Pengertian, Hukum dan Niat Serta Tata Cara Bayar Zakat Fitrah

 
Pengertian, Hukum dan Niat Serta Tata Cara Bayar Zakat Fitrah
Sumber Gambar: Foto (ist)

Laduni.ID Jakarta - Salah satu kewajiban umat muslim di bulan Ramadhan harus menunaikan ibadah zakat fitrah. Zakat Fitrah adalah zakat yang harus dikeluarkan oleh setiap orang Islam pada saat menjelang hari raya Iedul Fitri.

Pengertian Zakat Fitrah

Zakat Fitrah, atau bisa juga disebut Shadaqah Fitrah, menurut istilah fiqh berarti: Shadaqah yang diwajibkan karena seseorang berbuka puasa Ramadlan. Pertama kali diwajibkan bersamaan dengan diwajibkannya puasa bulan Ramadlan, yaitu dua hari sebelum Hari raya Fitri tahun II Hijriyah.

Baca Juga: Hukum Penggunaan Dana Zakat untuk Usaha Produktif

Hikmah Zakat Fitrah:

Diantara hikmah disyariatkannya zakat fitrah antara lain:

1. Menolong (memberi santunan) kepada fuqara (orang-orang fakir) dan masaakin (orang-orang miskin) agar tidak meminta-minta pada saat Hari raya Fitri
2. Membuat mereka bergembira disaat semua orang Islam bergembira atas datangnya Hari raya Fitri
3. Membersihkan diri kita dari perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang tidak baik setelah berlalunya bulan suci Ramadlan
4.  Menambal/menutup cacat (kekurangan-kekurangan) yang kita lakukan selama bulan suci Ramadlan, sebagaimana sujud sahwi menambal/menutup kekurangan-kekurangan yang dilakukan di dalam shalat
5. Menghantarkan puasa kita sampai kepada Allah SWT. Sebab puasa Ramadlan akan bergelantungan antara langit dan bumi, dan tidak akan sampai kepada Allah SWT, sampai Zakat Fitrah ditunaikan.

Hukum Zakat Fitrah

Menurut kebanyakan (jumhur) Fuqaha (Ahli Fiqh), Zakat Fitrah hukumnya wajib bagi setiap muslim, baik merdeka atau hamba sahaya, laki-laki atau perempuan, anak kecil atau orang dewasa.

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh beberapa Hadits, antara lain: Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori: Dari Ibnu Umar RA “Sesungguhnya Rasulullah SAW. mewajibkan Zakat Fitrah, yaitu satu sha’ kurma kering atau gandum bagi setiap orang merdeka atau hamba sahaya, laki-laki atau wanita” – sebagian riwayat mengatakan – “atas anak kecil, orang dewasa, orang merdeka dan hamba sahaya”.

Syarat-syarat Wajibnya Zakat Fitrah

Zakat Fitrah wajib dikeluarkan dengan syarat-syarat sebagi berikut:

1. Islam. Karena itu Zakat Fitrah tidak diwajibkan kepada orang kafir. Adapun orang yang murtad, Zakat Fitrahnya ditangguhkan sampai dia kembali menjadi Islam.

Namun, orang kafir tetap memiliki kewajiban membayar Zakat Fitrahnya orang-orang yang wajib dinafkahi, seperti istri dan anak-anaknya. Jadi, syarat Islam itu berlaku bagi orang yang wajib dinafkahi (mukhraj anhu) bukan bagi orang yang mengeluarkan Zakat Fitrah (mukhrij)

2. Mengalami hidup di sebagian bulan Ramadlan dan bulan Syawal. Zakat Fitrah wajib dikeluarkan bagi orang yang meninggal dunia setelah matahari terbenam pada malam Hari raya Fitri. Begitu juga bagi anak yang lahir sebelum terbenamnya matahari dan meninggal setelah matahari terbenam pada malam Hari raya Fitri.

3. Mempunyai kelebihan makanan atau harta dari yang diperlukan di hari raya dan malam hari raya. Maksudnya mempunyai kelebihan dari yang diperlukan untuk dirinya sendiri dan orang-orang yang wajib ditanggungnafkahnya, pada malam dan siang hari raya. Baik kelebihan itu berupa makanan, harta benda atau nilai uang.

