Tasawwuf Alternatif Zaman Modern

 
Tasawwuf Alternatif Zaman Modern
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Tantangan zaman semakin berat dihadapi. Teknologi yang semakin maju dan canggih tidak bisa terbendung. Sementara kehidupan harus terus bergulir. Tidak ada yang boleh menyerah menjalani hidup ini.

Dalam hidup yang dijalani oleh setiap orang, semuanya membutuhkan pemenuhan hajat hidup. Tidak bisa dihindari bagaimanapun keadaannya, umat Islam harus berbaur dengan masyarakat yang mempunyai beragam latar belakang. Tidak semua orang baik, tapi tidak semua orang juga buruk. Kehidupan silih berganti, terkadang mereka yang dianggap sebelah mata di tengah masyarakat, justru mendapatkan hidayah dari Allah SWT dan menjadi mulia di sisi-Nya. Dan na’dzubillah orang yang secara tampilan lahir sangat baik, tapi siapa yang tahu kelak takdir akhirnya.

Kehidupan yang semakin bergerak maju secara materialistik ini, tidak bisa dihindari. Meskipun sendirian, tapi dalam konteks sekarang masih tetap bisa berinteraksi dengan siapapun dalam kehidupannya. Tidak ada orang yang sama sekali tak membutuhkan interaksi dengan orang lain. Dan potensi interaksi ini bisa saja cenderung mengarah pada hal-hal yang negatif, namun sekaligus bisa menjadi media positif dalam menanamkan kebaikan-kebaikan.

Hidup berdampingan dengan modernitas tidak berarti harus mengidap ketergantungan pada karakter keduniawiaan. Tapi bisa menerapkan alternatif-alternatif keislaman yang bisa tetap menjaga prinsip dan tidak tergoyahkan imannya.

Pondasi keilmuan Islam yang kuat akan bisa menjaga diri seorang muslim dari ketergantungannya kepada hal-hal duniawi. Meski demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa selama hidup di dunia ini kebutuhan duniawi tidak bisa lantas dinafikan sama sekali. Tetap ada porsi bagian dunia yang memang dibutuhkan untuk selanjutnya tidak berhenti di sini, akan tetapi untuk bekal kelak di akhirat.

Salah satu jalan untuk melatih diri tidak terjebak pada ketergantungan pada hal-hal duniawi adalah dengan bertasawwuf. Namun, tidak jarang bertasawwuf atau meniti jalan sufi ini dimaknai secara sempit sehingga banyak orang yang memandang sinis ajaran ini. Padahal, inti ajaran tasawwuf bukanlah menjauhkan sama sekali seseorang dari kehidupan dunia, melainkan hanya menjaga jarak agar tidak mempunyai ketergantungan pada hal-hal keduniawiaan.

Tasawwuf  menjadi cara yang paling manjur untuk melatih seseorang menjadi pribadi yang suci hatinya dan senantiasa berlatih membersihkannya dari hawa nafsu. Dengan tasawwuf ini seseorang akan selalu melakukan sesuatu dengan hanya karena mengharap ridho Allah SWT. Karena puncak kebahagiaan dan tujuan hidup tidak lain adalah Allah SWT itu sendiri.

Namun memang benar sebagian orang menilai bahwa tasawwuf merupakan ajaran yang mempersempit kehidupan dan meyakini secara ekstrem bahwa tak ada artinya sama sekali kehidupan di dunia ini. Dibuktikan dengan banyaknya praktik yang dirasa memberatkan dalam mencapai tujuan hidup yang menuju Allah SWT itu, yakni dengan melakukan puasa sunnah sepanjang tahun, selalu munajat di malam hari, berpenampilan buruk agar tidak terkesan mencintai dunia, dan lain-lain.

Dalam konteks modern, muncullah keraguan apakah ajaran tasawwuf menjadi tidak relevan lagi kalau kenyataannya harus melakukan praktik-praktik yang demikian memberatkan. Apalagi jika dihadapkan dengan dunia kerja professional. Karena tuntutan dalam memenuhi kebutuhan hajat hidup, maka dunia kerja sepertinya bakal menghalangi seseorang yang ingin  bertasawwuf. Atau harus memilih secara ekstrem meninggalkan itu semua demi agar bisa fokus beribadah.

Pada dasarnya, bertasawwuf itu bukanlah membatasi diri dari kehidupan seharip-hari. Melainkan melatih diri agar tidak terjebak dalam ketergantungan pada keduniawiaan. Bisa saja tetap terus bekerja secara professional, tetap menjadai kaya, tetap sibuk dengan urusan bisnis, dan lain-lain, tetapi meski begitu tidak pernah melupakan Allah SWT. Orientasi kehidupan dunia ini tidak lain adalah menanamkan kebaikan-kebaikan yang kelak menjadi bekal di akhirat untuk menuju Allah SWT.

Jika seandainya karena kesibukan sehari-hari itu menyebabkan tida bisa terbiasa berpuasa sunnah, misalnya, ataupun qiyamul lail -ibadah di malam hari-, tetapi hakikatnya hal tersebut tidak bisa menutup jalan untuk bertasawwuf. Dalam keadaan seperti ini, seseorang yang hendak meniti jalan Tuhan masih bisa untuk melakukan praktik tasawwuf.

Penjelasan ini sebagaimana dikemukakan oleh As-Syaikh Al-Imam Tajuddin bin Atha’illah As-Sakandari dalam Kitab Tajul ‘Arus.

مَنْ فَاتَهُ كَثْرَةُ الصِّيَامِ وَالْقِيَامِ أَنْ يُشْغِلَ نَفْسَهُ بِالصَّلَاةِ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَإِنَّكَ إِنْ فَعَلْتَ فِي جَمِيْعِ عُمْرِكَ كُلَّ طَاعَةٍ ثُمَّ صَلَّى الله عَلَيْكَ صَلَاةً وَاحِدَةً رَجَحَتْ تِلْكَ الصَّلَاةُ الْوَاحِدَةُ عَلَى كُلِّ مَا عَمِلْتَهُ فِي كُلِّ عُمْرِكَ كُلِّهِ مِنْ جَمِيْعِ الطَّاعَاتِ لِأَنَّكَ تُصَلِّى عَلَى قَدْرِ وُسْعِكَ وَهُوَ يُصَلِّى عَلَى حَسَبِ رُبُوْبِيَّتِهِ

“Barang siapa yang sering terlepas puasa dan ibadah malamnya, hendaknya menyibukkan diri dengan membaca shalawat kepada Rasulullah SAW. Karena sesungguhnya jika engkau melakukan segala ketaatan di sepanjang umurmu, lalu Allah bershalawat kepadamu dengan satu shalawat saja, tentu satu shalawat Allah itu mengungguli segala ketaatan yang telah engkau lakukan di sepanjang umurmu dari berbagai macam ketaatan. Sebab engkau bershalawat dengan kadar kemampuanmu, sedangkan Allah bershalawat atas dasar sifat ke-Tuhanan-Nya.”

Pandangan Syaikh Tajuddin bin Atha’illah As-Sakandari di atas bukan tanpa alasan yang logis secara ilmiah. Bisa dilihat dari beberapa alasan yang mendasari pandangan ini. Bahwa adanya kelebihan shalawat dibandingkan ibadah lain dan bahwa keselamatan Akhirat tidak tergantung amal kita.

Kelebihan shalawat dibanding Ibadah Lain

Banyak sekali Hadis nabi yang menjelaskan keutamaan bershalawat. Utamanya Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagaimana berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى الله عَلَيْهِ عَشْرًا 

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, ‘barang siapa bershalawat satu kali kepadaku, maka Allah akan bershalawat sepuluh kali kepadanya.’”

Imam Ghazali juga mengutip Hadis di atas di dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin. Beliau berkomentar:

فَهَذَا جَزَاءُهُ فِي الصَّلَاةِ عَلَيْهِ بِلِسَانِهِ فَكَيْفَ بِالْحُضُوْرِ لِزِيَارَتِهِ بِبَدَنِهِ

“Ini (balasan sepuluh rahmat Allah atas satu shalawat kepada nabi) adalah balasan bagi orang yang hanya bershalawat dengan lisannya saja, bagaimana kalau dalam keadaan hati yang membayang Nabi hadir?” 

Jika balasan tersebut hanya bagi mereka yang shalawatnya cuma di mulut saja, menurut Al-Ghazali, tentu ada nilai plus jika shalawat tersebut dibaca dengan khusyu’, lebih-lebih dengan membayangkan Nabi hadir.

Shalat Tahajjud memang merupakan salah satu shalat yang sangat dianjurkan oleh Allah SWT agar dilaksanakan oleh orang muslim supaya mendapatkan derajat yang mulia di sisi Allah SWT. Namun demikian, keadaan mampu ataupun tidak mampu melaksanakan sholat Tahajjud ini adalah atas kehendak Allah SWT. Sehingga, bagaimanapun yang dilakukan itu adalah perihal yang dikehendaki oleh Allah. Jika tidak bisa melaksanakan sholat Tahajjud, itupun juga atas kehendak dari Allah SWT. Jadi ketika satu amal ibadah tidak bisa dilaksanakan, maka masih ada peluang lain atau jalan lain untuk melakukan kebaikan-kebaikan atau ibadah yang tak kalah mulia nilainya, dan di antaranya adalah memperbanyak membaca shalawat itu.

Keselamatan di Akhirat tidak Tergantung Amal Kita

Dalam hal ini harus juga dipahami, bahwa selamatnya seseorang kelak di akhirat bukan tergantung amalnya, bahkan nabi sekali pun ‘tidak dijamin’ masuk surga lantaran amalnya, melainkan karena rahmat Allah SWT. Sebagaimana Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَنْ يُنْجِيَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ قَالَ رَجُلٌ: وَلَا إِيَّاكَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: وَلَا إِيَّايَ، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ مِنْهُ بِرَحْمَةٍ، وَلَكِنْ سَدِّدُوا

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Rasulullah SAW, sesungguhnya beliau bersabda: ‘Tidaklah amal seseorang bisa menyelamatkan salah satu di antara kalian.’ Seseorang bertanya, ‘dan tidak juga engkau, wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Tidak juga aku. Kecuali Allah melindungiku dari amal itu dengan rahmat-Nya. Meskipun begitu, bersungguh-sungguhlah kalian semua (dalam beribadah).’”

Maka, pandangan Syaikh Tajuddin bin ‘Atha’illah di atas tidaklah dianggap berlebihan. Benar saja jika beliau mengatakan satu shalawat (rahmat) Allah lebih unggul jika dibandingkan dengan amal ketaatan seseorang. Sekalipun ketaatan dilakukan sepanjang umurnya. Sebagaimana bisa dipahami ketika melihat Hadis nabi tentang jaminan masuk surga, yang tidak lain adalah karena rahmat dari Allah SWT.

Dan cara terbaik yang sangat ringat dilakukan di antara kebaikan-kebaikan lainnya dalam memperoleh rahmat Allah adalah dengan memperbanyak membaca shalawat, sebagaimana penjelasan dari Syaikh Tajuddin yang dikuatkan oleh beberapa Hadis Nabi. 

Pada akhirnya, alternatif dalam bertasawwuf ini bukan berarti menjadi ajakan untuk meninggalkan puasa sunnah dan shalat Tahajjud, atau amalan-amalan yang laiannya yang sebelumnya mungkin telah menjadi wadhifah atau amalan rutin bagi sebagian orang yang sejak dulu sudah menjadi ciri khas para tokoh sufi.

Namun, uraian ini justru mengarah pada jalan alternatif yang terbaik dan lebih kepada memberi solusi bagi seseorang yang hendak meniti jalan sufi atau melakukan suluk, tetapi tidak kuat menjalankan ibadah-ibadah yang dirasa berat sebab kesibukan sehari-hari dalam dunia professional di zaman modern ini. Sehingga, orang-orang awam sekalipun, tetap mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa mendekatkan diri kepada Allah, dengan meniti jalan spiritual para sufi. []


Penulis: Abd. Hakim Abidin

Editor: Attha Hareldi