Sejarah Dayah: Pusat Awal Pendidikan Islam di Nusantara

 
Sejarah Dayah: Pusat Awal Pendidikan Islam di Nusantara
Sumber Gambar: ace.wikipedia.org

LADUNI.ID, Aceh - Dayah adalah lembaga pendidikan tertua di Aceh yang mempunyai peranan penting dalam proses tumbuh dan berkembangnya pendidikan Islam di Nusantara. Pendidikan dayah berorientasi pada kajian tafaqquh fid din (pemahaman ilmu agama Islam) serta sebagai benteng i’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah Asy-syafi'iyyah serta bervisi mencetak kader-kader ulama yang mufaqqih fiddin, mendakwahkan dan menyebarkan agama Islam, menjadi benteng pertahanan umat dalam bidang akidah dan akhlak, melahirkan sosok muslim yang memiliki keterampilan dan keahlian membangun kehidupan yang Islami dan meningkatkan pengembangan masyarakat di berbagai sektor.

Di luar Aceh, lembaga pendidikan Islam seperti Dayah dikenal dengan berbagai sebutan dan sebutan yang paling umum dikenal adalah Pondok Pesantren atau Ma'had. Secara bahasa, kata Dayah berakar dari kata زاوية (zawiyah) yang secara harfiah berarti sudut, mengacu pengajian pada masa Rasulullah yang dilakukan di sudut-sudut Masjid Nabawi. Begitupun di masa-masa setelahnya para ulama sufi membuat halaqah di sudut-sudut Masjid, hingga institusi pendidikan Islam di Afrika Utara pada masa-masa awal penyebaran Islam pun juga disebut Zawiyah. Dalam perkembangannya di Aceh, istilah Zawiyah berubah menjadi Dayah menyesuaikan pengucapan kalimat masyarakat Aceh sama halnya dengan istilah Madrasah di Aceh yang berubah menjadi Meunasah.

Di sinilah letak perbedaan penamaan Dayah dengan Pesantren. Dalam bahasa Sanskerta, kata santri berasal dari kata "cantrik" yang berarti "murid padepokan", atau "murid orang pandai", atau "orang yang selalu mengikuti guru". Sedangkan dayah berakar dari tempat belajar sahabat kepada Nabi SAW, sehingga dapat dipahami bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam di Jawa yang berkembang seiring dengan penyebaran Islam di Tanah Jawa. Sedangkan dayah adalah lembaga pendidikan Islam yang berakar pada sistem pendidikan para salafushshalih.

Keberadaan Dayah sendiri diyakini telah ada sejak awal masuknya agama Islam di Aceh, yakni, pada abad pertama Hijriah. Saat itu para pedagang dan mubaligh yang datang dari Arab berlabuh di daerah pesisir Sumatera. Selain melakukan aktivitas perdagangan, mereka juga aktif menyebarkan agama Islam. Untuk lebih mempercepat proses penyebarannya, maka didirikanlah Dayah yang pada waktu itu berfungsi sebagai media transformasi pendidikan Islam kepada masyarakat Aceh di samping juga untuk menyebarkan agama Islam di seluruh Nusantara.

Para ahli sejarah menyebut Dayah Cot Kala di Langsa yang berdiri di masa Kesultanan Perlak adalah Dayah pertama di Aceh sekaligus pusat pendidikan tinggi Islam pertama di Asia Tenggara. Lembaga ini mendatangkan tenaga-tenaga pengajar dari Arab, Persia dan India dan juga banyak berjasa dalam menyebarkan Islam serta melahirkan ulama dan alumni yang kemudian menjadi pendakwah Islam sampai ke berbagai penjuru Nusantara hingga Malaysia dan Thailand. Namun, sayangnya, bekas Dayah ini akhirnya dibakar oleh penjajah Belanda.

Berdirinya Dayah Cot Kala akhirnya merangsang berdirinya dayah-dayah lain di berbagai wilayah seperti Dayah Kan’an di wilayah Lam Keuneu’eun, Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar, yang didirikan pada abad ketujuh Hijriah oleh Syekh Abdullah Kan’an, penyebar Islam berdarah Palestina. Dakwah dayah juga merangsang lahirnya kerajaan Islam di berbagai daerah seperti Kerajaan Islam Samudera Pasai, Islam Benua, Islam Lingga, Aceh Darussalam, dan Kerajaan Islam Indra Jaya.

Di masa Kesultanan Aceh, Dayah merupakan institusi pendidikan resmi. Struktur kelembagaan dayah di masa Kesultanan Aceh dari yang terendah hingga tertinggi dapat dibagi sebagai berikut.

Pertama, Meunasah atau madrasah yaitu sekolah permulaan yang terdapat di tiap-tiap gampong. Di sana anak-anak diajarkan membaca Al-Qur'an, menulis dan membaca huruf Arab, cara beribadah, akhlak, rukun Islam, dan rukun iman.

Kedua, Rangkang yaitu pondok-pondok yang ada di sekeliling masjid sebagai asrama. Di sana diajarkan fiqih, ibadat, tauhid, tasawuf, sejarah Islam/umum, bahasa Arab. Buku-buku pelajarannya menggunakan tulisan jawi dalam bahasa Melayu dan bahasa Arab.

Ketiga, Dayah terdapat dalam tiap-tiap daerah, tetapi ada juga yang berpusat pada masjid bersama rangkang. Kebanyakannya terdapat terpisah dari lingkungan masjid dan menyediakan sebuah balai utama sebagai aula yang digunakan sebagai tempat belajar dan tempat salat berjamaah. Di dayah, semua pelajaran diajarkan dalam bahasa Arab dan mempergunakan kitab-kitab berbahasa Arab juga. Mata ajarannya terdiri dari ilmu fikih muamalat, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu tatanegara, dan bahasa Arab. Terdapat pula dayah-dayah yang mengajarkan ilmu umum seperti ilmu pertanian, ilmu pertukangan, dan ilmu perniagaan (ekonomi).

Keempat, Dayah Teungku Chik yakni satu tingkat lagi di atas dayah atau bisa merupakan persatuan dayah-dayah dan kadang-kadang disebut juga Dayah Manyang. Dayah ini tidak begitu banyak. Di sana diajarkan mata pelajaran antara lain bahasa Arab, fikih jinayah (hukum pidana), fikih munakahat (hukum perkawinan), fikih duali (hukum tatanegara), sejarah Islam, sejarah negara-negara, ilmu manthiq, tauhid, filsafat, tasawuf/akhlak, ilmu falaq, tafsir, dan hadis.

Kelima, Jami'ah (Universitas). Seperti Jam'iah Baiturrahman yang terdapat di ibukota (Banda Aceh) di dalam komplek Masjid Raya Baiturrahman. Jami'ah Baiturrahman ini mendatangkan 44 guru besar yang sebagian berasal dari Persia dan India. Di sinilah kader-kader ulama dan cendikiawan muslim terkemuka memperoleh pendidikan. Mereka tidak hanya datang dari Sumatera, tetapi juga dari berbagai wilayah lain di Asia Tenggara. Dari sini mereka mulai membentuk jaringan intelektual atau ulama di seluruh dunia, hingga Aceh dikenal sebagai lima negara Islam super power dunia.

Jami'ah Baiturrahman Banda Aceh juga mempunyai bermacam-macam "Daar" atau fakultas. Ada 17 "Daar" yang di-dirikan ketika itu, yakni: (1) Daar al-Tafsir wa al-Hadits (Tafsir dan Hadits), (2) Daar al-Thibb (Kedokteran), (3) Daar al-Kimya (Kimia), (4) Daar al-Taarikh (Sejarah), (5) Daar al-Hisaab (Ilmu Pasti), (6) Daar al-Siyasah (Politik), (7) Daar al-Aqli (Ilmu Akal), (8) Daar al-Zira'ah (Pertanian), (9) Daar al-Ahkaam (Hukum), (10) Daar al-Falsafah (Filsafat), (11) Daar al-Kalaam (Teologi), (12) Daar al-Wizaraah (Ilmu Pemerintahan), (13) Daar Khazaanah Bait al-Maal (Keuangan dan Perbendaharaan Negara), (14) Daar al-Ardhi (Pertambangan), (15) Daar al-Nahwi (Bahasa Arab), (16) Daar al-Mazahib (Ilmu-ilmu Agama), dan (17) Daar al-Harbi (Ilmu Peperangan).

Secara ringkas, hirarki pendidikan Dayah di masa Kesultanan Aceh bermula dari tingkat rendah dan menengah yang dilakukan di rumah atau di meunasah, di ajarkan oleh santri yang sudah tinggi ilmunya (teungku rangkang). Sementara teungku rangkang itu belajar bersama teungku Chik (Ulama Besar/pimpinan Dayah). Sedangkan tingkat tinggi dilakukan dengan mengundang seorang teungku atau ulama untuk mengkaji ilmu keagamaan atau cabang pengetahuan lainnya.

Seiring berjalannya waktu, peran dan fungsi dayah juga berkembang. Dayah tidak lagi sebatas tempat pendidikan keagamaan, tetapi juga menyentuh ranah sosial politik dan menjadi tempat untuk menjaga manuskrip serta kitab-kitab kuno yang langka bahkan menjadi basis-basis pertahanan keamanan rakyat. Hampir semua tokoh perjuangan kemerdekaan di Aceh berasal dari didikan Dayah. Seperti Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Fakinah, Teungku Peukan, Teungku Hasan Krueng Kalee, Teungku Muda Waly, Teungku Daud Bereueh dan lain-lain.

Saat itu sistem pendidikan Dayah telah mampu mendidik rakyat Aceh dalam berbagai hal. Para alumni Dayah banyak menjadi ulama, raja, menteri, panglima tentara, ahli teknologi perkapalan, pertanian, kesehatan, dan lain-lain. Ulama-ulama Aceh terdahulu seperti Syaikh Abdurrauf As-Singkili (Tgk. Syiah Kuala), Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, Syaikh Hamzah Fansuri, Syaikh Syamsuddin As-Sumatrani, dll menjadi poros keilmuan ulama-ulama lainnya di seluruh Nusantara. Tgk. Syiah Kuala adalah orang pertama yang menterjemahkan Alquran kedalam bahasa melayu. Jasa besar ini tentunya sangat bermanfaat dalam proses penyebaran Islam di seluruh Nusantara.

Di masa kini, Dayah di Aceh terbagi menjadi dua bentuk yaitu Dayah Salafi (Dayah Tradisional yang murni mengajar kitab kuning) dan Dayah Modern/Dayah Terpadu (Perpaduan antara pendidikan agama dan pendidikan umum). Saat ini di Aceh tercatat ada sekitar 1000 dayah yang berhasil didata Dirjen Pengembangan Agama Islam Departemen Agama. Dayah-dayah itu tersebar di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh.

Pembelajaran di dayah berbeda dengan sekolah-sekolah pada umumnya. Dayah masih menggunakan model pembelajaran Islam dari masa Rasul, sahabat, tabi’in, tabi’tabi’in, dan seterusnya hingga masa kini dengan model pendidikan talaqqi dan bersanad.

Di Dayah Salafi atau tradisional, ada beberapa kitab standar yang diajarkan, seperti: al-Bajuri, al-Mahalli, Nihayatul Muhtaj, al-Fiqh ‘alal madzhahibil arba’ah dalam bidang ilmu fiqh. Dalam bidang tasawuf Ihya ‘Ulumuddin, dan al-Sanusi dalam teologi. Pembelajaran kitab-kitab ini dilakukan secara berjenjang mulai dari dari tajhizi, kelas 1-7 hingga Bustanul Muhaqqiqin wal Muttaqiqi (pembekalan untuk calon guru atau teungku beut).

Kitab atau mata pelajaran yang diajarkan di Dayah juga didasarkan pada kemampuan guru (teungku beut) di sebuah dayah. Ada dayah yang kemampuan gurunya bisa mengajari para pelajar hingga ke tingkat mata pelajaran atau kitab Tuhfatul Muhtaj, namun ada juga yang hanya sampai hingga di mata pelajaran Fathul Wahab. Adapun mata pelajaran pelengkap seperti Ilmu Manthiq (logika) Ilmu Ushul Fiqh (tata hukum), Balaghah, ‘Aruth dan sebagainya, tidak ada persamaan dalam pegangannya.

Kitab-kitab kuning yang diajarkan di dayah salafi umumnya tidak diajarkan di Dayah Terpadu. Tidak diajarkan bukan berarti tidak adanya tenaga ahli sebagai pengajar, akan tetapi tidak cukup waktu untuk belajar secara intensif seperti di dayah salafi. Namun dalam perkembangannya juga saat ini kelas tinggi setingkat jam'iah di Dayah Salafi maupun Dayah Terpadu di Aceh juga banyak bertransformasi menjadi Ma'had Aly atau Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) bahkan Institut Agama Islam (IAI).

Saat ini istilah dayah memang lebih melekat kepada lembaga pendidikan ulama-ulama Asy'ariyah Asysyafi'iyah. Sebelumnya baik itu dari ulama tradisional atau kaum tua (Asy'ariyyah Asysyafi'iyah) maupun ulama pembaharu (reformis) atau kaum muda menggunakan istilah Dayah dalam institusi pendidikannya. Namun sekarang ulama-ulama kaum muda lebih banyak menggunakan istilah Ponpes (Pondok Pesantren) dan sebagaimnya, dibandingkan istilah dayah.

Dayah saat ini diartikan sebagai lembaga pendidikan Islam yang membedah atau mengkaji kitab ulama-ulama Mazhab Syaf'i. Walau memang umumnya Dayah tidak mengajarkan kitab tulisan Imam Syafi’i sendiri, seperti al-Ūm dan ar-Risālah. Namun hal demikian bukan berarti meninggalkan sumber primer dari kajian fikih Syafi'iyah itu sendiri. Akan tetapi untuk memahami kitab Imam Syafi’i itu sendiri butuh penjelasan dan uraian yang lebih lugas, rinci dan mudah dimengerti.

Penjelasan dan uraian itulah yang dilakukan oleh ulama-ulama sesudahnya yang tetap merujuk pada karya-karya Imam Syafi’i itu sendiri. Inilah menjadi salah satu alasan mengapa kitab-kitab ulama bermazhab Syafi’i seperti kitab Safinanatunnajah, Matan Taqrib, Bajuri, Fathul Mu'in, khilafayatul Awam, Matan Alfiyah, Nurul Yaqin, Tafsir Jalalain, Idhalul Mubham, Mahalli, Sirajuththalibin, Minhatul Mughits, Ihya Ulumuddin, dan lain-lain dijadikan kitab referensi utama di lingkungan Dayah, termasuk pesantren pada umumnya.

Karakteristik dan kekhasan Dayah juga telah membuat hampir setiap orang mengenalnya. Kepercayaan diri dan kebanggaan atas ketradisionalitasannya justru merupakan faktor yang membuat dayah semakin survive, bahkan dianggap sebagai alternatif dalam hegemoni modernisme masyarakat masa kini sesuai adagium fiqhiyah,al-muhafadzah ‘alal qadim ash-shalih wal akhdz bil jadid al-ashlah” (membina budaya-budaya klasik yang baik dan terus menggali budaya-budaya baru yang lebih baik).(*)

***

Penulis: Rozal Nawafil Al Asyi, Pencinta Ulama al-Waratsatul Anbiya, Aktif di Kepengurusan PC Persatuan Tarbiyah Islamiyah Bidang Informasi, Komunikasi dan Penerbitan Aceh Barat Daya, Wakil Ketua Rohis IPDN Kampus Kalimantan Barat, Wakil Ketua PD OPI Aceh.
Editor: Muhammad Mihrob