Madrasah Diniyah adalah Lembaga Pendidikan yang Mengkaji Agama dari Berbagai Sudut Pandang dan Pende

 
Madrasah Diniyah adalah Lembaga Pendidikan yang Mengkaji Agama dari Berbagai Sudut Pandang dan Pende

Diniyah


Kata diniyah berasal dari Bahasa arab yang berarti keagamaan, dari akar kata din yang memiliki arti; pasrah, tunduk, patuh, tingkah laku, kebiasaan, kepercayaan, tauhid, ibadah. Umumnya kata din bermakna agama. Kata din dalam al-qur’an diulang sebanyak 101 kali, dan memiliki makna yang bermacam-macam. Menurut Harun Nasution, paling tidak ada empat unsur yang terkandung dalam agama yaitu; percaya terhadap keagungan hal gaib, dengan percaya terhadap yang gaib manusia akan bahagia dunia akhirat, rasa takut terhadap hal gaib, dan menyakini kesucian hal gaib. Menurut Atho Mudhar istilah “agama” dan “keagamaan” memiliki pemahaman yang berbeda. Kajian agama Islam adalah kajian yang membahas agama Islam itu sendiri, sedangkan kajian keagamaan Islam meliputi seluruh kajian yang berhubungan dengan Islam, dan dapat didekati dari berbagai aspek.

Penjelasan di atas, menunjukkan bahwa pengertian diniyah adalah pembahasan tentang keagamaan dari berbagai aspek. Kata diniyah dalam tradisi Indonesia, umumnya bersandingan dengan istilah madrasah. Kata “madrasah” juga berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat belajar. Kata “madrasah” berasal dari akar kata “darasa” (telah belajar). Jadi pengertian madrasah diniyah adalah tempat (lembaga pendidikan) yang mengkaji agama dari berbagai sudut pandang atau pendekatan.

Pergeseran makna diniyah sebagai lembaga pendidikan, akan terus berubah, seiring dengan perkembangan pendidikan keagamaan yang ada di Indonesia. Pada awalnya pendidikan diniyah di Indonesia hanya dikenal pada lembaga pendidikan Pondok Pesantren, kemudian berkembang, dengan lahirnya madrasah, PTAI (Perguruan Tinggi Agama Islam), Madrasah Diniyah dan seterusnya. 

Masa Awal

Pendidikan keagamaan dalam tradisi Islam memiliki model yang beragam, terlebih setelah umat Islam yang hampir ada diseluruh penjuru dunia. Pendidikan keagamaan Islam memiliki pola yang berbeda-beda, baik pendidikan yang ada di berbagai wilayah. Model dan kurikulum pendidikan keagamaan yang berada di Arab Saudi, bisa jadi berbeda dengan yang ada di Iran, Turki, Mesir, Maroko, Tunis atau wilayahwilayah yang lainnya, termasuk di Indonesia.

Madrasah telah muncul sebagai lembaga Pendidikan di dunia sejak abad 11 M dan telah tumbuh berkembang pada masa kejayaan Islam. Di antaranya yang terkenal adalah Madrasah yang dibangun oleh perdana menteri Nizham Al-Mulk, yang populer dengan nama Madrasah Nizhamiyah. Pendirian Madrasah ini telah memperkaya khasana lembaga pendidikan di lingkungan masyarakat Islam, karena pada masa sebelumnya masyarakat Islam hanya mengenal pendidikan tradisional yang diselenggarakan di masjid-masjid, pada saat itu Islam telah berkembang secara luas dalam berbagai macam ilmu pengetahuan, dengan berbagai macam aliran atau madzab dan pemikirannya. Pembidangan ilmu pengetahuan tersebut bukan hanya meliputi ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Alqur’an dan Hadis, tetapi juga bidang-bidang filsafat, astronomi, kedokteran, matematika dan ilmu kemasyarakatan. Lahirnya Madrasah di dunia Islam pada dasarnya merupakan usaha pengembangan dan penyempurnaan zawiyah-zawiyah dalam rangka menampung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan jumlah pelajar yang semakin meningkat. 

