Menelusuri Sejarah yang Tenggelam di Aliran Sungai Batee Iliek

 
Menelusuri Sejarah yang Tenggelam di Aliran Sungai Batee Iliek

LADUNI. ID, SEJARAH-Kota SAMALANGA merupakan daerah yang terkenal dengan Kota Santri dan merupakan benteng dan kekuatan muslim dengan banyaknya berdiri dayah dihiasi mercusuarnya Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga bersama “saudara kandungnya” IAI Al-Aziziyah Samalanga.


Mengupas Samalanga tidak dilupakan sejarah dahulu Samalanga juga menjadi benteng kokoh pertahanan melawan kaphee dalam balutan Prang Fisabillah tepatnya Kuta Glee.

Merangkai sejarah merupakan merabitah (membuka kembali kejadian puluhan tahun silam) untuk menjadi bahan renungan dan merefleksi diri jati diri anak bangsa, siapa kita sebenarnya dan endatu kita.

Mendengar benteng kokoh Kuta Glee, tidak salah kita hadirkan untaian pena endatu merangkai secuil kisah dalam bait indahnya:

“Teungku Cut Sa’id yang ato km Yang ato rakan kameuteuntee
Dalam kuta gle that meuceuhu, Yang ato bak u dum meuribee
Dalam kuta gle that meusigak, Ateuh seulambak le that guree
Kafe dum jiplueng keudeh u laot/ Geulet di likot meuree-ree…”

Itu sepenggal syair Aceh tentang kisah Kuta Gle. Bukit itu bekas benten pertahanan pejuang Aceh, dan selama 30 tahun mampu bertahan melawan Belanda. Benteng itu adalah bukit yang terletak bagian hulu sungai Batee Iliek Samalanga, perbatasan Pidie Jaya-Bireuen.

Kisah tentang seorang pahlawan pimpinan perang Kuta Gle Tgk. Cut Sa’id. Juga digambarkan bagaimana serdadu Belanda kalah telak menghadapi ketangguhan pejuang Aceh di Samalanga.

Samalanga ketika itu termasuk wilayah otonom yang diberi kuasa penuh oleh Sulthan Aceh kepada raja Teuku Chik Bugis, tapi dalam menjalankan pemerentahan Teuku Chik Bugis mempercayakan pada seorang tokoh wanita bernama Pocut Meuligoe.

Mendengar nama kedua tokoh ini saja, Belanda keder karena keberanian mereka. Belanda sendiri ingin menguasai Samalanga karena wilayah ini sangat strategis dan maju dalam bidang perdagangan.

Ketika Van Der Heijden diangkat Pemerintah Hindia Belanda menjadi Gubernur/Panglima Perang untuk Aceh, sasaran pertamanya adalah menaklukkan Samalanga. Tahun 1876 Van Heijden menyerang Samalanga dengan mengerahkan kekuatan tiga Batalion tentara.

Tiap Batalion terdiri tiga Kompi yang masing-masing kompi berjumlah 150 pasukan. Namun sekian kali mereka menyerang, tak berhasil menguasai Samalanga. Serdadu Belanda mati, termasuk seorang Letnan bernama Aj. Richello yang dipancung kepalanya oleh seorang ulama besar Haji Ahmad. Namun ulama ini juga syahid dalam agresi pertama Belanda ke Samalanga.

Pada kesempatan itu, mereka yang berada dalam sungai dicincang dengan klewang dan senjata tajam lainnya. Dan yang sedang mendaki bukit menuju ke benteng dibunuh dengan menggulingkan pohon-pohon kelapa dan batu-batu besar yang telah dipersiapkan, sehingga menyebabkan air sungai Samalanga menjadi kemerahan sampai ke muara pada saat pertempuran itu. Heroiknya endatu memusuhi semangat jihad, lantas bagaimana jihad kita melawan Kebodohan?

Sejarah juga mencatat bagaimana para pejuang Samalanga tak dapat dikalahkan, maka tahun 1877 Belanda kembali menyusun kekuatan menyerbu dengan melibatkan tiga Batalion tentara, pasukan marenir dan pasukan meriam ditambah 900 orang hukuman yang diikutkan dalam penyerangan.

Setelah sebulan pertempuran, Belanda hanya bisa menguasai Blang Temulir dekat kota Samalanga. Ratusan serdadu colonial mati, dan Van Der Heijden sendiri luka berat, bahkan mata kirinya mengalami kebutaan akibat terkena peluru pasukan Aceh. Ini kemudian si Belanda Van Der Haijden disebut orang Aceh dengan nama Jendral buta siblsah. lantas bagaimanakah kisah selanjutnya?

***Helmi Abu Bakar el-Langkawi, Dikutip dari berbagai sumber.