Yang dimaksud “ mempunyai kelebihan di sini “ adalah kelebihan dari kebutuhan pokok sehari-harinya. Maka barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari, seperti rumah yang layak, perkakas rumah tangga yang diperlukan, pakaian sehari-hari dan lain-lain tidak menjadi perhitungan. Artinya, jika tidak mampu membayar zakat fitrah, harta benda di atas tidak wajib dijual guna mengeluarkan zakat.

Jika dilihat dari tiga syarat diatas, maka bisa diuraikan hal sebagai berikut: kewajiban Zakat Fitrah sama sekali tidak ada kaitannya dengan faqir miskin. Banyak dari masyarakat kita yang tidak mau mengeluarkan Zakat Fitrah untuk dirinya sendiri, dan atau keluarga yang nafkahnya menjadi kewajibannya, dengan alasan mereka faqir miskin yang hanya berhak menerima zakat. Hal ini sering disalahpahami oleh kebanyakan masyarakat kita.

Baca juga: Hukum Menyalurkan Zakat untuk Kepentingan Umum

Orang Yang Wajib Mengeluakan Zakat Fitrah

Zakat Fitrah diwajibkan bagi setiap orang Islam yang merdeka dan memiliki kelebihan biaya hidup pada Hari raya Fitri dan malamnya (sebagaimana penjelasan diatas), baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang-orang yang nafkah mereka menjadi tanggung jawabnya. Hal ini sesuai dengan Qaidah: “Setiap orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada orang lain, maka wajib pula baginya mengelurkan Zakat Fitrah untuknya”.

Namun qaidah ini memiliki pengecualian, yaitu: Istri ayah (ibu tiri). Anak tiri wajib memberi nafkah padanya, namun tidak wajib mengeluarkan Zakat Fitrah untuknya. Termasuk dalam pengecualian ini adalah hamba sahayanya, kerabat dan istri yang kafir.

Kadar (Takaran) Zakat Fitrah Yang Wajib Dikeluarkan

Kadar (takaran) Zakat Fitrah yang wajib dikeluarkan adalah 1 (satu) sha’ atau empat mud dan berupa bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, kurma dan lain-lain yang berlaku secara umum di daerah dimana kita tinggal.

Sha’ adalah nama suatu takaran persegi empat yang panjang lebarnya 14.65 Cm³ dan sepadan dengan sekitar 2.75 Kg beras.

Jika seseorang mempunyai kelebihan mu’nah, namun kurang dari satu sho’, maka kelebihan tersebut wajib dikeluarkan sebagai Zakat Fitrah untuk dirinya sendiri, meskipun hanya satu mud (sekitar 0,6875 Kg.).

Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah

Ada lima waktu dalam mengeluarkan Zakat Fitrah, yaitu:

Waktu wajib, jika menemui sebagian dari bulan Ramadlan dan sebagaian dari bulan syawal, artinya jika seseorang di saat matahari terbenam pada malam Hari raya Fitri dia sudah memenuhi syarat-syarat kewajiban Zakat Fitrah

Waktu fadlilah, pada Hari raya Fitri setelah shalat fajar dan sebelum melaksanakan shalat hari raya Fitri

Waktu jawaz, dimulai semenjak awal ramadlan

Waktu makruh, setelah shalat hari raya Fitri sampai saat terbenamnya mata hari, kecuali kalau ada kemaslahatan, seperti menunggu kerabat dekat atau orang faqir yang shaleh.

Waktu haram, setelah hari raya Fitri, kecuali kalau ada uzur syar’i, seperti tidak adanya orang yang berhak menerima zakat.

Syarat sahnya zakat Fitrah :

1. Niat.

Harus niat di dalam hati ketika mengeluarkan zakat, memisahkan zakat dari yang lain, atau saat memberikanzakat kepada wakil untuk disampaikan kepada yang berhak atau antara memisahkan dan memberikan.

