17 Ramadhan Mengenang Wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib

 
17 Ramadhan Mengenang Wafatnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib
Sumber Gambar: Foto ist

Laduni.ID, Jakarta - Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallaahu wajhah, lahir sekitar hari Selasa 13 Rajab 23 SH / 599 M di Mekkah, 21 tahun sebelum hijrah dan wafat pada hari Ahad, 17 Ramadhan 40 H / 24 Januari 661 M. Ada riwayat lain, yang mengatakan wafat 21 Ramadan 40 H. Ada pendapat, beliau wafat tanggal 19 Ramadhan dan 21 ramadhan. Wallahu a'lam.

Ali Bin Abi Thalib RA memiliki beberapa orang saudara laki- yang lebih tua darinya, mereka adalah: Thalib, Aqil, dan Ja’far. Dan dua orang saudara perempuan Ummu Hani’ dan Jumanah radliyallahu anhum.

Menurut sejarawan, Ali bin Abi Thalib RA dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 M atau 600 (perkiraan). Usia Ali terhadap Nabi Muhammad Saw masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.

Nama asli

Dia bernama asli Assad bin Abu Tahalib, bapaknya Assad adalah salah seorang paman dari Muhammad SAW Assad yang berarti Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui anaknya yang baru lahir diberi nama Assad, Ayahnya memanggil dengan Ali, yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).

Riwayat lainnya, ada saat lahir, sebenarnya Ali bin Abi Thalib bernama Haydar bin Abu Thalib yang artinya singa dari keluarga Abu Thalib, namun Rasulullah SAW tidak begitu menyukai nama tsb dan beliau SAW memanggilnya dengan nama Ali yang memiliki arti “yang tinggi derajatnya disisi Allah”.

Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi Muhammad SAW, karena dia tidak punya anak laki-laki, sebab meninggal semua. Uzur dan faqirnya keluarga Abu Thalib, memberi kesempatan bagi Nabi Muhammad saw bersama istri dia Khadijah RA, untuk mengasuh Ali bin Abi Thalib dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib, yang telah mengasuh Nabi sejak dia kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali bin Abi Thalib sudah bersama dengan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam.

Dalam buku Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis (2011), Karen Amstrong menuliskan bahwa Ali mulai tinggal bersama Nabi Muhammad SAW di usia lima tahun. Karena Ali adalah anak asuh Nabi Muhammad SAW, ia begitu menghormati Rasulullah. Ali banyak belajar karakter mulia melalui teladan Rasulullah SAW. Kira-kira, di antara usia 8 hingga 16 tahun, ia menyaksikan awal turunnya wahyu kenabian.

Beliau adalah khalifah keempat yang berkuasa kurang lebih selama 5 tahun, pada tahun 656 M sampai 661 M, menggantikan Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu. Beliau termasuk golongan pemeluk Islam pertama (As-sabiqunal Awwalun) dari golongan pemuda dari kalangan kaum Quraisy yang masuk Islam. Ali juga yang menggantikan posisi Rasulullah SAW di tempat tidurnya, saat Nabi SAW hijrah. Dan salah satu sahabat utama Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam. Secara silsilah, 'Ali adalah sepupu dari Nabi Muhammad Saw. Pernikahan 'Ali dengan Sayyidah Fatimah az-Zahra Radhiyallahu Anha, juga menjadikannya sebagai menantu Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam.

Fisikal

Ali bin Abi Thalib adalah laki-laki berkulit sawo matang, bola mata beliau besar dan agak kemerah-merahan. Untuk ukuran orang Arab, beliau termasuk pendek, tidak tinggi dan berjanggut lebat. Dada dan kedua pundaknya putih. Rambut di dada dan pundaknya cukup lebat, berwajah tampan, memiliki gigi yang rapi, dan ringan langkahnya (keterangan dalam kitab ath-Thabaqat al-Kubra, 3: 25, karya Abu Abdullah Muhammad bin Sa'ad bin Mani' al-Basri al-Hasyimi atau Ibnu Sa'ad rahimahullah (784 - 845 M).

Sebagai salah satu pemeluk Islam awal, 'Ali bin Abi Thalib RA, telah terlibat dalam berbagai peran besar sejak masa kenabian, meski usianya terbilang muda, bila dibandingkan sahabat utama Nabi yang lain. Beliau mengikuti semua perang, kecuali Perang Tabuk, pengusung panji, juga berperan sebagai sekretaris dan pembawa pesan Nabi. Beliau juga pernah ditunjuk sebagai pemimpin pasukan pada Perang Khaibar.

Perang Badar

Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali masih dalam perselisihan, tetapi semua sepakat dia menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.

Perang Khandaq

Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama Dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.

Perang Khaibar

Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tsb sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kukuh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”.

Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tsb. Namun, tenyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab, lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.

Peperangan lainnya, hampir semua peperangan dia ikuti kecuali perang Tabuk, karena mewakili Nabi Muhammad Saw, untuk menjaga kota Madinah.

Gelar Karramallahu Wajhah

Sayidina Ali bin Abi Thalib digelari atau didoakan dengan karromallahu wajhah karena dua alasan:

1. Wajahnya tidak pernah bersujud kepada selain Allah SWT sejak sebelum memeluk Islam

2. Mata Sayidina Ali bin Abi Thalib tidak pernah melihat kemaluan sendiri, lebih-lebih milik orang lain. Walupun beliau istinja’, beliau berusaha memalingkan wajahnya untuk tidak sampai melihat kemaluannya.

Tragedi pembunuhan dan wafatnya

Pada tanggal 17/18/19/21 Ramadan 40 H, atau 27 Januari 661 Masehi, saat sholat di Masjid Agung Kufah, Ali diserang oleh seorang Khawarij bernama Abdurrahman bin Muljam, laknatullah. Dia terluka oleh pedang yang diracuni oleh Abdurrahman bin Muljam, saat ia sedang bersujud ketika sholat subuh. Ali memerintahkan anak-anaknya untuk tidak menyerang orang Khawarij tsb, Ali malah berkata bahwa jika dia selamat, Abdurrahman bin Muljam akan diampuni, sedangkan jika dia meninggal, Abdurrahman bin Muljam hanya diberi satu pukulan yang sama (terlepas apakah dia akan meninggal karena pukulan itu atau tidak). Ali meninggal dua hari kemudian pada tanggal 29 Januari 661 (21 Ramadan 40 Hijriyah). Hasan bin Ali memenuhi Qisas dan memberikan hukuman yang sama, kepada Abdurrahman bin Muljam atas kematian Ali bin Abi Thalib.

Pembunuhan tsb terjadi pada Jumat Subuh 17/18 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Khalifah Ali bin Abi Thalib wafat pada Sabtu, 19/21 Ramadhan 40 Hijriyah dalam usia 63 tahun. Syahidnya Ali bin Abi Thalib menandai berakhirnya era Khulafaur Rasyidin.

Dalam beberapa embilane, salah satunya dalam Kitab Tarikh Ath Thabari atau Al Rusul Wa Al Muluk (karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath-Thabari, lebih dikenal sebagai Ibnu Jarir atau Imam ath-Thabari rahimahullah, wafat 923 M / 310 H) tercatat, racun yang digunakan untuk membunuh Sayyidina Ali ini seharga 1.000 Dinar.

Peneliti Sejarah Brains Community Muhammad Hafi mengatakan, peristiwa itu terjadi setelah Perang Siffin. Tepatnya pada 19 Ramadan tahun 40 Hijriah di Masjid Najaf. Saat itu Ali bin Abi Tholib sedang mengimami sholat jamaah subuh di Masjid tersebut dan setelah sujud terakhir langsung ditebas seorang pembunuh yang bernama Abdurrahamn bin Muljam. Dan pedangnya itu sudah dilumuri racun yang dahsyat. Namun, ada riwayat bahwa setelah peristiwa itu, Sayydina Ali bin Abi Thalib, masih bisa bertahan selama dua hari akibat racun tsb.

Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa sempat mencari tabib hingga ke Mesir, untuk mencari kesembuhan dari racun tsb. Dan ternyata, tabib dari Mesir itu tidak bisa menyembuhkan dan meminta kepada Ali bin Tholib untuk segera menuliskan wasiat.

Salah satu riwayat menceritakan, bahwa tabib tsb meletakkan daging kambing di atas kepala Ali bin Tholib. Daging tsb langsung menghitam saking ganasnya racun. Maka Tabib itu berpesan kepada Ali bin Abu Tholib untuk segera menulis wasiat karena melihat kondisinya yang seperti itu. Hingga Ali bin Abi Tholib meninggal dunia pada 19/21 Ramadan tahun 40 Hijriah.

Sementara, nasib Abdurrahamn bin Muljam ditangkap oleh orang muslim dan dipenjara. Pernah sempat akan dibunuh oleh para sahabat yang hadir pada waktu itu. Namun, oleh Ali bin Abi Tholib tidak menperbolehkan. Sang pembunuh harus diadili sesuai dengan hukum yang berlaku.

Riwayat lain juga menyatakan, pernah suatu ketika saat Ali bin Abi Tholib sekarat, putra Hasan bin Abi Tholib membawakan segelas susu. Hal ini untuk menjaga kondisi agar Ali bin Abi Tholib tetap sehat. Ini yang membuat terenyuh. Ali bin Abi Tholib menolak susu tsb dan disuruh memberikan kepada Abdurrahman bin Muljam yang saat itu berada dipenjara. Karena dia lebih membutuhkan.

Ali bin Abi Thalib ra., terbunuh pada malam Jum’at waktu sahur pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Ada yang mengatakan pada bulan Rabi’ul Awwal. Namun pendapat pertama lebih shahih dan populer. Ada yang mengatakan beliau wafat pada hari beliau ditikam, ada yang mengatakan pada hari Ahad tanggal 19 Ramadhan.

‘Amr bin Ali bin Bahr bin Kaniz al-Bahili al-Basri al-Fallas atau Imam Al-Fallas rahimahullah (salah satu guru Imam Abu Isa Adh-Dhahhak rahimahullah, wafat Senin, 11 Februari 864 M /  25 Dzul Hijjah 249 H) berkata, “Ada yang mengatakan, Ali bin Abi Thalib ditikam pada malam dua puluh satu Ramadhan dan wafat pada malam dua puluh empat dalam usia 58 atau 59 tahun.

Ada yang mengatakan, wafat dalam usia 63 tahun. Itulah pendapat yang masyhur, demikian dituturkan oleh Muhammad bin al-Hanafiyah, Abu Ja’far al-Baqir, Abu Ishaq as-Sabi’I dan Abu Bakar bin ‘Ayasy. Sebagian ulama lainnya.

Setelah Ali bin Abi Thalib ra. Wafat, kedua puteranya yakni al-Hasan dan al-Husein memandikan jenazah beliau dibantu oleh Abdullah bin Ja’far. Kemudian, jenazahnya dishalatkan oleh putera tertua beliau, yakni al-Hasan. Al-Hasan bertakbir sebanyak embilan kali.

Jenazah beliau dimakamkan di Darul Imarah di Kufah, karena kekhawatiran kaum Khawarij akan membongkar makam beliau. Itulah yang masyhur. Adapun keyakinan mayoritas kaum Rafidhah yang jahil bahwa makam beliau terletak di tempat suci Najaf, maka tidak ada dalil dan dasarnya sama sekali.

Keistimewaan

Alkisah, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

انا باب العلم و علي مفتاحه

Artinya: "Aku adalah pintunya ilmu, dan Ali adalah kuncinya".

Dikisahkan, Nabi merupakan pintu ilmu yang sangat luas. Ia sebagai bekal dunia akhirat sebagaimana pernah disabdakan, kunci ilmu dimiliki oleh sahabat Ali. Hati mana yang tak penasaran mendengar sabda Rasul tsb. Pun dengan gerombolan orang-orang Khawarij. Mereka gusar tiada tara, tatkala mendengar kabar hadits ini. Kemudian mendorong mereka berniat menguji kebenaran hadis kepada Rasulullah secara langsung. Dikumpulkanlah tujuh orang dari golongan mereka.

“Jika Ali sebagai kunci ilmu, maka ketika kita beri pertanyaan yang sama tentu jawabannya juga sama". Salah seorang dari mereka mengawali pembicaraan. "Ya, benar kamu. Tidak mungkin seseorang yang dianggap kuncinya ilmu akan menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda. Jika memang benar ia kuncinya ilmu" yang lain menimpali.

Disusunlah strategi, rencana matang disusun, "mari kita uji dengan memberikan pertanyaan yang sama, namun dari orang yang berbeda-beda," usul salah seorang dari ketujuh khawarij tsb dan mereka berakhir pada kata sepakat. Pertanyaan yang akan diajukan, antara ilmu dan harta, manakah yang lebih utama?  Setelah mereka memberikan pertanyaan yang sama. Mereka mendapat jawaban yang sama pula. Antara ilmu dan harta, yang lebih utama adalah ilmu.

"Tapi tunggu dulu, apakah Ali juga memberikan alasan tentang jawabannya?" tanya salah seorang dari mereka. "ya, benar" timpal mereka bersama-sama. "Apa itu?".  "Kalau ilmu menjagamu. Namun, harta, engkau yang harus menjaganya," orang pertama dari kelompok khawarij menyampaikan alasan yang dikemukakan sahabat Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah. "Jika ilmu adalah warisan nabi, harta adalah warisan Qorun yang terkutuk".

Orang kedua menambahi kemudian "ilmu jika ditasarufkan, akan bertambah. Sedang harta, jika ditasarufkan akan berkurang," tambah orang ketiga menyampaikan kutipan argumentasi yang ia terima. Mereka mulai heran akan jawaban yang berbeda-beda. "Andai kau memilih ilmu, kau akan mendapat julukan yang baik, namun jika harta, julukan buruk yang kau dapat," demikian orang keempat menjelaskan. Mereka semakin ragu akan alasan yang berbeda-beda. 

"Ilmu itu menerangi hati, sedangkan harta mengeraskan hati," "Ilmu jika dibiarkan tidak apa-apa, namun harta jika dibiarkan akan rusak", "ilmu ketika di hari kiamat akan menolongmu, namun harta akan menjadi penyebab lamanya hisab di hari kiamat." Demikian mereka bergantian menyampaikan. 

Sejenak, mereka tertegun akan alasan yang berbeda-beda. Bagaimana mungkin, pertanyaan yang diberikan kepada orang satu, menghasilkan jawaban yang memiliki alasan-alasan tersendiri. Namun, dengan cepat mereka tersadar akan keutamaan ilmu yang dimiliki sahabat Ali bin Abi Thalib. Alasan demi alasan yang diutarakan sahabat Ali bin Abi Thalib berbeda, namun antara satu dan lainnya saling menguatkan, antara ilmu dan harta lebih utama ilmu. Subhanallahil 'adzim wa shodaqo rasuluhu nabiyyul karim.

Menikah

Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali bin Abi Thalib menikah dengan Sayyidah Fatimah az-Zahra RA, putri Nabi Muhammad. Ali tidak menikah dengan wanita lain ketika Fatimah masih hidup. Tertulis dalam kitab Tarikh karya Al-Mubarak bin Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Abdul Wahid as-Saibani al-Jazari atau Imam Ibnu Atsir rahimahullah (wafat 606 H / 1209 M), setelah itu Ali menikah dengan Ummu Banin binti Haram, Laila binti Mas'ud, Asma binti Umais, Sahba binti Rabia, Umamah binti Abil Ash, Haulah binti Ja'far, Ummu Said binti Urwah, dan Mahabba binti Imru'ul Qais.

Istri dan anak

Ali menikahi delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra.

A. Fatimah (615–632). Putri bungsu Nabi Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid, memiliki anak :

1. Hasan (624–670). Menjadi khalifah selama enam atau tujuh bulan pada tahun 661 M.
2. Husain (625–680). Menikah dengan Syahrbanu, putri Yazdegerd III, Kaisar Sasaniyah terakhir. Terbunuh dalam Pertempuran Karbala.
3. Zainab (626–681). Menikah dengan sepupunya, 'Abdullah bin Ja'far bin Abu Thalib.
4. Zainab As-Sughra (Zainab Kecil), juga dikenal dengan Ummu Kultsum. Menikah dengan Umar bin Khattab. Mahar untuk pernikahannya sebesar 40.000 dirham dan mereka hidup sebagai suami istri pada tahun 638. Tercatat Ummu Kultsum pernah memberikan hadiah parfum kepada Permaisuri Martina, istri Kaisar Romawi Timur Heraklius. Sebagai balasan, Martina menghadiahi kalung kepada Ummu Kulstum. Namun 'Umar yang percaya bahwa istrinya tak seharusnya ikut campur dalam urusan kenegaraan akhirnya menyerahkan kalung tersebut ke dalam perbendaharaan negara.
4. Muhsin (Terlahir mati).

B. Khaulah binti Ja'far dari Bani Hanifah. Saat masyarakat Yamamah menolak membayar zakat sepeninggal Nabi Muhammad, Khalifah Abu Bakar memerangi mereka. Khaulah dan beberapa wanita lain ditawan sebagai budak dan dibawa ke Madinah. Saat sukunya mengetahui nasib Asma, mereka mendatangi 'Ali bin Abi Thalib untuk membebaskannya dari perbudakan dan melindungi martabat keluarganya. 'Ali kemudian membeli Asma dan membebaskannya, kemudian menikahinya. Punya anak :

5. Muhammad bin al-Hanafiyah (637–700 M di Masjid Ibnu Abbas Thaif).
6. Umamah. Ibunya adalah Zainab, putri tertua Nabi Muhammad dan Khadijah binti Khuwailid. Ayahnya adalah Abu Al-'Ash bin Ar-Rabi' dari Bani Abdu Syams.
7. Hilal. Juga dikenal dengan Muhammad Al-Aswat.
8. Awn

C. Fatimah binti Hizam. Juga dikenal dengan Ummul-Banin. Berasal dari Bani Kilab. Punya anak :

9. 'Abbas (647–680)
10.. 'Abdullah
11. Ja'far
12. Musa
13. Ruqayyah. Dikatakan mengungsi ke anak benua India dan mendakwahkan Islam di sana setelah Pertempuran Karbala.

D. Laila binti Mas'ud, punya anak :

14. Ubaidullah
15. Abu Bakar

Asma binti Umais. Secara keseluruhan, Asma menikah sebanyak tiga kali dan 'Ali adalah suami terakhirnya. Suami pertama Asma adalah saudara 'Ali sendiri, Ja'far bin Abi Thalib. Suami keduanya adalah Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Punya anak :

16. Yahya
17. Muhammad Ashgar
18. Sahba binti Rabia
19. 'Umar
20. Rukiyah

E. Ummu Said binti Urwah. Punya anak :

21. Ummul Hasan
22. Ramlah Kubra

F. Mahabba binti Imru'ul Qais, punya seorang putri, meninggal ketika masih kecil.

Banyak keturunan Ali yang tewas terbunuh dalam Pertempuran Karbala. Keturunannya yang masih ada saat ini merupakan para keturunan dari Hasan dan Husain (anak Fatimah), Muhammad bin al-Hanafiyah (anak Haulah), Abbas (anak Ummul Banin), dan Umar (anak Sahba).

Keturunan Ali melalui putranya Hassan, umumnya dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Adapun keturunan Ali melalui putranya Husein, umumnya dikenal dengan Habib (jamak - Habaib) yang merupakan gelar kehormatan yang berarti "Kesayangan". Sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi'ah. Wallahu a'lam


Sources by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jamaah Sarinyala