Gus Baha: Ciri Ahlussunnah wal Jama’ah di Akhir Zaman

 
Gus Baha: Ciri Ahlussunnah wal Jama’ah di Akhir Zaman
Sumber Gambar: Dokumentasi istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Ciri Ahlussunnah wal Jamaah di zaman akhir itu dalam aqidah kalau tidak mengikuti Imam Abu Hasan Al-Asy’ari, pasti mengikuti Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Kemudian dalam fiqih menganut salah satu dari empat madzhab, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i atau Imam Ahmad bin Hanbal. Sedangkan dalam tasawuf mengikuti salah satu madzhab ajaran Abul Qosim Al-Junaidi atau Imam Ghazali.

Mengapa dibakukan dengan definis seperti itu? Tidak lain, karena dulu itu, ada organisasi atau firqoh di tanah Arab yang menentang. Mereka mengatakan; “Itu ta’rif (definisi) apa? Nabi tidak pernah berkata seperti itu”. Meski demikian, pastikan kita jangan terjebak dengan ungkapan mereka bahwa Nabi dianggap tidak pernah mengeluarkan definisi secara jelas tentang Ahlussunnah wal Jamaah seperti itu.

Cara menanggapi kritik itu, kita perlu sejenak untuk berpikir begini; tentu Nabi tidak akan mengatakan seperti itu, karena di zaman beliau belum ada Imam Ghazali, belum ada Abul Qosim Al-Junaidi. Tapi kita percaya dengan definisi seperti itu, karena bahwa kriteria yang terkait dengan Ahlussunnah wal Jamaah adalah golongan yang sebagaimana digambarkan dalam penjelasan Nabi; “Ma Ana ‘alaihi wa Ashabi,” artinya; “Orang yang meneladaniku dan para Sahabatku.”

Demikian itu bunyi teks yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW. Tapi mungkin dari sini muncul satu pertanyaan, mengapa kita harus menyebutkan sanad dan para Imam yang kita anut?

Dalam menanggapi pertanyaan itu kita bisa menyanggahnya bahwa kalau kita tidak secara detail menyebutkan begitu, maka kemungkinan pertanyaan lain akan muncul. Bagaimana dalam konteks sekarang umat Islam bisa tahu tentang Sahabat melakukan begini dan begitu sesuai dengan anjuran Nabi. Tentu dari sini patut dipertanyakan dan kemudian perlu untuk ditegaskan bahwa, tahu semua akan hal itu tidak lain adalah dari para guru kita. Alasan ini disebabkan satu fakta bahwa kita tidak bisa langsung mengatakan bahwa “ini kata Nabi”, tanpa ada riwayat. Karena semua yang dari Nabi sampai ke generasi umat Islam sekarang itu melalu riwayat, atu dengan kata lain ada yang meriwayatkan.

Misalnya, kita ambil contohnya tentang Imam Bukhari. Imam Bukhari itu siapa? Beliau itu jalurnya adalah muridnya Imam Syafi’i. Karena Imam Bukhari itu periodenya setelah Imam Syafi’i. Kemudian sampai seterusnya Imam Bukhari mendapatkan sanad-sanad yang meriwayatkan Hadis, hingga ke Rasulullah SAW. Dan jalur setelah Imam Bukhari ke masa sekarang dipastikan tentu melalui para ulama. Dari sini tentu menjadi suatu keniscayaan bagi kita untuk menyebut para ulama.

Analogi sederhananya begini. Kalau ada orang bertanya dari mana tahu tentang Amerika. Lalu dijawab dari Televisi dari Internet. Jika konteks informasi mereka bisa tahu dari Televisi atau internet sebagai sanad pengetahuan, bagaimana mungkin kemudian sekaliber Imam Syafi’i tidak mau atau dianggap diperlu dijadikan sanad. Misalkan juga ada tersangka ketua DPR, menjadi tersangka korupsi. Tahu soal informasi ini dari Televisi. Ini bisa dianggap menerima informasi Televisi sebagai sanad. Lalu kalau tentang Nabi, ada yang menganggap tak perlu sanad ulama yang meriwayatkannya. Bagaimana mungkin ini bisa diterima. Tentu perlu adanya jalur sanad para ulama yang berperan di sini dalam meriwayatkan.

Sebagaimana kita tahu satu prinsip dalam belajar: “Laulal Murabbi Ma ‘Araftu Rabbi”, artinya; “Andai bukan karena guruku, aku tak akan mengenal Tuhanku.” Jelas sekali di sini, bahwa kita mengenal Tuhan itu sebab ada yang mengajari. Kita tidak mungkin mengetahui Tuhan secara langsung, tanpa ada guru yang mengenalkannya. Lalu guru yang mengajari kita itu dari gurunya, lalu diurut lagi dari gurunya, sampai kepada Rasulullah SAW.

Misalkan pengetahuan perihal Nabi itu dari saya (Gus Baha), lalu bersambung ke guru saya Mbah Maemun, lalau beliau dari Mbah Zubair. Mbah Zubair itu muridnya KH. Faqih Maskumambang yang berguru kepada Syaikh Mahfudz Termas. Kita tahu bahwa Syaikh Mahfudz Termas itu muridnya Sayyid Abu Bakar Syatho, pengarang Kitab I’anatut Tholibin. Beliau juga merupakan muridnya Sayyid Zaini Dahlan yang berguru kepada Syaikh Usman Ad-Dimyati, terus bersambung sampai Imam Syafi’i. Dari sini, Imam Syafi’I jelas merupakan muridnya Imam Malik, dan Imam Malik berguru kepada Ibnu Shihab Az-Zuhri yang juga merupakan muridnya Imam Nafi’. Lalu Imam Nafi’ berguru kepada Abdullah Ibnu Umar yang merupakan Sahabat Rasulullah SAW, yang secara langsung bertemu dan belajar.

Dengan demikian jelas sudah bahwa sanad ini perlu ditegaskan betapa pentingnya untuk menjaga keabsahan ajaran Islam. Sebab Islam datang dan dibawa oleh Rasulullah SAW. Bagaimana mungkin orang mengambil ajaran Islam tidak dari beliau. Dan bagaimana mungkin orang mengenal Rasulullah SAW tanpa ada jalur sanad yang jelas, yang sampai kepada beliau. []


Sumber: Tulisan ini merupakan catatan yang diolah dan dikembangkan dari pengajian Gus Baha. Tim redaksi bertanggungjawab sepenuhnya atas uraian dan narasi di dalam tulisan ini.

___________

Penulis: Athallah Hareldi

Editor: Hakim