Gus Nadir: Kiai yang Manajer Bagai Konduktor

 
Gus Nadir: Kiai yang Manajer Bagai Konduktor
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Ini daftar Ketua Umum PBNU sejak awal sampai sekarang yang coba saya urut dari berbagai sumber:

1. KH Hasan Gipo (1926 -1929)

2. KH Achmad Nor (1930-1936)

3. KH Mahfudz Siddiq (1937 - 1944)

4. KH Nachrowi Thohir (1944-1950)

5. KH Wahid Hasyim (1951-1953)

6. KH Masjkur (1953-1956)

7. KH Moh Dahlan (1956-1959)

8. KH Idham Chalid (1959-1984)

9. KH Abdurrahman Wahid (1984-1999)

10. KH Hasyim Muzadi (1999-2010)

11. KH Said Aqil Siraj (2010-2020)

Di NU ada ketidakjelasan relasi antara jama’ah dan jam’iyah yang masih terasa sampai sekarang. Itu akibat belum selesainya konsolidasi organisasi yang dilakukan oleh KH Mahfudz Shiddiq (Ketum PBNU ketiga). Beliau menjadi Ketum PBNU tahun 1937 dalam Muktamar NU di Malang. Saat itu beliau berusia 30 tahun.

Beliau lah motor penggerak organisasi NU yang menata ulang roda organisasi. Sayang beliau wafat pada usia 37 tahun, setelah di penjara Penjajah Jepang tahun 1944.

Kiai Wahid Hasyim diceritakan sering menangis menyesali Kiai Mahfudz yang meninggal muda. “Andaikan beliau masih ada, banyak problem di NU yang bisa diselesaikan,” begitu curhat Kiai Wahid.

Konsolidasi organisasi ini diteruskan oleh Kiai Wahid. Sayang beliau juga wafat masih muda saat berusia 38 tahun. Entah apa maksud tersembunyi Gusti Allah memanggil orang-orang muda terbaik NU.

Kehilangan dua tokoh muda luar biasa ini dampaknya masih terasa sampai sekarang dalam perputaran roda organisasi NU.

Konsolidasi tata-kelola organisasi NU juga terganggu saat NU menjadi partai politik. Untunglah para Kiai segera menyatakan diri kembali ke Khittah NU 1926 dan mulai menjaga jarak secara institusional dengan politik praktis. Muncullah KH Abdurrahman Wahid di tahun 1984 dalam suasana keriuhan antara kubu Cipete dan Situbondo.

Gus Mus termasuk yang tak setuju Gus Dur dipilih kembali sebagai Ketum PBNU untuk kedua kalinya. Kata beliau, Gus Dur itu hebat dalam pemikiran tapi menata ulang organisasi hancur lebur. Gus Dur sebaiknya cukup jadi pendobrak saja satu periode, terus (posisi Ketum PBNU) dikasihkan ke dr Fahmi Saefuddin yang, di mata Gus Mus, bisa menata organisasi dengan baik. Tapi kita tahu, Gus Dur malah terpilih sampai 3 kali.

Problem jama’ah dan jam’iyah akhirnya belum selesai di NU. Kita butuh tokoh yang gak cuma kiai tapi juga paham bagaimana menata ulang roda organisasi NU ini, meneruskan pekerjaan rumah yang tersisa dari Kiai Mahfudz dan Kiai Wahid Hasyim.

100 tahun NU harus diwarnai gabungan dua keahlian dalam tubuh PBNU, kemampuan ilmu agama dan juga kemampuan menata organisasi secara profesional. Kalau cuma manajer saja tanpa menguasai keilmuan klasik, atau cuma Kiai saja tanpa kemampuan manajerial yang baik, hasilnya NU hanya berjalan di tempat.

Kiai yang manajer, tapi juga manajer yang Kiai. Alim, tapi profesional. Dihormati keilmuannya oleh kalangan pondok pesantren, tapi juga mendapat respek kalangan teknokrat dan profesional.

Tentu tidak mudah mencari sosok ideal tersebut. Itu sebabnya ciri kepemimpinan 100 tahun NU, menurut hemat saya, adalah kepemimpinan kolektif. Ketum PBNU ibaratnya seorang konduktor yang mampu menempatkan orang-orang terbaik dan mengatur kinerja dengan sinergis untuk menampilkan sebuah ramuan nada dan irama yang indah.

Mudah untuk dituliskan, namun butuh komitmen bersama untuk mewujudkannya, bukan?

Tabik,

Oleh: Gus Nadirsyah Hosen


Editor: Daniel Simatupang