 

– Niat zakat untuk diri sendiri :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنْ نَفْسِي / هَذَا زَكاَةُ مَالِي اْلمَفْرُوْضَةْ

“ Saya niat mengeluarkan zakat untuk diriku / ini adalah zakat harta wajibku “

Jika niat zakat fitrah atas nama orang lain, hukumnya diperinci sebagai berikut :

a.  Jika orang lain yang dizakati termasuk orang yang wajib ditanggung nafkah dan zakat fitrahnya, seperti istri, anak-anaknya yang masih kecil, orang tuanya yang tidak mampu dan setrusnya, maka yang melakukan niat adalah orang yang mengeluarkan zakat tanpa harus minta idzin dari orang yang dizakati. Namun boleh juga makanan yang akan digunakan zakat diserahkan oleh pemilik kepada orang-orang tersebut supaya diniati sendiri-sendiri.

b. Jika mengeluarkan zakat untuk orang yang tidak wajib ditanggung nafkahnya, seperti orang tua yang mampu, anak-anaknya yang sudah besar (kecuali jika dalam kondisi cacat atau yang sedang belajar ilmu agama), saudara, ponakan, paman  atau orang lain yang tidak ada hubungan darah dan seterusnya, maka disyaratkan harus mendapat idzin dari orang-orang tersebut. Tanpa idzin dari mereka , maka zakat yang dikeluarkan hukumnya tidak sah.

– Niat atas nama anaknya yang masih kecil :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنْ وَلَدِي الصَّغِيْرِ

“ Saya niat mengeluarkan zakat atas nama anakku yang masih kecil…”

– Niat atas nama ayahnya :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنْ اَبِي

“ Saya niat mengeluarkan zakat atas nama ayahku”

– Niat atas nama ibunya :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنء اُمِّي

“ Saya niat mengeluarkan zakat atas nama ibuku”

– Niat atas nama anaknya yang sudah besar dan tidak mampu :

نَوَيْتُ اَنْ اُخْرِجَ زَكاَةَ اْلفِطْرِعَنْ وَلَدِي اْلكَبِيْرِ

“ Saya niat mengeluarkan zakat atas nama anakku yang sudah besar”

 

2. Dikeluarkan kepada orang-orang yang berhak menerima zakat

Orang-orang yang berhak menerima zakat :

Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat dalam Al-Quran Allah Swt berfirman :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ.

a. Faqir

Faqir adalah orang yang tidak mempunyai harta atau pekerjaan sama sekali, atau orang yang mempunyai harta atau pekerjaan namun tidak bisa mencukupi kebutuhannya.

Misalnya dalam sebulan ia butuh biaya sebesar  Rp; 500.000, namun penghasilannya hanya mendapat  Rp; 200.000 (tidak mencapai separuh yang dibutuhkan).

Yang dimaksud dengan harta dan pekerjaan di sini adalah harta yang halal dan pekerjaan yang halal dan layak. Dengan demikian yang termasuk golongan faqir adalah :

Tidak mempunyai harta dan pekerjaan sama sekali

Mempunyai harta, namun tidak mempunyai pekerjaan. Sedangkan harta yang ada sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan selama umumnya usia manusia.

Mempunyai harta dan pekerjaan, harta saja atau pekerjaan saja namun harta atau pekerjaan tersebut haram menurut agama. Bagi orang yang mempunyai harta yang melimpah atau pekerjaan yang menjanjikan, namun haram menurut agama, maka orang tersebut termasuk faqir sehingga berhak dan boleh menerima zakat.

Tidak mempunyai harta dan mempunyai pekerjaan, namun tidak layak baginya. Seperti pekertjaan yang bisa merusak harga diri, kehormatan dan lain-lain.

b. Miskin.

Miskin adalah orang yang mempunyai harta atau pekerjaan yang tidak bisa mencukupi kebutuhannya dan orang-orang yang ditanggung nafkahnya.

Misalnya dalam sebulan ia butuh biaya sebesar  Rp; 500.000, namun penghasilannya hanya mendapat  Rp; 400.000 (mencapai separuh yang dibutuhkan).

c. Amil.

Amil zakat yaitu orang-orang yang diangkat oleh Imam atau pemerintah untuk menarik zakat kepada orang yang berhak menerimanya dan tidak mendapat bayaran dari baitul mal atau Negara.

Amil zakat meliputi bagian pendataan zakat, penarik  zakat, pembagi zakat dan lain-lain. Jumlah zakat yang diterima oleh amil disesuaikan dengan pekerjaan yang dilakukan alias memakai standart ujroh mistly (bayaran sesuai tugas kerjaannya masing-masing).

