Rukhsah Ibadah bagi Orang yang Selalu Bepergian

 
Rukhsah Ibadah bagi Orang yang Selalu Bepergian
Sumber Gambar: Foto Taryn Elliott / Pexels (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Dalam Islam kita mengenal istilah rukhsah (keringanan) dalam hal beribadah bagi orang yang sudah memenuhi persyaratan untuk mendapatkan rukhsah tersebut. Salah satu kelompok orang yang mendapatkan rukhsah dalam beribadah seperti melaksanakah shalat dan puasa adalah golongan orang musafir (yang sedang dalam perjalanan) yang memenuhi syarat-syarat musafir secara hukum syara'.

Lalu bagaimana dengan orang yang hampir setiap saat menjadi musafir yang masafah al-qashri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qasar) atau orang yang memiliki 2 tempat tinggal yang jaraknya berjauhan dan masafah al-qashri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qasar) serta kedua tempat tinggalnya dihuni?

Berkaitan dengan kondisi tersebut berikut jawaban yang kami kutip dari keputusan Masail Diniyah Keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Pesantren Ihya Ulumuddin Kesugihan, Cilacap pada tanggal 23-26 Rabi'ul Awwal 1408 H/15- 18 November 1987 M sebagai berikut:

Baca Juga: Perbedaan Antara Ada', Qadha, dan I'adah dalam Shalat

Pertama: Orang yang selalu musafir (sejauh masafah al-qashri), maka dalam hal rukhshah qashar shalat, hukumnya lebih utama itmam (tidak mengqashar). Dan dalam hal rukhshah ifthar (tidak puasa), bila ada harapan dapat mengqadha puasanya di hari lain, maka ia boleh ifthar. Tetapi apabila harapan itu tidak ada, maka tidak boleh ifthar, demikian pendapat Imam Subki yang didukung Imam Ramli; sedang menurut Imam Ibn Hajar al-Haitami, boleh ifthar secara mutlak.

Kedua: Orang yang mempunyai dua atau lebih tempat tinggal yang ber­jauhan (sejauh masafah al-qashri), apabila sedang berada di tempat tinggal yang mana saja, maka hukumnya sama dengan orang yang muqim, karena dia tinggal di tempat tinggalnya sendiri. Dan apabila sedang pergi dari tempat tinggal yang lain maka selama masih dalam perjalanan dia termasuk musafir “munsyi al- safar”, artinya boleh melaksanakan rukhshah safar; namun untuk dapat meninggalkan shalat Jum’at dan boleh berbuka puasa, masih dis­yaratkan bahwa sebelum fajar ia harus sudah keluar dari batas desa yang bersangkutan.

Berikut keterangan kitab yang menjadi landasannya:

1. Hasyiyah Al-Bajuri ‘ala Fath Al-Qarib

وَخَرَجَ بِقَوْلِنَا وَلَمْ يُخْتَلَفْ فِيْ جَوَازِ قَصْرِهِ مَنِ اخْتُلِفَ فِيْ جَوَازِ قَصْرِهِ كَمَلاَّحٍ يُسَافِرُ فِيْ الْبَحْرِ وَمَعَهُ عِيَالُهُ فِيْ سَفِيْنَةٍ وَمَنْ يُدِيْمُ السَّفَرَ مُطْلَقًا كَالسَّاعِي فَإِنَّ اْلإِتْمَامَ أَفْضَلُ لَهُ خُرُوْجًا مِنْ خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ كَاْلإِمَامِ أَحْمَدَ

"Dan terkecualikan dengan ucapanku: Dan kebolehan mengqashar-nya tidak diperselisihkan. Seperti sopir kapal yang melakukan pelayaran bersama keluarganya di kapal, dan orang yang selalu bepergian seperti Sa’i (pengelana), maka menyempurnakan shalat (tidak mengqashar  itu lebih utama baginya karena keluar dari khilaf ulama yang mewajibkannya seperti Imam Ahmad RA"

2. Tuhfah Al-Muhtaj pada Hasyiyata Al-Syirwani wa Al-‘Abbadi

وَقَالَ السُّبُكِيّ بَحْثًا وَلاَ أَيْ وَلاَ يَجُوْزُ اْلإِفْطَارُ لِمَنْ لاَ يُرْجَى زَمَنًا يَقْضِيْ فِيْهِ  لِإِدَامَتِهِ السَّفَرَ أَبَدًا وَفِيْهِ نَظَرٌ ظَاهِرٌ فَاْلأَوْجَهُ خِلاَفُهُ

"Imam Subki berpendapat, tidak diperkenankan membatalkan puasa bagi orang yang tidak punya harapan di waktu lain untuk meng-qadha karena terus menerus bepergian. Dan dalam hal itu ada kajian ulang yang jelas. Pendapat yang lebih kuat  al-awjah adalah kebalikannya"

Baca Juga: Pendapat Tentang Kafirnya Orang yang Meninggalkan Shalat Wajib

3. Fath Al-Wahhab Syarh Manhaj Al-Thullab

وَلاَ أَيْ لاَ تَجِبُ الْجُمْعَةُ عَلَى مُسَافِرٍ غَيْرَ مَنْ مَرَّ وَلَوْ سَفَرًا قَصِيْرًا لِاشْتِغَالِهِ بِالسَّفَرِ وَأَسْبَابِهِ

"Shalat Jum’at tidak wajib bagi musafir walaupun dalam perjalanan pendek, karena ia termasuk orang yang tersibukkan dengan perjalanan tersebut dan hal-hal yang terkait dengan perjalanannya"

4. Tuhfah Al-Thullab

فَرْعٌ يَحْرُمُ عَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمْعَةُ السَّفَرُ وَلَوْ لِطَاعَةٍ بَعْدَ فَجْرِ يَوْمِهَا إِلاَّ إِنْ تُمَكِّنُهُ الْجُمْعَةُ فِيْ طَرِيْقِهِ أَوْ قَصْدِهِ أَوْ يَتَضَرَّرُ بِتَخَلُّفِهِ عَنِ الرَّفْقَةِ

"Haram bepergian bagi orang yang berkewajiban Jum’at, walaupun untuk tujuan ketaatan (ibadah) setelah fajar hari Jum’at terkait, kecuali jika memungkinkan untuk bisa shalat Jum’at di tengah perjalanan atau di tempat tujuannya, atau akan memperoleh kesulitan tertinggal dari teman seperjalanan"

5. Miraqah Shu’ud Al-Tashdiq

وَيَجُوْزُ الْفِطْرُ لِمُسَافِرٍ سَفَرَ قَصْرٍ بِأَنْ يَكُوْنَ طَوِيْلاً وَفَارَقَ الْعُمْرَانَ وَنَحْوَهُ قَبْلَ الْفَجْرِ عَلَى مَا أَفَادَهُ الرَّمْلِيُّ

"Boleh berbuka puasa bagi musafir dalam perjalanan yang jauh sehingga boleh meng-qashar shalat, dan sudah keluar dari bangunan-bangunan (batas kota) sebelum fajar sebagaimana pendapat yang dianut oleh Imam Ramli"

Wallahu A'lam

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 03 Agustus 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan


Referensi: Kitab Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam No. 368