Hukum Penyuapan dalam Penerimaan PNS

 
Hukum Penyuapan dalam Penerimaan PNS

Penyuapan dalam Penerimaan PNS

Tuntunan ibadah terkait hukum memberi dan menerima sesuatu agar diterima sebagai PNS dan semacamnya.

A. Pertanyaan

a. Bagaimana hukum memberi dan menerima sesuatu agar diterima sebagai PNS dan semacamnya ?.

B. Jawaban

a. Pemberian sesuatu untuk menjadi PNS dan semacamnya adalah risywah (suap). Pada dasarnya risywah itu hukumnya haram, kecuali untuk menegakkan kebenaran atau menolak kebatilan, maka tidak haram bagi pemberi dan tetap haram bagi penerima.  

C. Dasar Pengambilan Hukum Al-Qur’an

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 188).   Al-Sunnah

قَالَ النَّبِيُّ : مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُوْلٌ

(رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ عَنْ بُرَيْدَةَ /2554)

“Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa yang kami karyakan untuk suatu pekerjaan dan telah kami tentukan gaji untuknya, maka apapun yang ia ambil selebihnya adalah pengkhianatan.” (HR. Abu Daud dari Buraidah, hadits ke 2554).  

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ : الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِي

(رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ 1257، أَبُو دَاوُدَ: 3109، وَابْنُ مَاجَّةَ: 2304، وَأَحْمَدُ: 6246)

“Dari Abdullah bin ‘Amr ra. ia berkata: “Rasulullah Saw. melaknat orang yang melakukan penyuapan dan yang menerima suap.” (HR. Tirmidzi, hadits ke 1207, Abu Dawud, hadits ke 3109, Ibn Majah, hadits ke 2304, dan Ahmad, hadits ke 6246).  

Al-Aqwal  al-Ulama:

1. Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin [1]

(فَرْعٌ)

قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ الرِّشْوَةَ حَرَامٌ مُطْلَقاً وَالْهَدِيَّةَ جَائِزَةٌ فِيْ بَعْضِ اْلأَحْوَالِ فَيُطْلَبُ الْفَرْقُ بَيْنَ حَقِيْقَتَيْهِمَا مَعَ أَنَّ الْبَاذِلَ رَاضٍ فِيْهِمَا وَالْفَرْقُ مِنْ وَجْهَيْنِ، أَحَدِهِمَا ذَكَرَهُ ابْنُ كَجٍّ أَنَّ الرِّشْوَةَ هِيَ الَّتِيْ يُشْرَطُ عَلَى قَابِلِهَا الْحُكْمُ بِغَيْرِ الْحَقِّ أَوِ الامْتِنَاعِ عَنِ الْحُكْمِ بِحَقٍّ وَالْهَدِيَّةَ هِيَ الْعَطِيَّةُ الْمُطْلَقَةُ وَالثَّانِي قَالَ الْغَزَالِي فِي اْلإِحْيَاءِ الْمَالُ إِمَّا يُبْذَلُ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَهُوَ قُرْبَةٌ وَصَدَقَةٌ وَإِمَّا لِعَاجِلٍ وَهُوَ إِمَّا مَالٌ فَهُوَ هِبَةٌ بِشَرْطِ ثَوَابٍ أَوْ لِتَوَقُّعِ ثَوَابٍ وَإِمَّا عَمَلٌ فَإِنْ كَانَ عَمَلاً مُحَرَّمًا أَوْ وَاجِبًا مُتَعَيِّنًا فَهُوَ رِشْوَةٌ، وَإِنْ كَانَ مُبَاحًا فَإِجَارَةٌ أَوْ جُعَالَةٌ وَإِمَّا لِلتَّقَرُّبِ وَالتَّوَدُّدِ إِلَى الْمَبْذُوْلِ لَهُ فَإِنْ كَانَ بِمُجَرَّدِ نَفْسِهِ فَهَدِيَّةٌ وَإِنْ كَانَ لِيُتَوَسَّلَ بِجَاهِهِ إِلَى أَغْرَاضٍ وَمَقَاصِدَ فَإِنْ كَانَ جَاهُهُ بِالْعِلْمِ أَوْ النَّسَبِ فَهُوَ هَدِيَّةٌ وَإِنْ كَانَ بِالْقَضَاءِ وَالْعَمَلِ فَهُوَ رِشْوَةٌ

(Sub Masalah) Telah kami jelaskan bahwa tindakan suap menyuap hukumnya haram secara mutlak. Sedangkan hadiah pada beberapa kondisi itu boleh. Karenanya dituntut membedakan antara substansi kedua hal itu besertaan kerelaan si pemberi pada keduanya. Adapun perbedaannya bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, disebutkan oleh Ibn Kajj, bahwa sungguh suap adalah bila si penerimanya disyaratkan memutuskan hukum yang tidak benar, atau mencegah keputusan hukum yang benar, sedangkan hadiah adalah pemberian bersifat mutlak. Kedua, dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din al-Ghazali berkata: “Harta diberikan adakalanya untuk maksud ukhrawi, yaitu pemberian yang dimaksud untuk taqarrub dan sedekah. Dan adakalanya untuk tujuan duniawi yang adakalanya berupa harta, yaitu pemberian dengan syarat imbalan atau mengharap imbalan. Dan adakalanya berupa perbuatan. Jika perbuatan tersebut merupakan perbuatan haram atau perbuatan yang sifatnya wajib ‘ain, maka pemberian itu adalah suap. Jika perbuatan tersebut bersifat mubah, maka pemberian itu adalah ijarah atau ju’alah. Dan adakalanya pemberian itu dimaksud untuk tujuan pendekatan atau mencari simpati dari pihak yang diberi. Dalam hal ini jika yang dimaksud sekedar pribadi orangnya, maka itu adalah hadiah, namun jika yang dimaksud agar menjadi sarana melalui kedudukan si penerima untuk tujuan dan maksud tertentu, maka jika kedudukannya berupa keilmuan atau keturunan, maka itu adalah hadiah, akan tetapi jika kedudukannya berupa keputusan hukum atau suatu pekerjaan, maka itu adalah suap.  

2. Nihayah al-Zain [2]

وَقَبُوْلُ الرِّشْوَةِ حَرَامٌ وَهِيَ مَا يُبْذَلُ لِلْقَاضِي لِيَحْكُمَ بِغَيْرِ الْحَقِّ أَوْ لِيَمْتَنِعَ مِنَ الْحُكْمِ بِالْحَقِّ، وَإِعْطَاؤُهَا كَذَلِكَ لِأَنَّهُ إِعَانَةٌ عَلَى مَعْصِيَّةٍ أَمَّا لَوْ رَشَى لِيَحْكُمَ بِالْحَقِّ جَازَ الدَّفْعُ وَإِنْ كَانَ يَحْرُمُ عَلَى الْقَاضِي اْلأَخْذُ عَلَى الْحُكْمِ مُطْلَقًا أَيْ سَوَاءٌ أُعْطِيَ مِنْ بَيْتِ الْمَالِ أَوْ لاَ، وَيَجُوْزُ لِلْقَاضِي أَخْذُ اْلأُجْرَةِ عَلَى الْحُكْمِ  لِأَنَّهُ شَغَلَهُ عَنِ الْقِيَامِ بِحَقِّهِ

Menerima suap hukumnya haram. Suap adalah sesuatu yang diberikan kepada hakim agar ia memberikan putusan hukum yang menyalahi kebenaran atau agar ia mencegah terjadinya putusan hukum yang benar. Dan demikian pula hukumnya memberikan suap (yakni haram), karena hal tersebut sama saja membantu perbuatan maksiat. Adapun jika seseorang memberi suap dengan tujuan agar hakim memberikan putusan hukum dengan benar, maka hukum memberikannya boleh, meski hakim diharamkan secara mutlak mengambil pemberian atas putusan hukumnya. Baik yang diberikan kepadanya diambil dari bait al-mal atau bukan. Hakim boleh mengambil gaji atas keputusan hukumnya, karena hal tersebut membuatnya sibuk dari bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.  

3. Is’ad al-Rafiq Syarh Sulam al-Taufiq [3]

فَمَنْ أَعْطَى قَاضِيًا أَوْ حَاكِمًا رِشْوَةً أَوْ أَهْدَى إِلَيْهِ هَدِيَّةً فَإِنْ كَانَ لِيَحْكُمَ لَهُ بِبَاطِلٍ أَوْ لِيَتَوَصَّلَ بِهَا لِنَيْلِ مَا لاَيَسْتَحِقُّهُ أَوْ لِأَذِيَّةِ مُسْلِمٍ فَسَقَ الرَّاشِى وَالْمُهْدِى بِاْلإِعْطَاءِ وَالْمُرْتَشِى وَالْمُهْدَى إِلَيْهِ بِاْلأَخْذِ وَالرَّائِشُ بِالسَّعْيِ، وَإِنْ لَمْ يَقَعْ حُكْمٌ مِنْهُ بَعْدَ ذَلِكَ أَوْ لِيَحْكُمَ لَهُ بِحَقٍّ أَوْ لِدَفْعِ ظُلْمٍ أَوْ لِيَنَالَ مَا يَسْتَحِقُّهُ فَسَقَ اْلآخِذُ فَقَطْ وَلَمْ يَأْثَمِ الْمُعْطِي  لِاضْطِرَارِهِ لِلتَّوَصُّلِ لِحَقٍّ بِأَيِّ طَرِيْقٍ كَانَ

Barangsiapa memberikan suap kepada hakim, atau memberikan hadiah kepadanya, maka jika dimaksudkan agar hakim memberi putusan hukum yang menguntungkannya dengan cara yang tidak benar, atau ia jadikan sarana untuk mendapatkan sesuatu yang bukan menjadi haknya, atau ia maksudkan untuk menyakiti sesama muslim, maka si penyuap dan si pemberi hadiah menjadi fasiq sebab pemberiannya itu, begitu pula penerima suap atau hadiah sebab mengambil suap atau hadiah itu, dan begitu pula dengan perantaranya sebab usahanya, walaupun setelah pemberian suap tersebut tidak terjadi putusan hukum. Atau (ia memberikan suap) dimaksudkan agar hakim memberi putusan hukum yang menguntungkannya secara benar, atau dimaksudkan mencegah kezaliman atau dimaksudkan untuk memperoleh sesuatu yang menjadi haknya, maka yang menjadi fasiq hanya yang mengambil (suapnya) saja, sedangkan yang memberi tidak berdosa karena terpaksa agar bisa mendapat haknya dengan jalan apapun.  

A. Pertanyaan :

b. Bagaimana hukumnya gaji yang proses pengangkatannya karena risywah (suap)?

Jawaban :

b. Masalah gaji PNS yang penerimaannya melalui risywah (suap), ada dua pendapat menurut Muktamirin: Pendapat pertama, hukumnya haram, karena:

  1. Ada keterkaitan sebab dan akibat antara risywah (suap) dan gaji.
  2. Gaji yang diterima bukan termasuk ujrah (upah), tetapi irzaq, ihsan, atau musamahah (tunjangan/insentif), sehingga gaji yang diterima tidak terkait dengan pekerjaan yang dikerjakan, tetapi terkait dengan pengangkatan yang prosesnya melalui suap.
  3. Pengangkatannya dianggap tidak sah atau batil, sehingga gajinya juga tidak sah/batil.

Pendapat kedua, hukumnya halal, karena:

  1. Tidak ada keterkaitan antara risywah (suap) dan gaji, sebagaimana tidak adanya keterkaitan antara haramnya mencuri sajadah dan sahnya shalat di atas sajadah curian itu.
  2. Pengangkatan untuk menjadi PNS itu dianggap sah.

  B. Dasar Pengambilan Hukum Al-Qur'an

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

 “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 188).  

