragisnya melakukan “pengusiran” hanya karena berbeda pilihan politik dan ini salah satu realita yang telah terjadi di zaman now.

Tragis bin ajaib lagi yang diusir itu masih satu atap dan dulunya saling membutuhkan dan membantu sesama, bukankah ini namanya juga memutuskan ukhuwah dan silaturrahmi?

Imam Nawawi berkata, bahwa silaturrahmi adalah, “Berbuat baik kepada kerabat sesuai dengan keadaan orang yang berbuat baik dan orang yang menerima perbuatan baik itu. Terkadang silaturrahmi itu dengan harta, jasa, mengunjungi, ucapan salam dan lainnya”. (Kitab Syarh Nawawi 1/287)

Memperkuat argumen tersebut Imam al-‘Aini rahimahullah berkata, “Shilaturrahmi adalah kinâyah (ungkapan lain yang lebih halus-red) dari berbuat baik kepada kerabat dari kalangan orang-orang yang memiliki hubungan nasab (keturunan-red) dan pernikahan, bersikap sopan dan lemah-lembut kepada mereka, serta memperhatikan keadaan mereka. Walaupun mereka jauh dan berbuat buruk. (Kitab Syarh Shahîh al-Bukhâri).

Lebih lanjut lawan silaturrahmi namanya qathu’rahmi. Adapun qath’urrahmi (memutuskan persaudaraan) adalah memutuskan hal-hal yang disebutkan di atas (dengan tanpa alasan syari’at-pen)”. (Kitab Syarh Shahih al-Bukhari).

Tidak sedikit hadist yang mengancam mereka yang termasuk kategori memutuskan silaturrahmi, diantaranya dengan sabda beliau :

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan (persaudaraan). [HR. al-Bukhâri dan Muslim, dari Jubair bin Muth’im).

Dalam hadis lainnya, Rasulullah Saw bersabda:

إِنَّ الرَّحِمَ شِجْنَةٌ مِنَ الرَّحْمَنِ ، فَقَالَ اللَّهُ مَنْ وَصَلَكِ وَصَلْتُهُ ، وَمَنْ قَطَعَكِ قَطَعْتُهُ

Sesungguhnya (kata) rahmi diambil dari (nama Allâh) ar-Rahman. Allâh berkata, “Barangsiapa menyambungmu (rahmi/kerabat), Aku akan menyambungnya; dan barangsiapa memutuskanmu, Aku akan memutuskannya”. (HR. al-Bukhâri dari Abu Hurairah).

Berangkat dari itu biarpun kita beda pandangan politik dan pilihannya, tetap menjaga ukhuwah dan silaturrahmi serta menjauhkan diri mencela yang berbeda pandangan dan pilihan politik, bilkhusus menghina dan mencaci ulama, sebagaimana peringatan Al-Hafidz Ibnu Asakir dalam “Tabyin Kadzib Al-Muftari” yang menyebutkan bahwa  daging para ulama itu beracun (menggunjingnya adalah dosa besar), dan kebiasaan Allah dalam menyingkap kedok para pencela mereka (ulama) telah diketahui bersama. Karena mencela mereka dengan sesuatu yang tidak ada pada mereka, merupakan petaka besar. Bahkan ada ulama lain yang mengatakan mencaci ulama akan dibalas akhir hayatnya dengan suul khatimah (mengakhiri hidup tanpa selamat iman). Nau'uzubillah. 

Sekali lagi mari kita hargai perbedaan dalam bungkai ukhuwah, silaturrahmi dan saling menghormati tetap harus kita utamakan, jabatan politik itu hanya lima tahunan, jangan sampai perbedaan melahirkan malapetaka dan hal negatif lainya. Marilah dengan perbedaan pilihan dan pandangan di segala aspek termasuk politik sebagai pundi meraih pahala dan mengais kasih sayang serta ridha-Nya. Amin

Wallahu Muwaffiq Ila Aqwamith Tahriq

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Penggiat Literasi asal Dayah MUDI Samalanga dan Penikmat Kopi BMW Cek Pen Lamkawe