Melestarikan Pola Pikir dan Pola Hidup Ahli Sunah wal Jamaah an-Nahdliyah

 
Melestarikan Pola Pikir dan Pola Hidup Ahli Sunah wal Jamaah an-Nahdliyah

LADUNI.ID, Jakarta - Kasus terbunuhnya 6 laskar FPI menimbulkan perselisihan dan isu aktual di Indonesia. FPI menuduh POLRI sengaja menyerang untuk membunuh muslim yang tidak bersalah, sementara Polri mengaku diserang oleh laskar FPI sehingga harus menyelamatkan nyawa sesuai dengan prosedur. Bagaimana Anda menyikapinya?

Kembalilah pada pola pikir dan tata cara serta aturan yang diajarkan oleh Islam dalam Al-Quran yang selama ini diterapkan oleh Ahli Sunah wal Jamaah An-Nahdliyah, demi menjaga Indonesia tetap aman, nyaman, dan damai.

Apa perbedaan antara cara berpikir Ahli Sunah wal Jamaah An-Nahdliyah dengan gerakan Islam lain dalam penegakan hukum dan syariat?

Salah satu ciri khas yang sangat prinsip ahli Sunah wal Jamaah An-Nahdliyah adalah pola berpikir dan pola hidup yang berusaha menjaga diri dalam kondisi tawasuth (tengah), tawazun (imbang), dan tasamuh (toleran). Termasuk dalam penegakan hukum dan syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka tidak akan mudah membuat kesimpulan dalam kasus apapun tanpa melalui proses pembuktian dan kesaksian atau pengakuan pelaku. Apalagi kalau sudah menyangkut hukum pidana yang menyangkut hak adam (hak asasi manusia), maka bukti, saksi, dan pengakuan pelaku adalah pertimbangan kunci dalam pengambilan keputusan penegakan hukum dan syariat.

Hal ini sebagaimana diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, penegakan hukum dan syariat harus berbasis bukti dan saksi atau pengakuan pelaku yang dibuktikan melalui proses penegakan hukum di pengadilan. Dalam kasus pembunuhan menurut syariat islam ada kalanya: 1) pembunuhan muta’mmidan (sengaja); 2) syibhu amdin (semi sengaja); dan 3) duna ‘amdin (tidak sengaja).

Dalam kasus FPI dan Polri, masuk kategori yang mana dari ketiganya? Berdasar syariat Islam diwajibkan adanya bukti dan saksi dalam pengadilan. Contoh  lain seperti penegakan syariat Islam terkait kasus menuduh orang berzina misalnya, maka penuduh harus mampu menghadirkan 4 orang saksi atau pezina mengakui perbuatannya. Jika penuduh tidak mampu menghadirkan 4 orang saksi dan tertuduh tidak mengakui perbuatan zinanya, maka penuduh dianggap qodlaf dan justru mendapat hukuman yang hampir sama dengan pezina.

Demikian juga dengan kasus pembunuhan dalam syariat Islam harus dibuktikan melalui bukti dan saksi untuk memastikan apakah pembunuhan itu disengaja, semi sengaja, tidak sengaja, atau menyelamatkan nyawa. Bahkan kasus menuduh pencurianpun ada nishab yang disertai bukti, dan saksi. Karenanya, dalam kasus penegakan hukum dan syariat, Ahli Sunah wal Jamaah an-Nahdliyah mempercayakan kepada hasil penyidikan dan penyelidikan di pengadilan sebagai upaya penegakan hukum dan syariat secara adil.

Praduga tak bersalah menjadi prinsip utama dalam penegakan hukum dan syariat yang dipegang oleh Ahli Sunah wal Jamaah an-Nahdliyah. Selebihnya dari hasil pengadilan dunia, Ahli Sunah wal Jamaah percaya pada pengadilan Allah Yang Maha Adil, yang menjadi hak mutlak Allah Yang Maha Tahu, dan yang berada di luar jangkauan pengadilan manusia di dunia. Manusia bisa lari dari pengadilan manusia dengan memberikan bukti palsu, kesaksian bohong, dan pengakuan licik pelaku, tapi mereka tidak akan bisa lari dari pengadilan Allah. Yang berada di luar jangkauan pengadilan manusia ini, cukup serahkan saja kepada Allah SWT. Percayalah bahwa Allah Maha Adil. Tidak di dunia ini, ya di akhirat nanti pasti akan mendapat keadilan dari-Nya. Allah berfirman:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّايَرَهُ

Artinya: “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (Q.S. Az-Zalzalah: 7).

Sebaliknya, cara berpikir kelompok Islam yang lain, lebih tepatnya jalan penegakan hukum dan syariat yang selama ini ditegakkan oleh kelompok Islam garis keras seperti DI-TII, Al-Qaidah, ISIS, Khawarij, Mu’tazilah, dan saya melihat di Indonesia termasuk kelompok ex HTI dan FPI, mereka lebih mengedepankan pada prasangka, persepsi, dan opini dalam menyikapi fakta dan fenomena sosial dibanding penegakan bukti dan saksi di pengadilan negara. Mereka kehilangan kepercayaan pada pengadilan manusia yang ditegakkan oleh pengadilan negara atau oleh pemerintah yang sah, karena mereka meyakini bahwa pengadilan dunia yang ditegakkan oleh manusia tidak lagi mampu berbuat adil kepada mereka.

Prasangka buruk, ketidakpercayaan pada pemerintah yang sah, dan pesimistis terhadap penegakan hukum dunia, lebih menguasai keyakinan mereka dibanding pembuktian di pengadilan negara atau pengadilan dunia manapun. Padahal Allah telah mengingatkan kita semua bahwa yang namanya prasangka/ opini/ persepsi itu tidak cukup membuktikan kebenaran hakiki. Allah SWT berfirman:

‎وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ

Artinya: “Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan (prasangka/opini/persepsi). Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikit pun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. Yūnus: 36)

Allahu a’lamu bis showab. Ihdinas shirothol mustaqim. Amin...

Jadi, dalam kasus perselisihan antara FPI dan Polri dalam insiden terbunuhnya 6 laskar FPI, Anda termasuk pengikut pola pikir yang mana: Ahli Sunah wal Jamaah atau Islam lain?

***

Penulis: Luluk Farida
Editor: Muhammad Mihrob