Mengenal Abu Hamid Imam Al-Ghazali dan Pemikirannya tentang Tasawuf

 
Mengenal Abu Hamid Imam Al-Ghazali dan Pemikirannya tentang Tasawuf
Sumber Gambar: Twitter @WartaNU

Laduni.ID, Jakarta - Imam Al-Ghazali yang mempunyai nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Imam Al-Ghazali, lahir di kota Thus, salah satu kota di Khurasan (Persia) pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah (450 H/1058 M) dan wafat pada tahun 478 H/1085 M. Ayahnya adalah seorang wara’ yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri, pekerjaannya hanya sebagai pemintal dan penjual wol.

Ketika sang ayah wafat, Imam Al-Ghazali dan saudara kandungnya, Ahmad, masih dalam usia anak-anak. Namun ketika hendak wafat, ayahnya berwasiat kepada salah seorang teman dekatnya dari ahli sufi untuk mendidik dan membesarkan kedua anaknya tersebut.

Di masa anak-anak, Imam Al-Ghazali belajar kepada Ahwad bin Muhammad ar-Radzikani di kota Thus, kemudian belajar juga kepada Abi Nasr al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya kembali ke Thus lagi. Namun pengetahuan-pengetahuan yang ada di Thus, agaknya tidak mencukupi/memadai untuk membekali Imam Al-Ghazali. Untuk itu, ia kemudian pergi ke Naisabur, salah satu kota yang sangat terkenal ilmu pengetahuan pada zamannya.

Di sana, ia belajar tentang ilmu-ilmu yang popular pada saat itu, seperti tentang mazhab-mazhab fikih, ilmu kalam, ushul fiqhi, logika, dan ilmu Agama. Beliau berguru kepada Imam al-Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini, seorang ahli teologi Asy’ariah yang paling terkenal pada masa itu.

Ketika Imam Imam Al-Ghazali berusia 25 tahun, beliau diangkat menjadi dosen di sekolah Nizamiyah. Namun ketika gurunya al-Juwaini wafat, Imam Al-Ghazali kemudian pindah ke Mu’askar dan berhubngan baik dengan Nizam al-Mulk, yakni seorang perdana menteri Sultan Bani Sanjuk, yang kemudian mengangkatnya menjadi seorang guru besar di perguruan Nizamiyah Bagdad. 

Di kota Bagdad inilah, nama Imam Al-Ghazali semakin popular, pengajian halaqahnya semakin luas. Di kota ini pula ia mulai berpolemik, terutama dengan golongan Bathiniyah Islami’iliyah dan kaum filosof. Namun di kota ini juga Imam Al-Ghazali menderita penyakit krisis rohani, yang oleh orang Barat dikenal dengan skepticism. Akibat penyakit ini, ia menderita sakit selama enam bulan, sehingga dokter kehabisan daya megobatinya. Kemudian, ia meninggalkan semua jabatan yang disandangnya. Ia kemudian pergi ke Damaskus untuk beribadah dan berlangsung selama dua tahun.

Imam Imam Al-Ghazali memiliki daya ingat yang sangat kuat dan bijak dalam berhujjah. Ia digelari dengan sebutan “Hujjatul Islam” karena kemampuannya tersebut. Imam Imam Al-Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan, bahkan dia sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir serta meninggalkan kesenangan hidupnya demi mencari ilmu pengetahuan. 

Pemikiran Tasawuf Imam Imam Al-Ghazali

Setelah melalui perjalanannya dalam mencari kebenaran, akhirnya ia memilih jalan tasawuf. Menurutnya, jalan para sufilah yang paling hakiki karena merupakan paduan ilmu dengan amal. Juga tampak olehnya, bahwasanya mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah daripada mengamalkannya.

Bahkan keistimewaan khusus yang dimiliki para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, melainkan harus dengan ketersingkapan batin, keadaan rohaniah, serta pengantian tabiat-tabiat. Dengan demikian menurut Imam Imam Al-Ghazali, bahwasanya tasawuf merupakan semacam pengalaman maupun penderitaan yang riil.

Jalan (at-Thariq)

Menurut Imam Al-Ghazali, ada beberapa maqamat (jenjang) yang harus dilalui oleh seorang calon sufi. Pertama adalah tobat yang mecakup tiga hal, yakni sikap, ilmu, dan tindakan. Kedua ialah sabar, Imam Al-Ghazali menyebutkan ada tiga daya dalam jiwa manusia, yaitu daya nalar, daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat baik, dan daya yang melahirkan dorongan untuk berbuat jahat.