Aqwal al-Ulama’

1.  Al-Asybah wa al-Nazha’ir [4]

(خَاتِمَةٌ)

يَنْقُضُ قَضَاءُ الْقَاضِي إِذَا خَالَفَ نَصًّا أَوْ إِجْمَاعًا أَوْ قِيَاسًا جَلِيًّا. قَالَ الْقَرَّافِيُّ: أَوْ خَالَفَ الْقَوَاعِدَ الْكُلِّيَّةَ. قَالَ الْحَنَفِيَّةُ: أَوْ كَانَ حُكْمًا لاَ دَلِيْلَ عَلَيْهِ

(Penutup) Putusan hukum seorang hakim bisa dibatalkan, jika bertentangan dengan nash (al-Qur’an dan hadits), ijma’ atau qiyas jali (jelas). Al-Qarafi berpendapat: “Atau jika menyalahi kaidah umum.” Dan ulama madzhab Hanafi berpendapat: “Atau berupa hukum yang  tidak berdasarkan dalil sama sekali.  

5. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj [5]

وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ مِنْ جَامَكِيَّةٍ عَلَى ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنْ بَابِ اْلإِجَارَةِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنْ بَابِ اْلإِرْزَاقِ وَاْلإِحْسَانِ وَالْمُسَامَحَةِ بِخِلاَفِ اْلإِجَارَةِ فَإِنَّهَا مِنْ بَابِ الْمُعَاوَضَةِ

Tradisi yang berlaku pada pemberian pemerintah kepada untuk orang yang menjadi imam shalat jamaah itu bukan termasuk sebagai ijarah (upah pekerjaan), tetapi merupakan irzaq, ihsan atau musamahah (tunjangan, insentif, atau kebijakan). Berbeda dengan ijarah yang merupakan mu’awadhah (transaksi pertukaran).  

6. Al-Mubdi’ fi Syarh al-Muqni’ [6]

فَلاَ يَجُوْزُ تَوْلِيَتُهُ مَعَ عَدَمِ الْعِلْمِ بِذَلِكَ كَمَا لاَ يَجُوْزُ تَوْلِيَتُهُ مَعَ الْعِلْمِ بِعَدَمِ صَلاَحِيَّتِهِ. وَيُعَيِّنُ مَا يُوَلِّيْهِ الْحُكْمَ فِيْهِ مِنَ اْلأَعْمَالِ كَالْكُوْفَةِ وَنَوَاحِيْهَا وَالْبُلْدَانِ كَبَغْدَادَ وَنَحْوِهَا لِيَعْلَمَ مَحَلَّ وِلاَيَتِهِ فَيَحْكُمُ فِيْهِ وَلاَ يَحْكُمُ فِيْ غَيْرِهِ

Karenanya tidak boleh mengangkat seseorang untuk menjabat sebagai Qadhi ketika tidak besertaan ketidaktahuan atas keahliannya memutuskan hukum, seperti halnya tidak boleh mengangkatnya menjadi Qadhi besertaan mengetahui ketidaklayakannya. Dan penguasa menentukan daerah hukumnya, semisal Kufah dan sekitarnya, atau wilayah semisal Baghdad dan sekitarnya, agar ia mengetahui wilayah kerjanya sehingga memutuskan hukum wilayah tersebut dan tidak memutuskan hukum di luar wilayahnya.  

7. Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi [7]

إِنَّ الصَّلاَةَ فِي الدَّارِ الْمَغْصُوْبَةِ صَحِيْحَةٌ يَسْقُطُ بِهَا الْفَرْضُ وَلاَ ثَوَابَ فِيْهَا، قَالَ أَبُوْ مَنْصُوْرٍ وَرَأَيْتُ أَصْحَابَنَا بِخُرَاسَانَ اخْتَلَفُوْا فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ لاَ تَصِحُّ الصَّلاَةُ، قَالَ وَذَكَرَ شَيْخُنَا فِي الْكَامِلِ أَنَّهُ يَنْبَغِى أَنْ تَصِحَّ وَيَحْصُلَ الثَّوَابُ عَلَى الْفِعْلِ فَيَكُوْنُ مُثَابًا عَلَى فِعْلِهِ عَاصِيًا بِالْمُقَامِ فِي الْمَغْصُوْبِ فَإِذَا لَمْ نَمْنَعْ مِنْ صِحَّتِهَا لَمْ نَمْنَعْ مِنْ حُصُوْلِ الثَّوَابِ. قَالَ أَبُوْ مَنْصُوْرٍ: وَهَذَا هُوَ الْقِيَاسُ عَلَى طَرِيْقِ مَنْ صَحَّحَهَا وَاللهُ أَعْلَمُ

