Imam Ghazali dan Falsafah Ekonomi Islam

 
Imam Ghazali dan Falsafah Ekonomi Islam

LADUNI.ID, Jakarta - Sejak manusia mendiami bumi, manusia dihadapkan pada persoalan bagaimana memelihara, mempertahankan dan menyambung kehidupan. Bermula dari individu kemudian ada kerja sama sebagai kafilah dan semakin lama terus berkembang.

Seiring bertambahnya manusia, persaingan mulai muncul. Keadaan menuntut manusia bekerja keras, bersaing, bertikai bahkan berperang untuk mempertahankan dan menyambung kehidupan duniawi.

Dunia makin tua dan telah panjang jarak yang ditempuhnya. Sejak abad pertengahan dan kini telah berubah menjadi semakin kompleks dengan berkembangnya ilmu-ilmu kemakmuran indrawi yang bernama ekonomi.

Ekonomi merupakan aktivitas yang boleh dikatakan sama tuanya dengan keberadaan manusia di muka bumi. Tetapi ilmu ekonomi baru dikenal manusia ketika tahap perkembangan peradaban tertentu mencapai kehidupan manusia.

Perbedaan prinsip ekonomi konvensional dan ekonomi Islam terletak pada landasan filosofinya, masing-masing didasarkan atas pandangan yang berbeda. Masalah ekonomi muncul sebab adanya keinginan manusia yang tidak terbatas, sementara Islam memandang bahwa keinginan manusia itu terbatas.

Seperti yang termaktub dalam QS Al Qomar:49

اِناَّ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَهُ بِقَدَرٍ

"Sungguh segala sesuatu telah Kami ciptakan dengan kadar (yakni ketentuan dan sistem yang serasi serta tujuan yang benar)

Perbedaan cara pandang menentukan hasil akhir sebuah konsep. Konsep tentang tujuan manusia diciptakan dan bagaimana manusia mencapai tujuan. Imam Ghazali memiliki jawaban atas pertanyaan fundamental tersebut dengan meletakkan landasan tentang falsafah ekonomi Islam.

Menurut Imam Ghazali tujuan hidup manusia adalah menggapai keridaan Tuhan dan mencapai keselamatan di akhirat. Adapun sarana untuk menggapai akhirat salah satunya ialah mencari nafkah (halal), metodenya dengan menjalankan aktivitas ekonomi berlandaskan syariah.

لن ينال رتبه القتصاد من لم يلازم في طلب المعيشة منهج السداد ولن ينتهض من طلب الدنيا وسيلة الى الخرة وذريعة ما لم يتادب في طلبها باداب الشريعة

Tidak seorang pun yang mampu mencapai derajat muqtasid kecuali dalam mencari nafkah kehidupannya senantiasa berjalan di atas jalan yang benar dan lurus (mencari harta yang halal). Dan tak seorang pun akan berhasil menjadikan pencarian nafkah sebagai sarana kehidupan akhiratnya, kecuali senantiasa menyertai usahanya (aktivitas ekonomi) dengan adab (etika) yang sesuai dengan syariah. (Ihya II, 62)

Akidah Islam (akhirat) dengan persoalan kehidupan ekonomi (dunia) memiliki hubungan yang sangat erat yakni hubungan antara sarana dan tujuan. Maka dari itu aktivitas ekonomi menjadi hal yang penting dalam kehidupan manusia bahkan bagi keselamatan akidah itu sendiri.

Kegiatan ekonomi bagi manusia merupakan kebutuhan yang sifatnya primer. Bukan yang sebagaimana disalahpahami oleh banyak orang yang menganggap bahwa dunia sebagai kesenangan yang menipu. Akibatnya umat muslim tidak banyak menguasai sektor perdagangan dan keuangan.

Imam Ghazali mengaitkan bahwa tujuan manusia ialah akhirat. Adapun syarat sampainya manusia kepada Tuhan yaitu dengan ilmu dan amal. Seperti penjelasan beliau :

وكل ذلك لا يمكن الا بصحة البدن لا تنال الا بقوت وملبس ومسكن ويحتا ج كل واحد الى اسبا ب فالقدر الذي لا بد منه

Keduanya tersebut tidak akan didapatkan kecuali dengan keselamatan fisik (kesehatan badan), keselamatan fisik tidak mungkin didapatkan kecuali dengan makan dan minum sesuai dengan kebutuhannya, makanan dan tempat tinggal. (Ihya III, 215)

Akan tetapi Imam Ghazali juga mengingatkan, manusia yang mudah terbujuk dunia, sebagai perantara mencapai tujuan (akhirat) — termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi — dapat menjerumuskan manusia ke dalam keserakahan jika salah memahaminya.

Konsep perantara (dunia) dalam pandangan Imam Ghazali untuk mencapai tujuan (akhirat) sangat relevan disaat sekarang banyak manusia lupa hakikat tujuan hidupnya. Keserakahan menumpuk harta duniawi dengan mengeksploitasi alam (sumber daya) akhirnya memunculkan dampak negatif yang merusak sumber daya itu sendiri.

Kasus demi kasus perusakan dan kerusakan sumber daya alam sebagai objek eksploitasi atas nama pertumbuhan ekonomi adalah wujud keserakahan manusia semata. Kegiatan ekonomi yang seharusnya memberikan maslahat bagi masyarakat pada akhirnya justru mendatangkan madarat. Bencana alam, dan rusaknya ekosistem menghantui generasi ini dan generasi selanjutnya.

Aktivitas ekonomi untuk memakmurkan dunia hendaknya dilakukan secukupnya, oleh sebab itu manusia harus membatasi kebutuhannya, menahan keinginannya, membunuh keserakahan dalam jiwanya akan dunia.

Analisis Imam Ghazali cenderung dilandasi sufisme. Inilah fondasi falsafah ekonomi Islam. Supaya manusia tidak menjadi homo economicus akan tetapi menjadi insan kamil yang tidak diperbudak dunia. Tetap menjadi tuan bagi nafsunya bukan sebaliknya.

Pandangan ekonomi Imam Ghazali ini memberikan ruh dan perspektif yang tepat dalam melihat persoalan ekonomi. Dan sangat relevan untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat secara umum. (Referensi buku Ekonomi Al Ghazali)

Wallahu a'lam


*) Oleh Neyla Hamadah, Mahasiswi Jurusan Manajemen UNU Yogyakarta