Ketiga ialah kefakiran, yaitu berusaha untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang diperlukan. Keempat zuhud, dalam keadaan ini seorang calon sufi harus meninggalkan kesenangan duniawi dan hanya mengharapkan kesenangan ukhwari, dan yang kelima ialah tawakal.

Menurut Imam Al-Ghazali, sikap tawakal lahir dari keyakinan yang teguh akan kemahakuasaan Allah. Sebagai pencipta, Allah berkuasa melakukan apa saja terhadap manusia. Karena itu manusia seharusnya berserah diri kepada Allah SWT.

Ma’rifah

Ma’rifah adalah pendekatan pada Tuhan atau hasil penyerapan jiwa yang mempengaruhi kondisi jiwa seorang hamba, yang akhirnya akan mempengaruhi seluruh aktivitas ragawi. Ma’rifah kepada Allah SWT dengan sendirinya adalah dzikir kepada Allah, karena ma’rifah ini berarti hadir bersama-Nya dan musyahadah kepada-Nya.

Menurut Imam Al-Ghazali sarana ma’rifat seorang sufi ialah kalbu, bukannya perasaan dan bukan pula akal budi. Kalbu menurutnya bukanlah bagian dari tubuh, melainkan percikan rohaniah ke-Tuhanan yang merupakan hakikat realitas manusia. Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali, kalbu ini merupakan cermin, sementara ilmu merupakan pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya.

Tingkatan manusia

Imam Al-Ghazali membagi manusia ke dalam tiga golongan, yakni kaum awam yang cara berfikirnya sederhana sekali, kaum pilihan yang akalanya tajam dan berfikir secara mendalam, kaum ahli debat atau ahl al-jadl.

Kebahagiaan

Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa kebahagiaan adalah sebuah tujuan akhir jalan para sufi, sebagai buah pengenalan terhadap Allah. Menurut Imam Al-Ghazali jalan menuju kebahagiaan ialah ilmu serta amal. Beliau menjelaskan bahwa seandainya anda memandang ke arah ilmu, niscaya anda akan melihatnya bagaikan begitu lezat. Sehingga ilmu itu dipelajari karena kemanfaatannya.

Pengaruh Tasawuf Imam Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali memiliki pengetahuan yang sangat luas dan dalam. Ia menguasai berbagai ilmu pengetahuan pada masanya, dan ia mampu mengungkapkannya secara menarik, seperti yang tercermin dalam karya-karyanya.

Dalam tasawuf, pilihan Imam Al-Ghazali jatuh kepada tasawuf sunni, yang mana berdasarkan doktrin Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Dari paham tasawufnya itulah beliau menjauhkan semua kecenderungan gnostis Ikhwanus Safa. Beliau juga menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ke-Tuhan-an menurut Aristoteles. Sehingga bisa dikatakan bahwasanya tasawuf Imam Al-Ghazali ini benar-benar bercorak Islam.

Menurut Duncan B. MacDonald bahwasanya luas dan kuatnya pengaruh tasawuf Imam Al-Ghazali di dunia Islam disebabkan karena beberapa hal. Pertama, Imam Al-Ghazali dapat membawa orang Islam kembali dari kegiatan skolastik mengenai beberapa dogma teologis kepada penafsiran/pengkajian kalam Allah dan sunah Nabi.

Kedua, dalam nasihat dan pengajaran moralnya, Imam Al-Ghazali memperkenalkan elemen-elemen al-khauf (takut) terutama kepada api neraka Jahannam. Ketiga, karena ketakutan dan pengaruhnyalah tasawuf memperoleh sebuah kedudukan kuat dan terhormat dalam Islam. Keempat, beliau membawa filsafat dan teologi filosofis yang bermula bersifat elitis ke dalam daratan pemikiran orang awam.

Melalui pendekatan sufistiklah, Imam Al-Ghazali kemudian berupaya mengembalikan Islam kepada sumber fundamental atau lebih konkritnya, Imam Al-Ghazali berusaha merumuskan ajaran-ajaran Islam yang dipenuhi muatan-muatan sufistik dengan bahasa yang mudah diterima oleh orang awam. Hal ini sangat menetukan, mengapa ajaran-ajaran tawasuf yang merupakan upaya spiritualisasi lslam banyak tersebar di berbagai wilayah dunia Islam hingga saat ini.

Oleh: Rini Saputri, Mahasiswi Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang