Sejarah Singkat Awal Mula Berdirinya Muslimat NU

 
Sejarah Singkat Awal Mula Berdirinya Muslimat NU
Sumber Gambar: MuslimatNU, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Rijal Mumazziq Z, ketua LTN PCNU Surabaya menceritakan bahwa, secara resmi Muslimat NU atau yang dulu disebut Nahdlatul Ulama Muslimat memang baru lahir pada 29 Maret 1946, berbarengan dengan Muktamar ke-16 di Purwokerto, namun fase perintisannya dimulai sejak muktamar XIII di Menes, Banten, 1938.

Muktamar NU ke-XIII dikenang sebagai salah satu muktamar yang dinamis. Meski lokasinya di wilayah Menes, Banten, yang tergolong terpencil saat itu, namun muktamar ini menghasilkan beberapa keputusan penting, di antaranya di bidang politik (menolak terlibat di Volksraad (Dewan Rakyat) hingga solidaritas Palestina); pendidikan, dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam mengakses pengetahuan dan hak berorganisasi, dan beberapa keputusan lainnya.

Dalam muktamar di Menes ini, kaum ibu bukan hanya terlibat dalam pemenuhan logistik dan tenaga di balik layar saja, namun mereka secara aktif mengikuti beberapa persidangan. Sebagian besar memang hanya menjadi pendengar di balik tirai, tapi seorang perwakilan mereka tampil pidato di depan kyai-kyai sepuh.

Beberapa perwakilan ibu-ibu ini kemudian menemui KH. Abdul Wahab Chasbullah dan menyampaikan perlunya wadah yang bisa menghimpun kaum wanita ini. Oleh Kyai Wahab, usul ini ditampung dan dijelaskan bahwa saat itu meskipun wadah kaum hawa dirasa penting, namun harus melewati fase tarik ulur lobi karena beberapa kyai juga tidak menyepakati organisasi bagi kaum wanita ini.

Karena kaum ibu yang ikut menghadiri muktamar jumlahnya banyak, akhirnya diputuskan membuat sebuah acara di mana di dalamnya Kyai Wahab memberikan sambutan atas nama NU.

“Di kalangan Islam, bukan hanya kaum bapak saja yang harus dan wajib mempelajari dan menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai hamba Allah, tetapi kaum ibu juga harus mengikuti langkah gerak kaum laki-laki. Mereka harus sama-sama menjalankan segala apa yang sudah diwajibkan oleh agama Islam,” demikian orasi KH. Abdul Wahab Chasbullah di hadapan ibu-ibu sebagaimana terekam dalam buku “Sejarah Muslimat Nahdlatul Ulama”.

Setelah Kyai Wahab berpidato, giliran Nyai. R. Djunaisih dari Bandung yang menyampaikan motivasi. Dengan gaya orasi yang memukau, muballighat ini menjelaskan asas dan tujuan NU serta bagaimana seharusnya kaum perempuan berkiprah dan berhak dididik sebagaimana kaum laki-laki.

Nyai R. Djunaisih juga mengemukakan pentingnya kaum perempuan Ahlussunnah wal Jamaah menghimpun diri ke dalam sebuah organisasi resmi. Pidato yang disampaikan di hadapan ribuan perempuan ini segera disambut hangat dan timbullah keinginan membuat sebuah wadah perkumpulan resmi.

Selain Kyai Wahab, KH. Muhammad Dahlan (Pasuruan. Kelak menjadi Menteri Agama 1967-1971) adalah di antara ulama yang telaten mendampingi dan membimbing kaum ibu ini hingga berhasil mendirikan wadah resmi.

Sejak awal, Kyai Wahab melihat bahwa sudah saatnya organisasi yang diperuntukkan kaum perempuan Ahlussunnah wal Jamaah didirikan. Apalagi beberapa organisasi kebangsaan maupun ormas yang bercorak keagamaan masing-masing sudah memiliki sayap organisasi bagi kaum perempuan.

Meskipun keterlibatan kaum hawa ini menimbulkan pro-kontra di kalangan para kyai NU, namun “Nahdlatoel Oelama Bahagian Moeslimat” (NOM) ini kemudian dirintis dengan meneguhkan tujuan sebagai berikut:

".... mendidik dan mengajar kaum muslimat agar menjadi isteri dan ibu yang utama dari ahlussunnah wal jamaah; mengadakan pengajaran dan pendidikan, kursus dan dakwah; dan mengusahakan kerajinan dan jalan mendapat rezeki yang halal."

Demikian tujuan NOM yang tertera dalam “Berita Nahdlatoel Oelama” (No. 2. th. 9, 13/ 027).

Perintisan organisasi bagi kaum perempuan ini kemudian juga didukung dengan keputusan bahtsul masail Muktamar NU yang digelar pada 13 Rabiuts Tsani 1357 H bertepatan dengan 12 Juli 1938 (satu bulan usai Muktamar Menes) yang memutuskan wajib hukumnya bagi tiap umat Islam, laki-laki maupun perempuan menjadi anggota organisasi yang berasaskan Ahlussunnah wal Jamaah untuk dapat mengerjakan amar makruf nahi munkar dan sebagai sarana menjaga keislamannya. Wallahu A’lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 28 Januari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar