Mengapa Tak Boleh Sakit di Perantauan? Begini Alasannya

 
Mengapa Tak Boleh Sakit di Perantauan? Begini Alasannya

LADUNI.ID, Jakarta - Sakit di negeri orang sungguh tidak enak. Sakitnya sendiri sudah tidak enak, ditambah lagi dengan ketidak-enakan lainnya. Mulai dari biaya yang mahal, ketidaklancaran komunikasi, jauh dari kerabat, dan perlakuan budaya yang kadang kurang menyenangkan. Sejumlah orang Indonesia yang sakit di Mesir sering mengalami ketidakenakan tersebut.

Salah seorang staf lokal KBRI saya lihat berjalan perlahan sambil agak membungkuk, ketika saya berkunjung ke rumahnya. Sudah beberapa hari dia tidak masuk kerja dikarenakan rasa sakit di bagian perut. Badannya terasa lemas, dan agak demam. Dia kenal sebagai pekerja keras, sehingga ada yang menyebutnya sebagai orang Indonesia yang paling sibuk di Mesir.

Karena begitu kerasnya ia bekerja, sampai banyak yang menduga ia terkena penyakit liver. Tetapi sudah dibawa ke beberapa dokter, diagnosisnya selalu berbeda. Ada yang menduga kena fungsi livernya, ada yang mengatakan kena ginjalnya, dan ada yang mendignosis kena batu pancreas sehingga disarankan untuk segera operasi. Tetapi, ia justru ketakutan untuk mengambil keputusan karena bingung harus ikut dokter yang mana.

Sebenarnya dari segi biaya, ia tidak bermasalah karena biayanya ditanggung oleh kantor termpatnya bekerja. Tetapi, masalahnya adalah jauh dari keluarga, karena istrinya berada di Indonesia. Ditambah lagi keraguannya untuk berobat di rumah sakit setempat karena menurutnya ilmu kedokteran Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan Meskir, terbukti sejumlah kawannya mengalami kesalahan diagnosis penyakit sehingga terjadi malpraktek yang fatal. Akhirnya ia memilih pulang ke tanah air untuk berobat.

Para mahasiswa indonesia yang sakit di Mesir kondisinya lebih memprihatinkan. Salah satunya, karena meraka tidak punya cukup biaya untuk berobat. Karena itu, kebanyakan mereka tidak berobat ke rumah sakit. Mereka memanfaatkan tenaga penyembuh yang ada di kalangan mahasiswa sendiri. Untunglah di antara mereka ada yang memiliki keahlian sebagai penyembuh. Mulai dari ahli pijat, tusuk jarum, sampai tenaga medis. Semuanya enggan dibayar. Atau setidaknya-tidaknya enggan memasang tarif. Sehingga lebih memungkinkan untuk kalangan mahasiswa. Mereka menerima bayaran seikhlasnya saja.

Beberapa orang itu sangat populer di kalangan mahasiwa. Yang paling sering ditangani adalah penyakit-penyakit otot dan tulang disebabkan main sepak bola atau kecelakaan ringan. Ada yang terkilir, memar, sampai patah tulang. Dibawalah si pasien kepada mereka, atau yang lebih sering si penyembuh lah yang mendatangi pasien.

Saya sendiri pernah terkena serangan otot punggung bagian bawah, yang menyebabkan saya seperti lumpuh, tidak kuat berjalan. Saat itu, saya berwudhu sambil membungkuk di kamar mandi, tiba-tiba otot punggung bagian tulang lumbar saya seperti kejepit. Ada yang bilang kejang alias spasme. Saya pun hanya bisa berbaring.

Lantas, saya tanya kepada kawan saya mahasiswa Al-Azhar, apakah ada ahli akupuntur di Kairo. Karena, yang begini ini biasanya bisa diatasi oleh akupunturis dengan cepat. Ia menawarkan seorang mahasiswa yang ahli refleksi dan sekaligus akupunturis. Sejam kemudian dia datang ke apartemen saya. Dan saya diterapi sekitar 2 jam. Alhamdulillah, tidak sampai seminggu saya sudah pulih kembali.

Dalam kasus-kasus yang lebih berat, mau tidak mau, para mahaswa harus memanfaatkan jasa rumah sakit. Tetapi kebanyakan rumah sakit, memiliki fasilitas yang kurang lengkap. “Kawan saya akhirnya meninggal, hanya karena terlambat memperoleh pertolongan oksigen. Tabung oksigennya tidak segera datang,” kata Rudi, yang punya pengalaman buruk saat mengantar kawannya yang sedang kritis.

Sejumlah mahasiswa wanita yang melahirkan di Kairo juga mengeluhkan pelayanan yang kurang menyenangkan. “Melahirkan di sini sangat menyakitkan mas. Bukan hanya karena proses melahirkannya, tetapi karena budaya mereka yang berbeda dalam menyikapi kelahiran. Ibu yang melahirkan tidak boleh menginap di rumah sakit. Hari itu melahirkan, hari itu juga harus pulang,” tutur Air, salah seorang mahasiswi beranak satu.

Dan yang paling mengibakan adalah, kasus salah seorang mahasiswa yang anaknya sedang sakit berat tetapi tidak mampu membayar. Sudah beberapa hari anaknya terbaring di rumah sakit, uang untuk membeli obat sudah menipis. Sehingga ia tidak mungkin membayar biaya rumah sakit dan dokter yang merawatnya. Maka, setelah melakukan negosiasi dengan pihak rumah sakit, biaya rumah sakit itupun akhirnya boleh dibayar dengan donor darah oleh sejumlah kawan mahasiswa yang berempati kepadanya.


Sumber: Agus Mustofa. Mitos dan Anekdot di Sekitar Umat Islam. Surabaya: PADMA Press, 2011