Sejarah Awal Mula Pulau Padang Tikar dan Keindahannya

 
Sejarah Awal Mula Pulau Padang Tikar dan Keindahannya
Sumber Gambar: Flickr, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pada tahun 1780, Tanjung Padang Tikar dibuka oleh seorang yang bernama Pak Ude Muse, keturunan Bugis Melayu Deli. Tanjung ini awalnya dikenal sebagai Tanjung Belimbing karena adanya pohon belimbing di lokasi tersebut, serta terdapat tiga sungai di sebelah timurnya, yaitu Sungai Bentang, Sungai Lundu, dan Sungai Teluk Nipah. Ketika Pak Ude Muse sedang sibuk mengurus kegiatan penambangannya, datanglah sekelompok orang dari Daerah Ketapang dengan perahu layar besar dan kecil membawa tikar dan padi. Mereka bertujuan untuk menjemur padi di Tanjung Belimbing dengan menggunakan tikar yang mereka bawa.

Begini ceritanya mengapa orang-orang dari jauh, bahkan dari Ketapang, datang untuk menjemur padi di tempat itu: daerah sebelah baratnya dilindungi oleh sebuah pohon Kedondong yang begitu besar dan tingginya sampai menyapu awan. Karena hal itu, mereka menumpang jemur padi dengan membentangkan tikar begitu banyak di sana. Akibatnya, tempat itu dikenal sebagai Tanjung Padang Tikar. Di tengah-tengah aktivitas tersebut, Pak Ude Muse tetap sibuk merimba hutan dan menanam pohon kelapa, serta pohon pinang di sepanjang pantai utara, sehingga tempat tersebut dikenal sebagai Tanjung Pinang Seribu. Pak Ude Muse juga menjalani profesi sebagai nelayan pantai untuk mempertahankan hidupnya sehari-hari. Beberapa tahun kemudian, Pak Ude Muse memiliki menantu dari Malaysia yang bernama Abdul Syukur, yang ikut bekerja mengikuti langkah mertuanya. Tak lama setelah itu, seorang keturunan Cina/Dayak bernama Ucok ingin mengikuti jejak Pak Ude Muse. Dia masuk Islam dan diadopsi sebagai anak angkat oleh Pak Ude Muse.

Beberapa tahun kemudian, muncul seorang bajak laut yang dikenal sebagai Panglima Lanon. Dia menggunakan perahu layar dan bersembunyi di Sungai Teluk Nipah, memata-matai orang-orang yang akan ditangkap dan dibawa ke Pulau Belanggang untuk diuji kekuatannya di sebuah gunung yang terletak dekat dengan Gunung Teluk Air. Oleh karena itu, tempat itu kemudian dikenal sebagai Pulau Belanggang dan Gunung Peninjau.

Tak lama setelah itu, Pak Ude Muse meninggal dunia dan dimakamkan di dekat Sungai Lundu. Lokasi makamnya masih belum diketahui hingga saat ini. Pada saat yang sama, sebuah perahu layar berlabuh di Teluk Kelapa Muara Kubu, membawa tiga bersaudara beserta keluarga dan pukat siak. Mereka bernama Lebai Mamat, Lebai Samat, dan Lebai Yasin, yang bermaksud menuju ke pantai Padang Tikar. Setelah beberapa waktu, mereka tiba di Pantai Padang Tikar (Laut Kota Laya) dan segera mendirikan bagan untuk usaha pukat siak. Beberapa tahun kemudian, anak Lebai Mamat yang bernama Pak Neskarye bergabung dengan Abdul Syukur, menantu Pak Ude Muse, untuk melanjutkan merimba hutan dan membangun jalan di tepi pantai Tanjung Padang Tikar yang kini sudah terjun ke laut. Awalnya, mereka bermaksud melanjutkan jalan itu hingga Tanjung Api-Api, tetapi rencana tersebut terbantut karena Panglima Lanon kembali menjadi ancaman yang serius.

Karena keputusan tegas dari keluarga atau penduduk yang berani itu, Panglima Lanon akhirnya tewas dibunuh oleh mereka dan dikebumikan di tepi Sungai Teluk Nipah. Akibat peristiwa tersebut, sungai itu kemudian berganti nama menjadi Sungai Panglima. Pada saat yang sama, Lebai Mamat meninggalkan Padang Tikar dan pindah ke Daerah Ketapang di Pulau Tutek, di mana dia mencoba mencari rezeki. Anaknya, Pak Neskerye, pindah ke Pontianak, sementara Lebai Samat tetap tinggal di Padang Tikar dan meninggal di daerah Kubu. Lebai Yasin juga pindah ke Kapuas Hulu dan meninggal di sana. Setelah itu, Ucok, anak angkat Pak Ude Muse, meninggal di tengah-tengah rumput yang dipenuhi lalat dan dikuburkan dekat Sungai Lundu, tidak jauh dari makam bapak angkatnya yang sekarang dikenal sebagai makam Pak Lalat.

Beberapa tahun kemudian, penduduk dari dua suku, yaitu suku Banjar dan suku Seh atau Tuan-Tuan, datang ke daerah tersebut. Di bawah pemerintahan Belanda yang dijalankan oleh Syarif Mustafa, didirikanlah sebuah kerajaan yang dikenal sebagai Kerajaan Kubu. Namun, pemerintahannya yang sangat otoriter menyebabkan kerajaan tersebut diakhiri dengan kematian Syarif Mustafa yang dibunuh oleh penduduk kampung. Dia kemudian dimakamkan di tepi pantai yang kini dikenal sebagai Pantai Gang Kupang. Tidak lama setelah itu, wakil kerajaan digantikan oleh Syarif Husin, yang memerintah dengan lebih mengutamakan masyarakat. Namun, dia meninggal karena ajal, dan makamnya terletak di Dusun Panglima yang dibangun oleh pemerintahan saat ini.

Pada akhir abad ke-17, orang-orang mulai menjelajahi Pulau Padang Tikar ke arah selatan pantai barat dan hutan di sebelah timurnya, yang terdiri dari tiga suku: Bugis, Melayu, dan Cina. Di selatan terdapat Kota Laya, Parit Timur, Teluk Dungun (Tasik Malaya), Sungai Besar, Sungai Jawi, Sungai Lalau, Sungai Paktikam (Amberawa), Tanjung Api-Api Selatseh (Tanjung Harapan), dan di timurnya terdapat Medan Seri dan Medan Deli, Sungai Mesjid, Nipah Panjang, Suka Maju, Sungai Pandan, Sungai Terumbuk, Teluk Nibung, Sungai Jeruju, dan Batu Ampar. Pada pertengahan abad ke-18, di Pulau Padang Tikar, pemimpin kampung pertama bernama Abu Bakar, seorang Panggawa. Setelah beberapa tahun, posisi tersebut digantikan oleh Daeng Acong Kubek, dan tidak lama kemudian digantikan lagi oleh Said Hamid. Pada saat itu, jabatan Kepala Kampung dibentuk, yang dipegang oleh M. Ali Bujang untuk jangka waktu yang cukup lama hingga akhir tahun 1990. Setelah itu, jabatan tersebut diambil alih oleh anaknya, A. Kadir M. Ali.

Inilah garis keturunan yang mengungkap asal usul pembentukan Tanjung Pulau Padang Tikar, yang diwariskan melalui kisah-kisah bersejarah dari orang-orang yang telah meninggal dunia. Riwayat ini telah disusun berdasarkan catatan-catatan yang diperiksa dan disahkan oleh beberapa tokoh tua yang masih hidup hingga saat ini, serta ditandatangani oleh keturunan dari mantan Panggawa dan mantan Kepala Kampung yang telah meninggal.

Meskipun nama Padang Tikar sering terdengar di kalangan masyarakat, terkadang masyarakat perkotaan bahkan tidak pernah mendengarnya sama sekali. Namun, perlu dijelaskan bahwa Pulau Padang Tikar terletak di Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Pulau ini tidak dapat dijangkau dengan kendaraan darat, tetapi hanya dapat dicapai melalui transportasi laut. Hal ini karena Pulau Padang Tikar dikelilingi oleh sungai kecil, pantai, pulau, dan laut.

Penulis Nuri Fitriati, Mahasiswa IAIN Pontianak 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 18 Desember 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar