Penjelasan Hukum Tentang Poliandri bagi Wanita

 
Penjelasan Hukum Tentang Poliandri bagi Wanita
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Poliandri, praktik di mana seorang wanita memiliki lebih dari satu suami secara bersamaan, telah menjadi subjek perdebatan dalam konteks hukum, budaya, dan agama di berbagai masyarakat di seluruh dunia. Secara umum, banyak sistem hukum menganggap poliandri sebagai ilegal atau tidak diakui secara resmi. Namun, ada beberapa pengecualian di mana poliandri diakui, terutama dalam beberapa budaya dan agama yang mengizinkan atau bahkan mendorong praktik ini.

Dalam konteks hukum modern, kebanyakan negara menganggap poliandri sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip monogami yang umumnya diakui dalam pernikahan. Hal ini sering kali berkaitan dengan aturan pernikahan dan keluarga yang diatur oleh negara, yang biasanya menetapkan bahwa pernikahan adalah ikatan antara dua individu, baik dalam hukum sipil maupun agama. Oleh karena itu, poliandri sering dianggap sebagai tindakan yang melanggar hukum pernikahan dan dapat berujung pada konsekuensi hukum bagi pihak yang terlibat.

Namun, ada beberapa pengecualian di mana poliandri diakui dalam konteks budaya dan agama tertentu. Misalnya, dalam beberapa masyarakat di Nepal, poliandri telah menjadi bagian dari tradisi yang diakui dan diterima secara sosial. Dalam beberapa kasus, poliandri diatur oleh hukum adat setempat dan dianggap sebagai cara untuk mempertahankan harta keluarga atau untuk menjaga keseimbangan populasi dalam masyarakat yang memiliki jumlah wanita lebih banyak dari pada laki-laki.

Meskipun demikian, kontroversi masih mengelilingi poliandri, terutama dalam hal hak dan perlindungan perempuan. Beberapa kritikus menganggap bahwa dalam beberapa kasus, poliandri dapat menjadi bentuk eksploitasi terhadap perempuan, terutama jika mereka dipaksa atau tidak memiliki kebebasan untuk memilih pasangan atau menolak poligami. Oleh karena itu, meskipun dalam beberapa konteks poliandri diakui, penting untuk memperhatikan hak-hak individu, kesejahteraan, dan persamaan gender dalam setiap regulasi yang terkait dengan bentuk-bentuk pernikahan yang kompleks ini.

Dalam pandangan ilmu fiqih, misal perempuan yang melakukan hubungan dengan suami kedua dan ketiga, tetap dihukumi zina.

I’anah At-Thalibin III/280:

(و) شرط (في الزوجة) أي المنكوحة (خلو من نكاح وعدة) من غيره

(قوله خلو من نكاح وعدة) أي ولو بادعائها فيجوز تزويجها ما لم يعرف لها نكاح سابق فإن عرف لها وادعت أن زوجها طلقها أو مات وانقضت عدتها جاز لوليها الخاص تزويجها ولا يزوجها الولي العام وهو الحاكم إلا بعد ثبوت ذلك عنده كما قال ز ي اه

Disyaratkan pada (calon) istri yang hendak dinikahi tidak dalam status menikah dan dalam masa iddah (Tidak dalam status menikah dan dalam masa iddah) meskipun dengan pengakuannya, maka boleh menikahkannya selama tidak diketahui dia telah menikah dengan lelaki yang pertama, bila ia diketahui telah menikah dan ia mengaku suaminya telah mentalaknya atau telah meninggal dunia serta telah usai masa iddahnya maka boleh bagi wali khasnya menikahkannya tapi tidak bagi wali ‘am-nya (hakim) kecuali setelah terdapat kejelasan pastinya akan status wanita tersebut menurutnya.

Nihaayah Az-Zain I/302:

(و) شرط (في الزوجة خلو من نكاح) فلو أذنت المرأة لوليين فأنكحها أحدهما رجلا والآخر رجلا آخر فإن وقع نكاحهما معا أو جهل السبق والمعية أو عرف سبق أحدهما ولم يتعين وأيس من تعينه فالإنكاحان باطلان بخلاف ما إذا أذنت لأحدهما فيتعين الصحة له فإذا زوج الآخر لم يصح وإن عرف عين السابق ببينة أو تصادق معتبر ولم ينس فهو الصحيح فإن نسي وجب التوقف حتى يتبين فلا يجوز لواحد منهما وطؤها ولا يجوز لثالث نكاحها قبل أن يطلقاها أو يموتا أو يطلق أحدهما ويموت الآخر وتنقضي عدتها ممن دخل بها أو مات عنها

Disyaratkan pada (calon) istri yang hendak dinikahi tidak dalam status menikah, bila seorang wanita memberi izin pada kedua walinya untuk menikahkannya, kemudian salah seorang walinya menikahkannya dengan seorang lelaki dan seorang walinya lain menikahkannya dengan lelaki lainnya, bila pernikahannya terjadi bersamaan, atau tidak diketahui mana pernikahan pertamanya atau diketahui hanya saja lelaki yang menikahi pertamanya tidak jelas maka kedua pernikahannya dihukumi batal.

Berbeda saat ia memberi izin pada salah seorang dari walinya kemudian ia berstatus istri dari suami sahnya maka bila lelaki lain menikahinya tidaklah sah pernikahannya. Bila diketahui keberadaan kejelasan suami pertamanya dengan bukti kuat maka pernikahan dengannyalah yang sah. Bila terlupakan kejelasannya maka ditangguhkan hingga menjadi jelas kesemuanya dan dalam masa penangguhan ini salah seorang dari suaminya tidak diperkenankan menggaulinya.

Dan bagi lelaki ketiga tidak boleh menikahinya sebelum kedua suaminya mentalaknya, atau keduanya meninggal atau salah seorang mentalaknya dan seorang lagi meninggal dunia dan telah usai masa iddahnya dari suami yang telah menggaulinya atau mati meninggalkannya. Wallahu A'lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 7 April 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar