Kebiasaan Luhur Etnis Tionghoa di Indonesia

 
Kebiasaan Luhur Etnis Tionghoa di Indonesia

LADUNI.ID, Jakarta - Dari mana orang Tionghoa di Indonesia mendapatkan dana operasional bagi keberlangsungan beragam aktifitas sosial mereka? Sekolah, universitas (seperti Universitas Diponegoro), rumah sakit (sepert R.S. Husada dan Sumber Waras), rumah ibadah dan berbagai kegiatan sosial lainnya, yang tentu saja diperlukan biaya teramat besar.

Masyarakat Tionghoa memiliki paguyuban-paguyuban yang menghimpun dana dari para anggotanya. Sehingga, urusan sumbang-menyumbang, mereka sulit dicari tandingannya.

Tidak habis pikir kita, bagaimana mereka menyisihkan uang demi terwujudnya Universitas Diponegoro? Bagaimana mereka mengajar ribuan mahasiswa, tanpa mau dibayar? Bagaimana mereka membangun R.S Husada (Jang Seng IE)? Bagaimana para dokter dan perawatnya, bekerja secara cuma-cuma, demi kesembuhan puluhan ribu pasien tak mampu? Dan banyak lagi contoh lainnya.

Adakah dana tersebut hanya berasal dari orang-orang kaya raya? Tentu tidak!

Baca juga: Kisah Unik Peranakan Tionghoa Naik Haji

Saya mendapatkan keterangan sangat berarti bagaimana orang yang sangat kaya, yaitu pemilik balsem Cap Macan, Auw Boen Hauw, harus merayu Dr Kwa Tjoan Sioe, sebagai pendiri R.S Jang Seng Ie (Husada) agar mau menerima sumbangan darinya.

Dr Kwa, mulanya menolak, tapi akhirnya setuju, ketika Auw Boen Hauw memberikan pandangan bahwa dengan menerima sumbangannya, maka Dr Kwa dapat membangun paviliun, agar orang kaya dapat datang dan mau berobat di rumah sakitnya. Lalu uang biaya pengobatan dari orang-orang kaya tersebut dapat dipakai untuk mengobati lebih banyak lagi orang-orang miskin. Luar biasa, bukan?

Masyarakat Tionghoa memiliki paguyuban-paguyuban yang menghimpun dana dari para anggotanya. Sehingga, urusan sumbang-menyumbang, mereka sulit dicari tandingannya.

Penjelasan ini merupakan informasi yang disampaikan langsung kepada saya, oleh Ibu Myra Sidharta, tokoh senior peneliti Peranakan Tionghoa di Indonesia. Keterangan ini juga diperkuat oleh keterangan dari buku karangan Prof Leo Suryadinata, Prominent Indonesian Chinese.

Baca juga: Saat Inpres Soeharto Soal Etnis Tionghoa Dianulir Gus Dur

Adapun sumbangannya, tidak hanya secara kolektif tapi juga menjadi kebiasaan masing-masin pribadi. Dari sana lah dana terkumpul dan disalurkan untuk berbagai aktivitas sosial.

Dua contoh yang dapat kita temukan dan simpan, adalah:

1. "Undangan Pesta  Perkawinan", yang dimuat dalam Harian Pos Indonesia, 28 Februari 1960.

Tertulis di sana:

Antaran sangat kami harapkan supaya diberikan dalam bentuk uang saja, karena maksud kami akan diserahkan seluruhnya (seluruhnya!, saya), bersama dengan biaya perayaan yang kami hematkan (hematkan!, saya), kepada:
Palang Merah Indonesia Cabang Jakarta
RS. Jang Seng Ie
RS. Sin Ming Hui

Baca juga: Kalender Arab, Tionghoa, dan Jawa

2. "Foto Perayaan Pernikahan antara Miss Tjwa Kiem Hwa dengan Tuan Tjeng Ho Seng" dalam halaman foto majala Star Magazine, 15 Februari 1941.

Di sana terdapat keterangan: Sumbangan 555 Gulden didermakan pada Tjin Tjai Hwee (75%) dan THHK (25%).

Jejak karya sosial masyarakat Tionghoa di Indonesia, menembus sekat-sekat suku, agama, ras dan golongan sosial. Inilah implementasi dari tindakan anti-SARA yang sesungguhnya.

Indonesia memang luar biasa!


Sumber: Koleksi Museum Pustaka Peranakan Tionghoa