Belajar Berdoa dari Syaikh Nawawi Al-Bantani

 
Belajar Berdoa dari Syaikh Nawawi Al-Bantani

LADUNI.ID, Jakarta – Pada zaman dahulu kala, tepatnya di Wilayah Arab, dilanda kekeringan yang teramat panjang. Dalam rangka mengatasi masalah ini, Raja Hijaz mengumpulkan dan membawa para ulama Makkah dan Madinah, mereka meminta berdoa di depan Ka'bah agar segera diturunkan hujan.

Setelah semua sarjana dan para ulama berdoa, hujan tidak turun juga, malah menjadi lebih panas selama beberapa bulan. Membuat penduduk di negeri itu semakin susah.

Dalam kekalutanya Raja Hijaz tiba-tiba teringat akan seorang sarjana yang tidak diundang untuk berdoa. Kemudian Sang Raja memerintahkan bawahanya untuk memanggil sarjana tersebut.

Sang sarjana diberitahu bahwa penampilan cendekiawan itu pendek, kecil dan kulitnya hitam. Cendekiawan itu adalah Syekh Nawawi bin Umar Tanara al-Bantani al-Jawi. Ia adalah seorang ahli bahasa Arab dan memiliki karya lebih dari 40 judul, semuanya berbahasa Arab.

Setelah, ulama asal dusun Tanara, Tirtayasa, Banten tersebut berangkat berdoa meminta hujan kepada Allah SWT di depan Ka’bah. Anehnya, meski Syaikh Nawawi Banten mampu berbahasa Arab dengan fasih, di depan Ka’bah beliau berdoa meminta hujan dengan memakai bahasa Jawa.

Para ulama Makkah dan Madinah yang berdiri di belakangnya menengadahkan tangan sambil berkata “aamiin”.

Mbah Nawawi berdoa: “Ya Allah, sampun dangu mboten jawah, kawulo nyuwun jawah.”

Seketika itu juga mendung datang dan kemudian hujan turun dengan lebat. Semua yang menyaksikan kejadian itu pun heran. Ada beberapa orang bertanya, bahasa apa yang telah digunakan syaikh Nawawi berdoa, karena mereka tidak pernah mendengar bahasa itu sedangkan sebelumnya para ulama dan sarjana Negeri itu telah berdoa dengan menggunakan bahasa Arab yang fasih namun tidak mujarab, sedangkan dengan bahasa Jawa malah justru ampuh.

Pelajaran

Dari peristiwa ini bisa diambil pelajaran bahwa, yang menentukan mujarabnya doa adalah kualitas individu seseorang, bukan bahasa yang digunakan.  Karena Allah Maha Mengetahui, walau hanya sekedar bahasa daerah. Tak perlu susah payah mencari yang samar keberadaannya..

Mengenai doa dengan bahasa daerah, KH. Idris Marzuqi Lirboyo pernah dawuh:

Kowe ki nek nompo dungo-dungo Jowo seko kiai sing mantep. Kae kiai-kiai ora ngarang dewe. Kiai-kiai kae nompo dungo-dungo Jowo seko wali-wali jaman mbiyen. Wali ora ngarang dewe kok. Wali nompo ijazah dungo Jowo seko Nabi Khidlir. Nabi Khidlir yen ketemu wali Jowo ngijazahi dungo nganggo boso Jowo. Ketemu wali Meduro nganggo boso Meduro.

(Kamu jika mendapat doa-doa Jawa dari kiai yang mantap, jangan ragu. Kiai-kiai itu tidak mengarang sendiri. Mereka mendapat doa Jawa dari wali-wali jaman dahulu. Wali itu mendapat ijazah doa dari Nabi Khidlir. Nabi Khidlir jika bertemu wali Jawa memberi ijazah doa memakai bahasa Jawa. Jika bertemu wali Madura menggunakan bahasa Madura).

(Sufi Alas)