Pada abad ke 14 Ibnu Batuta pernah menjadi guru hadis di lembaga pendidikan Al-Mansur di Baghdad. Pada masa Al-Maghrizi di mushalla ‘Amr dibuka 8 kelas dalam bidang ilmu fiqih. Pada abad ke 14 di Al-Azhar, banyak lembaga pendidikan madrasah didirikan diantaranya di mushalla Al-Hakim. Madrasah Naysabur adalah lembaga pendidikan yang memfokuskan pada kajian fiqh Syafii. Salahuddin adalah raja yang pertama kali memperkenalkan madrasah di Yerussalem. Beliau telah mendirikan 31 madrasah yang khusus kajian ilmu yang berkaitan dengan alqur’an dan al-hadist. Perkembangan lembaga pendidikan madrasah di wilayah Spanyol, Persia, dan Tunisia tergolong sangat banyak, di antaranya madrasah al-Ma’rad, al-Saffarin, al-Halfa’iyyah, dan sebagainya.

Pada perkembangan berikutnya yang dipelopori oleh Dahhâk bin Muzâhim berkembang pendidikan ke arah yang lebih sistematik, dan ditambahkan disiplin pengetahuan yang lain. Pada waktu itu murid beliau mencapai 3.000 siswa.

Pembelajaran di Madrasah yang paling utama adalah kajian al-qur’an dan al-hadist, dengan dukungan bahasa Arab, serta kajian kajian yang lain, di ataranya, ilmu yang berkaitan dengan al-qur’an (tafsir, dan qira’ah al-sabah), ilmu yang berkaitan dengan hadits (al-nasikh al-mansukh, dan musthalah hadits), kajian teologi, filsafat, fiqh, tasawuf, faraid. Ilmui-lmu tersebut tergolong dalam ulum naqliyah yang termaktub dalam Mukaddimanya Ibn Khaldun. Sedangkan yang tergolong ulum aqkliyyah, yaitu; mantiq, aritmatika, geometri, astronomi, musik, tarbiyyah, kedokteran, falaq, dan lain lain. Tradisi keilmuan di madrasah dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, aspek transformasi madrasah. Dilihat dari sisi keilmuan, ilmu yang diajarkan di madrasah masih merupakan kelanjutan dari yang diselenggarakan di masjid. Kedua, aspek aliran agama. Madrasah merupakan lembaga sunni atau aliran fiqh dan hadits dan madrasah menolak filsafat dan mantiq Yunani karena mantiq merupakan pintu menuju filsafat dan kesesatan. Hal ini mengakibatkan madrasah kurang memperhatikan ilmu-ilmu yang berbasis logika dan filsafat kuat seperti ilmu kimia, fisika, kedokteran dll. Apalagi metode yang dominan di madrasah adalah iqra’ (ceramah) dan imla’ (dikte) sehingga lebih merangsang budaya menghafal dari pada memahmi. Ketiga, Aspek politik pemerintah.

Masa Perkembangan

Lembaga pendidikan Islam di Indonesia telah muncul dan berkembang seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Lembaga pendidikan Islam telah mengalami perkembangan jenjang dari jenisnya. Seirama dengan perkembangan bangsa Indonesia sejak masa kesultanan, masa penjajahan dan masa kemerdekaan. Perkembangan tersebut telah mengubah pendidikan dari bentuk tradisional menjadi lembaga pendidikan formal dengan landasan pendidikan nasional seperti Madrasah yang saat ini kita kenal bersama, Madrasah merupakan fenomena

modern yang muncul pada awal abad ke- 20 dengan sebutan mengaca kepada lembaga pendidikan yang memberikan pelajaran agama Islam tingkat dasar, menenga, dan atas. Perkembangan lembaga pendidikan Islam merupakan reaksi terhadap faktor-faktor yang berkembang dari luar lembaga pendidikan yang secara taradisional sudah ada, terutama sejak munculnya pendidikan modern. Dengan kata lain perkembangan Madrasah adalah hasil tarik menarik antara pesantren sebagai lembaga pendidikan asli yang sudah ada dengan pendidikan modern. Madrasah merupakan perkembangan lebih lanjut dari pesantren, suatu lembaga pendidikan keagamaan yang konon bentuknya sudah dikenal penduduk nusantara sejak zaman hindu budha, di masa lalu pesantren hanya mengajarkan pengetahuan agama.

Dengan perkembangan yang sangat pesat, dalam hal ini pendidikan di Madrasah sudah seharusnya menjadi perioritas dalam mencerdaskan pengembangan pengetahuan, dan mampu menghadapi tantangan zaman dan bangsa. Madrasah merupakan hasil perkembanan modern dari pendidikan pesantren. Menurut sejarah bahwa sebelum Belanda menjajah Indonesia, lembaga pendidikan Islam yang ada adalah pesantren yang memusatkan kegiatannya untuk mendidik siswanya untuk mendalami ilmu agama. Ketika Belanda membutuhkan tenaga terampil untuk membantu administrasi pemerintah jajahannya di Indonesia, maka diperkenalkannya jenis-jenis pendidikan yang berorientasi pada pekerjaan. Proklamasi Kemerdekaan pada tahun 1945 ternyata melahirkan kebutuhan banyak tenaga pendidik yang terampil untuk menangani administrasi pemerintah dan untuk membangun negara dan bangsa. Untuk mengimbangi kemajuan zaman, di kalangan umat Islam, timbul keinginan untuk memodernkan lembaga pendidikan mereka dengan pendidikan Madrasah. Perbedaan Madrasah dengan pesantren terletak pada sistem pendidikannya. Madrasah menganut sistem pendidikan formal dengan pemberian ujian yang terjadwal dan segala proses belajar seperti halnya sekolah. Sedangkan pesantren dengan kurikulum yang sangat bersifat lokal, pemberian pembelajaran tidak seragam, sering tidak ujian untuk mengetahui keberhaasilan siswa.

Dengan demikian kehadiran Madrasah dalam perkembangannya penuh dinamika yang sangat kompleks. Pendidikan Islam setidaknya mempunyai latar belakang: 

  1. Sebagai manifestasi dan realisasi pembaharuan sistem pendidikan Islam.
  2. Usaha penyempurnaan terhadap sistem pendidikan pesantren ke arah suatu sistem pendidikan yang lebih memungkinkan untuk menempuh jenjang yang lebih tinggi.
  3. Sebagai upaya menjembatani antara sistem pendidikan tradisional yang dilakukan pesantren dengan sistem pendidikan modern.

Menulusuri sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, Madrasah ternyata tidak dapat dipisahkan dari perkembagan masyarakat atau tegasnya seluruh kehidupan masyarakat. Di antara aspek yang menonjol dalam mempengharuhi perkembangan Madrasah itu sejak klasik ialah aspek politik dan pemikiran. Hanon mengatakan bahwa Madrasah pada permulaan perkembangannya merupakan lembanga pendidikan yang mandiri (swadana dan swakelola), tanpa bimbingan dan bantuan materil dari pemerintah. Kini Madrasah di Indonesia sudah mendapatkan perhatian pemerintah dan ditetapkan sebagai model sumber pendidikan nasional. Selanjutnya seiring dengan perkembangan zaman dan peta politik bangsa, Madrasah dengan berbagai kebijakan pemerintah semakin mendapat pengakuan dan menempati posisi yang strategis karena peranannya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa (cerdas intelektual cerdas emosional dan cedas spiritual) terasa semakin dibutuhkan.

Madrasah Diniyah adalah salah satu lembaga pendidikan keagamaan pada jalur luar sekolah yang diharapkan mampu secara menerus memberikan pendidikan agama Islam kepada anak didik yang tidak terpenuhi pada jalur sekolah yang diberikan melalui sistem klasikal serta menerapkan jenjang pendidikan yaitu: Madrasah Diniyah Awaliyah, dalam menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat dasar selama selama 4 tahun dan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu; Madrasah Diniyah Wustho menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah pertama sebagai pengembangan pengetahuan yang diperoleh pada Madrasah Diniyah Awaliyah, masa belajar selama selama 2 (dua) tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam pelajaran seminggu; dan Madrasah Diniyah Ulya, dalam menyelenggarakan pendidikan agama Islam tingkat menengah atas dengan melanjutkan dan mengembangkan pendidikan Madrasah Diniyah Wustho, masa belajar 2 (dua) tahun dengan jumlah jam belajar 18 jam per minggu.

Dalam perkembangan berikutnya, pendidikan di Madrasah ini juga beradaptasi dengan perkembangan zaman dan mengambil bentuk-bentuk lembaga pendidikan modern. Hal ini diperkuat dengan di undangkannya UU Sistem Pendidikan Nasional yang ditindaklanjuti dengan disyahkannya PP No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan memang menjadi babak baru bagi dunia pendidikan agama dan keagamaan di Indonesia, diakuinya adanya sekolah umum yang berciri khas keagamaan yang merupakan pengakuan atas keberadaan Madrasah dan sekolah Islam. Karena itu berarti negara telah menyadari keanekaragaman model dan bentuk pendidikan yang ada di Indonesia. 

Keberadaan peraturan perundangan tersebut telah menjadi ”tongkat penopang” bagi Madrasah Diniyah. Karena selama ini, penyelenggaraan pendidikan diniyah ini tidak banyak diketahui bagaimana pola pengelolaannya. Tapi karakteristiknya yang khas menjadikan pendidikan ini layak untuk dimunculkan dan dipertahankan eksistensinya.

Sebagian Madrasah Diniyah khususnya yang didirikan oleh organisasi-organisasi Islam, memakai nama Sekolah Islam, Islamic School, Norma Islam dan sebagainya. Setelah Indonesia merdeka dan berdiri Departemen Agama yang tugas utamanya mengurusi pelayanan keagamaan termasuk pembinaan lembaga-lembaga pendidikan agama, maka penyelenggaraan Madrasah Diniyah mendapat bimbingan dan bantuan Departemen Agama. Dalam perkembangannya, Madrasah Diniyah yang di dalamnya terdapat sejumlah mata pelajaran umum disebut Madrasah lbtidaiyah.

Jenis Pendidikan Diniyah

Pendidikan Diniyah (keagamaan) di Indonesia ada beberapa macam, seperti; majlis ta’lim, pondok pesantren, madrasah, madrasah diniyah, perguruan tinggi dan univesitas di bawah naungan Kementrian Agama. Model pendidikan diniyah dilihat dari diakuinya ijazah (syahadah) oleh pemerintah dapat dibagi menjadi dua. 

Pendidikan Keagamaan formal

Pendidikan Keagamaan Formal adalah lembaga pendidikan keagamaan yang legalitas ijazahnya diakui oleh pemerintah Indonesia. Model pendidikan ini, terdapat dua macam yaitu; Pendidikan Keagamaan yang kurikulumnya diatur oleh pemerintah dan Pendidikan Keagamaan yang kurikulumnya diatur sendiri. 

  1. Pendidikan Keagamaan yang kurikulumnya diatur pemerintah • Madrasah (Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah) • Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI) • Univesitas Islam (UI)
  2. Pendidikan Keagamaan yang kurikulumnya diatur sendiri • Pondok Pesantren Mu’adalah (disamakan) • Ma’had ‘Ali • Madrasah Diniyah

Pendidikan Keagamaan non formal

Pendidikan Keagamaan non-Formal adalah lembaga pendidikan keagamaan yang legalitas ijazahnya tidak diakui oleh pemerintah Indonesia. Keterangan lebih lanjut mengenai Pendidikan Keagamaan Non Formal telah dijelaskan secara rinci dalam PP no. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan keagamaan pasal 22 yaitu bahwa “Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab, Majelis Taklim, Pendidikan alQur’an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang sejenis. Pendidikan diniyah nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk satuan pendidikan. Pendidikan diniyah nonformal yang berkembang menjadi satuan pendidikan wajib mendapatkan izin dari kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota setelah memenuhi ketentuan tentang persyaratan pendirian satuan pendidikan”, seperti;

  • Pondok Pesantren
  • Majlis Ta’lim
  • Madrasah Diniyah Takmiliyah.

Titik singgung Diniyah dengan Islam Nusantara

Pendidikan Diniyah, kususnya pesantren di Indonesia memiliki keunikan dari berbagai hal. Perkembangan tradisi keilmuan dan pengetahuan Islam Nusantara tidak bisa dilepaskan dari sejarah perkembangan pensantren. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa karya sarjana, yang konsen terhadap perkembangan keilmuan dan pengetahuan Islam Nusantara.

Pesantren bukan hanya sebagai pusat lembaga pendidikan yang konsen dalam mengkaji pengetahuan keagamaan (diniyah), tetapi juga menjadi sumber pemahaman keagamaan masyarakat sekitarnya. Hubungan timbal balik antara pesantren dan masyarakat lambat laun tidak bisa dipisahkan dan saling mempengarugi. Atas dasar ini, pesantren merupakan bagian dari budaya setempat.

Kesimpulan

Diniyah (keagamaan) dalam tradisi pendidikan Islam memiliki pemahaman yang luas, disebabkan seluruh pendidikan yang telah berkembang sekarang dapat dihubungkan dengan agama. Universitas Islam Negeri Jakarta program pasca sarjana misalnya, telah membuka studi Islam. Ia menyakini bahwa ajaran agama dapat dilihat dari berbagai aspek, termasuk dalam bidang pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan diniyah mengalami kemajuan yang luar biasa, yang awalnya hanya mengkaji permasaalan ibadah saja. [Ayatullah]

Sumber Bacaan​

M. Dian Nafi’ dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, Sa’dullah Affandy, Menyoal Status Agama-Agama Pra Islam (Bandung: Mizan, 2015). Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta: UI Press, 2001), Jilid 1, 3. H.M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) Haidar Putra Dauly, Pendidikkan Islam dalam System Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta; Pranada Media, 2004), Hasbullah, Sejarah Pendidikkan Islam Lintas Sejarah Perubahan dan Perkembangan, (Jakarta; LKiS, 2004), Akmal Hawi, Otonomi Pendidikan dan Eksistensi Madrasah, Jurnal Madrasah dan Pendidikan Agama Islam Quantum No.1, (Sulsel; MDC, 2006), Abdurrahman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), Ari Furchan, Tranformasi Pendidikan Islam Indonesia, (Bandung: CV. Bumi Aksara, 2005), Departemen Agama, Sejarah Perkembangan Madarsah, (Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998), Asrori S. Karni, Etos Studi Kaum Santri: Wajah Baru Pendidikan Islam (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), H. Amin Haedari, Transformasi Pesantren, (Jakarta: LekDis dan Media Nusantara, 2006), Departemen Agama, Sejarah Perkembangan Madarsah, (Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1998), 30, Himpunan Perundang-Undangan, Standar Nasional Pendidikan, (Bandung: FokusMedia, 2008), 2. Lihat juga Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Affandi Mochtar, Pendidikan Islam; Tradisi Keilmuan dan Modernisasi, (Yogyakarta: Pustaka Isfahan, 2008), Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta: LKiS, 2001),

SUMBER : ENSIKLOPEDI ISLAM NUSANTARA (Edisi Budaya)