Tahun 684-685 M: Menggali Gejolak Dibalik Pecahnya Kekuasaan Bani Umayyah dan Gelombang Pemberontakan

 
Tahun 684-685 M: Menggali Gejolak Dibalik Pecahnya Kekuasaan Bani Umayyah dan Gelombang Pemberontakan
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Setelah wafatnya Yazid bin Muawiyah, yang memimpin Bani Umayyah, pemerintahan dan kekuasaan mereka mengalami fase krusial dalam sejarah Islam. Yazid meninggalkan warisan yang kompleks, ditandai dengan konflik internal yang meningkat dan tekanan eksternal yang signifikan. Pada saat itu, Bani Umayyah, yang telah memperoleh kekuasaan dan dominasi dalam dunia Islam, menghadapi tantangan serius untuk mempertahankan dan memperluas pengaruh mereka.

Selain itu, ekspansi wilayah dan pembangunan infrastruktur menjadi fokus utama bagi Bani Umayyah, sementara mereka juga berhadapan dengan tantangan pemberontakan dan perlawanan dari berbagai kelompok dan wilayah.

Kekuatan Bani Umayyah, dalam konteks ini, tidak hanya tercermin dalam kemampuan mereka untuk mempertahankan kekuasaan, tetapi juga dalam upaya mereka untuk memperluas dan memperkokoh kekhalifahan.

Khalifah ke-3 Bani Umayyah

Setelah wafatnya Yazid bin Muawiyah pada bulan November 683 M, tampuk kepemimpinan kemudian diambil alih oleh anaknya yang bernama Muawiyah bin Yazid. Tidak banyak sejarah yang mencatata dalam sejarah tentang beliau karena beliau mempimpin kurang lebih hanya 3 bulan dari penghujung tahun 683 M sampai kepada awal tahun 684 M.

Terdapat beberapa pendapat yang menyatakan bahwa Khalifah ketiga dari Bani Umayyah ini mengundurkan diri karena merasa tidak mampu lagi untuk memimpin umat Islam. Selain itu, penyakit yang dideritanya juga dikabarkan menjadi faktor utama yang menyebabkan mangkatnya beliau.

Pada saat itu, terdapat dua peristiwa baiat yang mencuat di kalangan umat Muslim. Pertama adalah baiat kepada Muawiyah bin Yazid di Syam, dan yang kedua adalah baiat kepada Abdullah bin Zubair di Hijaz. Banyak umat Muslim yang merasa tidak setuju dengan kekuasaan Bani Umayyah, terutama setelah tragedi yang mengguncang hati mereka, yaitu peristiwa menyedihkan yang menimpa Sayyidina Husein bin Ali di Karbala.

Sehingga, menimbulkan penurunan yang signifikan terhadap Kekuatan Bani Umayyah, terutama dalam hal wilayah kekuasaan. Muawiyah bin Yazid yang wafat pada tahun 684 Masehi pada usia muda tidak memiliki keturunan. Hal ini mengakibatkan peralihan kekuasaan dari garis keturunannya, yang berasal dari Muawiyah bin Abu Sufyan, kepada garis keturunan Marwan bin Hakam.

Khalifah ke-4 Bani Umayyah

Marwan bin Hakam diangkat menjadi khalifah keempat dari dinasti Bani Umayyah pada tahun 645 Masehi melalui musyawarah keluarga Umayyah. Selama masa pemerintahannya, Marwan secara bertahap merebut kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya lepas dari kendali Bani Umayyah.

Dengan tindakan-tindakan ini, Marwan berhasil menguatkan kembali kekuasaan dinastinya. Akibatnya, wilayah Palestina, Mesir, dan seluruh Syam akhirnya berada di bawah kendali penuh Bani Umayyah.

Pada tahun 685 Masehi, wafatnya Marwan bin Hakam menyebabkan pergantian kekhalifahan Bani Umayyah kepada Abdul Malik bin Marwan. Saat itu, kondisi politik dipenuhi dengan gejolak pemberontakan, terutama di Khurasan, di mana gerakan Anti-Umayyah mulai menunjukkan kekuatannya.

Di Hijaz, Abdullah bin Zubair mendapatkan momentum karena pengaruhnya yang semakin kuat. Sementara itu, di Iraq, muncul kekuatan yang dipimpin oleh Al-Mukhtar Al-Thaqafi, yang merasa terpanggil karena tragedi terbunuhnya Husein bin Ali di Karbala.

Terakhir, kelompok Khawarij menyebar di sekitar Yamamah dan wilayah-wilayah ujung Iraq, menambah kompleksitas situasi politik pada masa tersebut.

