Memaknai Mudik saat Lebaran

 
Memaknai Mudik saat Lebaran
Sumber Gambar: id.pngtree.com (ilustrasi mudik lebaran)

Laduni.ID, Jakarta - Mudik bukan bayangan yang menyenangkan, tetapi anehnya di Indonesia mudik menjadi tradisi yang mengurat mengakar, dari masyarakat biasa, pengusaha sampai para pejabat negara. Tentu di balik itu semua ada makna yang besar baik dari aspek duniawi maupun ukhrawi, sehingga warga masyarakat tidak menghiraukan lagi berbagai kesulitan yang dijumpai saat mudik. Mereka tetap menampakkan raut kebahagiaan saat-saat mudik telah dekat. Dan bahkan ketika sampai di kampung halaman, perjuangan keras saat dalam perjalanan mudik tidak nampak lagi, yang nampak hanya raut kebahagiaan. Mereka bahagia bertemu dengan orang tua, saudara-saudara, dan para tetangga seakan sebuah reuni besar tahunan.

Setelah sekian lama merantau pergi dari kampung halaman, maka datangnya hari raya menjadi momen yang sangat menyenangkan karena berarti akan ada libur panjang yang dapat digunakan untuk bersilaturahim dengan sanak keluarga dan handai tolan. Semangat ini sejalan dengan seruan Islam agar kita senantiasa menjalin hubungan silaturrahim. Allah Swt berfirman: “Hai sekalian manusia, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (Qs. Al-Nisȃ`/4: 1).125

Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya, dan ingin dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahim.” (HR. Bukhari)126

Dalam ayat dan hadis ini, Allah dan Rasul-Nya sangat menganjurkan agar manusia senantiasa saling bersilaturrahim satu dengan yang lainnya, bahkan Rasulullah Saw menyatakan orang yang bersilaturrahim akan dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya. Karena itu, hendaknya mudik diniati untuk bersilaturrahim dengan famili, sahabat dan handai tolan agar mudik membawa keberkahan kepada kita semua.

Di samping itu, mudik juga menjadi ajang untuk bermaaf-maafan sesama anak adam. Di sini perlunya mudik, sungguhpun jauh dan merepotkan, tetapi pada saat-saat tertentu perlu dilakukan mengingat Allah Swt tidak ikut campur pada dua anak adam yang berseteru, artinya Allah Swt tidak akan mengampuni dosa salah satu pihak, selama pihak-pihak yang berseteru tidak saling memaaafkan. Setelah puasa kita sempurna satu bulan dan Allah Swt memberi ampunan terhadap dosa dosa kita (kharaja min dzunûbihi kayaumin waladathu ummuhu),127 tinggal kita membersihkan dosa-dosa kita sesama anak adam. Jika mudik dimaknai dalam konteks ini, maka mudik memiliki makna yang baik, tidak sia-sia betapapun kita telah mengeluarkan tenaga dan biaya serta kerepotan-kerepotan lainnya saat mudik. Inilah yang kita sebut “Idul Fitri”, yaitu kembali kepada kesucian.

Namun demikian, ada sisi negatif mudik, di mana mudik seringkali menjadi ajang unjuk kesuksesan. Para pemudik biasanya sangat bangga jika mudik lebaran dapat memperlihatkan kesuksesannya kepada masyarakat, misalnya sudah dapat membeli kendaraan, seperti motor atau mobil atau barang-barang berharga lainnya. Kebanggaan didapat manakala masyarakat sudah mengakuinya bahwa yang bersangkutan sukses di perantauan. Karena itu, himbauan-himbauan pemerintah agar para pemudik menggunakan angkutan umum tidak menggunakan sepeda motor tidak dihiraukan. Para pemudik menggunakan sepeda motor, di samping dianggap praktis dan nantinya diperlukan untuk silaturrahim di kampung, juga sebagai ajang untuk memperlihatkan bahwa dirinya sudah mampu membeli kendaraan bermotor.

Sisi negatif lainnya, mudik seringali mendorong sikap konsumerisme. Banyak pemudik yang membelanjakan uangnya dengan sangat mudah, bahkan kadang-kadang untuk keperluan yang tidak mendesak. Ada yang menjadikan momen mudik seolah-olah untuk euphoria membelanjakan uangnya setelah sekian lama merantau. Apalagi ada anggapan dari masyarakat yang tidak merantau seolah-olah para perantau itu bos, sehingga para perantaupun terhipnotis untuk berprilaku seperti bos tanpa mempertimbangkan ketebalan kantongnya. Di sisi lain juga para pedagang menanawarkan dagangannya dengan sangat menarik, dari pakaian sampai makanan, bahkan kendaraan, sehingga para pemudik terpancing untuk berbelanja. Akibatnya kadang-kadang uang yang dicari setahun lamanya hanya habis untuk mudik.

Sisi negatif ini perlu dikurangi atau bahkan kalau bisa dihilangkan sama sekali agar mudik dapat memberikan makna yang berarti dalam kehidupan dunia dan akhirat. Sebab sisi negartif yang pertama mengarah kepada sifat sombong dan pamer harta kepada orang lain. Sifat ini bisa menjadikan seseorang lalai kepada Allah Swt. Allah Swt melarang hambahambanya bersikap sombong karena harta sampai melalaikan kepada Allah Swt, sebagaimana dalam firman-Nya: “Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu)” (Qs. Al-Takȃtsur/102: 1-3).

Karena itu, andaipun para pemudik tidak dapat dihindari harus membawa hasil jerih payahnya diperantauan, baik berupa kendaraan ataupun harta kekayaan lainnya harus diniati dalam hatinya sebagai mensyukuri nimat (tahadduts bin ni‟mah) sebagaimana perintah Allah Swt, “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan” (Qs. Al-Dhuha/93: 11).129 Demikian juga para pemudik seharusnya dapat mengendalikan diri agar tidak terjebak pada budaya konsumerisme. Para pemudik harus ingat masih, ada hari esok yang memerlukan biaya-biaya sehingga harta yang diperoleh seharusnya tidak dihabiskan pada saat mudik. Allah Swt telah mengingatkan kita; “Makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (Qs. Al-A‟rȃf/7: 31).130

Mudik akan memiliki makna religius dan akan memperkuat spiritualitas jika kita melakukannya tidak sekedar rutinitas tahunan tetapi disertai niat untuk beribadah kepada Allah Swt yaitu untuk bersilaturrahim, bermaaf-maafan sesama anak adam, menghindari konsumerisme dan bermegah-megahan dengan harta. Semoga Allah menuntun kita ke jalan yang diridhai-Nya.


Source: Buku menyingkap tabir puasa Ramadhan (penulis KH. Cholil Nafis, Lc, Ph.D diterbitkan oleh Mitra Abadi Press, Jagakarsa Jakarta Selatan)