Hukum Jima’ di Tempat Terbuka

 
Hukum Jima’ di Tempat Terbuka
Sumber Gambar: Ilustrasi/Orami

Laduni.ID, Jakarta – Assalamu’alaikum, mohon izin bertanya, bagaimana hukumnya bila pasangan suami istri melakukan jima’ di kebun atau alam terbuka?

Jawab

Wa’alaikumsalam, penanya yang budiman, menurut mayoritas ulama jima’ di tempat terbuka bagi suami istri hukumnya boleh. Namun dengan ketentuan tidak ada orang lain yang melihat aktivitas tersebut. Imam Nawawi berkata:

قَالَ الْعَبْدَرِيُّ مِنْ أَصْحَابنَا فِي كِتَابِهِ الْكِفَايَةِ يَجُوزُ عِنْدَنَا الْجِمَاعُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَمُسْتَدْبِرَهَا فِي الْبِنَاءِ وَالصَّحْرَاءِ قَالَ وَبِهِ قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَدَاوُد وَاخْتَلَفَ فِيهِ أَصْحَابُ مَالِكٍ فَجَوَّزَهُ ابْنُ الْقَاسِمِ وَكَرِهَهُ ابْنُ حَبِيبٍ

“Berkata Imam Al-'Abdariy, dari kalangan Syafi’iyyah di dalam kitabnya Al Kifayah, ‘Boleh menurut mazhab kami (Syafi’i) berhubungan suami istri dengan menghadap atau membelakangi kiblat, di dalam bangunan atau di tempat terbuka. Hukum kebolehan ini juga dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah Ahmad dan Dawud. Di kalangan Ashaabu Malik (mazhab Maliki) ada perbedaan pendapat; Imam Ibnul Qosim memperbolehkan, sementara Imam Ibnu Habib memakruhkan.”

Sementara itu, dalil yang digunakan oleh para ulama dalam membolehkannya adalah keumuman firman Allah ta’ala:

نِسَآؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ

Artinya: “Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223)

Meski secara umum para ulama membolehkan hubungan jima’ suami istri dilakukan di tempat terbuka dan tidak ada yang melihat, namun berhati-hatilah dalam melakukannya. Karena tentu akan sangat tidak diinginkan ketika sedang melakukan aktivitas yang sangat privat tersebut kemudian ada yang memergoki.

Kalau yang mergoki orang yang dikenal, mungkin ‘cuma’ malu, tapi jika orang asing, bisa saja dia berprasangka dan menuduh kita berzina. Wallahu a’lam.

Sumber: Al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (2/80)
Disadur dari unggahan FB NU Pantura pada 21 Maret 2022


Editor: Daniel Simatupang