Syarat-syarat amil zakat :

Islam
Laki-laki
Merdeka
Mukallaf
Adil
Bisa melihat
Bisa mendengar
Mengerti masalah zakat (faqih / menguasai)

d. Muallaf

Secara harfiyah, muallaf qulubuhum adalah orang-orang yang dibujuk hatinya. Sedangkan orang-orang yang termasuk muallaf, yang nota bene berhak menerima zakat adalah :

Orang yang baru masuk Islam dan Iman (niat) nya masih lemah

Orang yang baru masuk Islam dan imannya sudah kuat, namun dia mempunyai kemuliaan dikalangankaumnya. Dengan memberikan zakat kepadanya, diharapkan kaumnya yang masih kafir mau masuk Islam.

Orang Islam yang melindungi kaum muslimin dari gangguan dan keburukan orang-orang kafir

Orang Islam yang membela kepentingan kaum muslimin dari kaum muslim yang lain yang dari golongan anti zakat atau pemberontak dan orang-orang non Islam.

Semua orang  yang tergolong muallaf di atas berhak menerima zakat dengan syarat Islam. Sedangakanmembujuk non muslim dengan menggunakan harta zakat itu tidak boleh.

e. Budak mukatab

Budak mukatab yaitu budak yang dijanjikan merdeka oleh tuannya apabila sudah melunasi sebagian jumlah tebusan yang ditentukan dengan cara angsuran. Tujuannya untuk membantu melunasi tanggungan dari budak mukatab.

f. Ghorim (orang yang berhutang)

Ghorim terbagi menjadi :

Orang yang berhutang untuk mendamaikan dua orang atau dua kelompok yang sedang bertikai.
Orang yang berhutang untuk kemaslahatan diri sendiri dan keluarga.
Orang yang berhutang untuk kemaslahatan umum, seperti berhutang untuk membangun masjid, sekolah, jembatan dan lain-lain.
Orang yang berhutang untuk menanggung hutangnya orang lain.

g. Sabilillah

Sabilillah yaitu orang yang berperang di jalan Allah dan tidak mendapatkan gaji. Sabilillah berhak menerima zakat untuk seluruh keperluan perang. Sejak berangkat sampai kembali, sabilillah dan keluarganya berhak mendapatkan tunjangan nafkah yang diambilkan dari zakat. Sedangkan yang berhak memberikan zakat untuk sabilillahadalah imam (penguasa) bukan pemilik zakat.

Keterangan :

Dikalangan ulama terdapat khilaf tentang makna fii sabilillah; Ada pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud fii sabilillah tiada lain adalah orang-orang yang menjadi sukarelawan untuk berperang di jalan Allah Swt dan tidak mendapatkan gaji, dan inilah pendapat mayoritas para ulama (pendapat yang kuat). Sebagian ulama mengatakanbahwa fii sabilillah adalah semua aktifitas yang menyangkut kebaikan untuk Allah sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Qaffal, seperti untuk sarana-sarana pendidikan dan peribadatan Islam. Dan pendapat ini adalah lemah.

h. Ibnu sabil (musafir)

Baca Juga: Penjelasan Hukum tentang Zakat Profesi

Ibnu sabil yaitu orang yang memulai bepergian dari daerah tempat zakat atau musafir yang melewati daerah tempat zakat dengan syarat :

1. Bukan bepergian untuk maksyiat
2. Membutuhkan biaya atau kekurangan biaya. Walaupun ia mempunyai harta di tempat yang ia tuju.

Orang-orang yang tidak berhak menerima zakat

1. Orang kafir atau murta
2. Budak / hamba sahaya selain budak mukatab
3. Keturunan dari bani Hasyim dan Bani Muthalib (para habaib), sebagaimana hadits shohih, Nabi Saw bersabda :

إِنَّ هَذِهِ الصَّدَقَاتِ إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ وَإِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلَا لِآلِ مُحَمَّدٍ

“ Sesungguhya shodaqah ini (zakat) adalah kotoran manusia dan tidak dihalalkan bagi Muhammad dan keluarga Muhammad “.

4. Orang kaya. Yaitu orang yang penghasilannya sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya.
5. Orang yang ditanggung nafkahnya. Artinya, orang yang berkewajiban menanggung nafkah, tidak boleh memberikan zakatnya kepada orang yang ditanggung tersebut.