Jadi, pada masa khalifah ke-5 Bani Umayyah yaitu Abdul Malik bin Marwan, lebih jelasnya umat Muslim terbagi menjadi 4 kekuatan:

  1. Abdul Malik bin Marwan: Syam, palestina, dan Mesir
  2. Khawarij: Daerah Yamamah, dan di Barat Daya Khurasan
  3. Abdullah bin Zubair: Makkah, Madinah, Yaman, Barah
  4. Al-Mukhtar: Daerah Iraq bersama orang-orang Syiah

Kondisi Byzantium

Dari segala kesibukan kondisi internal yang terjadi dalam pemerintah Islam, kita juga harus mengetahui bagaimana keadaan musuh-musuh Islam diluar sana. Seorang kaisar baru telah menggantikan kaisar lamanya di Byzantium, Yustinianus II atau biasa disebut Justinian II naik tahta menggantikan Konstantinus IV.

Orang inilah yang nanti mengambil kembali daearah Armenia yang sebelumnya berhasil direbut oleh kekuasan Bani Umayyah pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan. Tidak hanya itu, beliau juga menyudutkan Abdul Malik bin Marwan untuk melakukan perjanjian damai serta menaikan pajak kepada Bani Umayyah senilai,

Dari: 3.000 keping emas, 50 kuda, 50 zirah

Menjadi: 465.000 keping emas, 365 kuda, dan 360 budak

Pergerakan Al-Mukhtar Al-Tsaqafi

Al-Mukhtar mendasari pergerakannya sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Sumber kekuatan beliau adalah dari kelompok Syiah yang menuntut balas atas perlakuan pemerintahan kepada Sayyidina Husein bin Ali di Karbala.

Tetapi kemudian beliau sempat ditangkap dan dipenjara lalu dibebaskan oleh Abdullah bin Umar bin Khattab. Selama beliau dipenjara, pergerakan beliau diteruskan oleh salah satu sahabat nabi yaitu Sulaiman bin Shard namun beliau tewas terbantai oleh pasukan Abdullah bin Ziyad.

Setelah dibebaskan dari jeruji besi, Al-Mukhtar dengan tekad yang tak tergoyahkan segera mengorganisir kembali pasukannya. Dia tidak sekadar membentuk pasukan, tetapi menciptakan kekuatan yang penuh keseriusan dan ketegasan dalam menegakkan keadilan atas pembunuhan cucu Nabi.

Dalam waktu yang sangat singkat, keberanian dan ketegasan pasukan yang dipimpin oleh Al-Mukhtar terbukti luar biasa. Mereka berhasil membubarkan sepenuhnya pasukan lawan dan menegakkan hukuman mati atas perbuatan mereka terhadap cucu Nabi. Bahkan Umar bin Sa’ad, yang memimpin pasukan dalam tragedi Karbala, tidak luput dari hukuman yang pantas atas peranannya dalam kejahatan tersebut.

Setelah peristiwa tersebut, terjadi pertempuran dahsyat antara pasukan Al-Mukhtar dan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Abdullah bin Ziyad. Dengan perbedaan pasukan mencapai 10 kali lipat, mereka berhasil memenangkan pertempuran tersebut. Pertempuran tersebut kemudian dikenal dengan nama perang Al-Khazir.

Walaupun sempat bergabung dengan Abdullah bin Zubair di Hijaz, masa pergerakan Al-Mukhtar berakhir disebabkan oleh penghianatan Abdullah bin Zubair yang takut bila beliau kalah eksis dalam hal kekuatan. Abdullah bin Zubair mengutus saudaranya Mush’ab bin Zubair untuk mengepung kediaman Al-Mukhtar di Kuffah, hingga akhirnya wafat dalam pengepungan tersebut.

Demikianlah tampaknya dinamika kekuasaan dan pengaruh Bani Umayyah pada tahun 684-685 Masehi. Di tengah gejolak pemberontakan yang merajalela di berbagai wilayah, kecuali Syam, Palestina, dan Mesir, kekuasaan Bani Umayyah berada dalam keadaan terpecah belah. Namun, sinergi kekuatan mulai terbangun kembali ketika pasukan kekhalifahan berhasil menghentikan gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Abdullah bin Zubair. []


Sumber:

1. Dr. Thaqqusy, Muhammad Suhail. 2022. Sejarah Islam: Dari Arab Pra-Islam Hingga Runtuhnya Khilafah Utsmani. Jakarta Selatan: PT Qaf Media Kreativa.

2. Al-Sayyid, Kamal. Kisah-kisah Terpuji Sahabat Nabi.

----------------

Penulis: Muhammad Iqbal Rabbani

Editor: Kholaf Al-Muntadar