Mekanisme pembagian zakat

            Apabila zakat dibagikan sendiri oleh pemilik atau wakilnya, maka perinciannya sebagai berikut :

– Jika orang yang berhak menerima zakat terbatas (bisa dihitung), dan harta zakat mencukupi, maka mekanisme mengeluarkan zakatnya harus mencakup semua golongan penerima zakat yang ada di daerah tempat kewajiban zakat. Dan dibagi rata antar golongan penerima zakat.

– Jika orang yang berhak menerima zakat tidak terbatas atau jumlah harta zakat tidak mencukupi, maka zakat harus diberikan pada minimal tiga orang untuk setiap golongan penerima zakat.

            Pemilik zakat tidak boleh membagikan zakatnya pada orang-orang yang bertempat di luar daerah kewajiban zakat. Zakat harus diberikan pada golongan penerima yang berada di daerah orang yang dizakati meskipun bukan penduduk asli wilayah tersebut.

           Sedangkan jika pembagian dilakukan oleh Imam (penguasa), baik zakat tersebut diserahkan sendiri oleh pemilik kepada Imam atau diambil oleh Imam, maka harus dibagi dengan cara sebagai berikut :

a. Semua golongan penerima zakat yang ada harus mendapat bagian
b. Selain golongan amil, semua golongan mendapat bagian yang sama.
c. Masing-masing individu dari tiap golongan  penerima mendapat bagian (jika harta zakat mencukupi)
d. Jika hajat dari masingf-masing individu sama, maka jumlah yang diterima juga harus sama.

Catatan :

Menurut pendapat Imam Ibnu Ujail Rh adalah :

1. Zakat boleh diberikan pada satu golongan dari beberapa golongan yang berhak menerima zakat.
2. Zakatnya satu orang boleh diberikan pada satu yang berhak menerima zakat.
3. Boleh memindah zakat dari daerah zakat.

Tiga pendapat terakhir boleh kita ikuti (taqlid) walaupun berbeda dengan pendapat dari Imam Syai’i . Mengingat sulitnya membagi secara rata pada semua golongan, apalagi zakat fitrah yang jumlahnya tidak begitu banyak.

Menunaikan Zakat Fitrah Menggunakan Uang

Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah penunaian zakat fitrah dengan uang.

Pertama, pendapat yang membolehkan. Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. (As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107; Ibnu Taimiyah,Majmu’ al-Fatawa, XXV/83).Dalil mereka antara lain firman Allah SWT ,”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (QS at-Taubah [9] : 103). Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal), yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. (Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4).

Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta pada hari seperti ini (Idul Fitri).” (HR Daruquthni dan Baihaqi). Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. (Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3).

Kedua, pendapat yang tidak membolehkan dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok (ghalib quut al-balad). Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295)

Baca Juga: Hubungan Antara Lembaga Zakat dan Amil Zakat Menurut Para Ulama

Karena ada dua pendapat yang berbeda, maka kita harus bijak dalam menyikapinya. Ulama sekaliber Imam Syafi’i, mujtahid yang sangat andal saja berkomentar tentang pendapatnya dengan mengatakan, ”Bisa jadi pendapatku benar, tapi bukan tak mungkin di dalamnya mengandung kekeliruan. Bisa jadi pendapat orang lain salah, tapi bukan tak mungkin di dalamnya juga mengandung kebenaran.”

Dalam masalah ini, sebagai orang awam (kebanyakan), kita boleh bertaqlid (mengikuti salah satu mazhab yang menjadi panutan dan diterima oleh umat). Allah tidak membebani kita di luar batas kemampuan yang kita miliki. “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”  (Al-Baqarah [2]: 286).

Sesungguhnya masalah membayar zakat fitrah dengan uang sudah menjadi perbincangan para ulama salaf, bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja. Imam Abu Hanifah, Hasan Al-Bisri, Sufyan Ats-Tsauri, bahkan Umar bin Abdul Aziz sudah membincangkannya, mereka termasuk orang-orang yang menyetujuinya. Ulama Hadits seperti Bukhari ikut pula menyetujuinya, dengan dalil dan argumentasi yang logis serta dapat diterima.(*)