Sungguh shalat di rumah ghasaban itu sah yang menggugurkan kewajiban, namun tidak berpahala. Abu Manshur berkata: “Saya melihat ulama kita (madzhab Syafi’i) di Khurasan berbeda pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat shalatnya tidak sah.” Ia berkata: “Dalam kitab al-Kamil guru kami (Abu Nashr bin Shabah) menyebutkan, seyogyanya shalat tersebut sah dan ia berpahala atas shalat itu. Maka pelakunya mendapat pahala atas shalatnya namun bermaksiat karena bertempat di rumah ghasaban. Maka jika kita tidak menghalangi keabsahan shalatnya maka kita juga tidak menghalangi pahalanya.” Abu Manshur: “Ini merupakan qiyas menurut riwayat ulama yang mengabsahkannya.” Wallahu a’lam.  

8. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj [8]

فَإِنْ بَاعَ مَنْ حَرُمَ عَلَيْهِ الْبَيْعُ صَحَّ بَيْعُهُ وَكَذَا سَائِرُ عُقُوْدِهِ لِأَنَّ النَّهْيَ لِمَعْنَى خَارِجٍ عَنِ الْعَقْدِ فَلَمْ يَمْنَعِ الصِّحَّةَ كَالصَّلاَةِ فِي الدَّارِ الْمَغْصُوْبَةِ

Jika orang yang tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli melakukan transaksi jual beli, maka transaksi jual belinya tetap sah. Begitu pula seluruh transaksi yang dilakukannya, karena larangan bertransaksi di atas karena alasan eksternal di luar transaksi, sehingga tidak menghalangi keabsahannya, seperti (hukum) shalat di dalam rumah hasil ghasaban.  

9. I’anah al-Thalibin [9]

وَعِبَارَةُ الْمُغْنِي مَعَ اْلأَصْلِ :  فَإِنْ بَاعَ مَنْ حَرُمَ عَلَيْهِ الْبَيْعُ صَحَّ بَيْعُهُ وَكَذَا سَائِرُ عُقُوْدِهِ  لِأَنَّ النَّهْيَ لِمَعْنَى خَارِجٍ عَنِ الْعَقْدِ أَيْ وَهُوَ التَّشَاغُلُ عَنْ صَلاَتِهَا فَلَمْ يَمْنَعِ الصِّحَّةَ كَالصَّلاَةِ فِي الدَّارِ الْمَغْصُوْبَةِ

Adapun redaksi kitab Mughni al-Muhtaj serta kitab asalnya (Minhaj al-Thalibin) yaitu: “Jika orang yang tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli melakukan transaksi jual beli, maka transaksi jual belinya tetap sah. Begitu pula seluruh transaksi yang dilakukannya, karena larangan bertransaksi di atas karena alasan eksternal di luar transaksi, yaitu menyibukkan diri dari shalat Jum’at, sehingga tidak menghalangi keabsahannya, seperti (hukum) shalat di dalam rumah hasil ghasaban.   Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jilid III, h. 164.  

[1] Muhyiddin al-Nawawi, Raudhah al-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t. th.), Jilid VIII, h. 128-129.

[2] Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Nihayah al-Zain Syarh Qurrah al-‘Ain, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2008), h. 419.

[3] Muhammad Salim Bafadhal, Is’ad al-Rafiq Syarh Sulam al-Taufiq, (Singapura: al-Haramain, t. th.), Juz II, h. 100.

[4] Abdurrahman al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha’ir, (Mesir: al-Tijariyah al-kubra, t. th.), h. 94-95.

[5] Muhammad bin Syihabuddin al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj, (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1938), Jilid V, h. 288.

[6] Ibn Muflih al-Hanbali, al-Mubdi’ fi Syarh al-Muqni’, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1980), Jilid X, h. 7.

[7] Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), Jilid II, h. 58-59.

[8] Muhammad al-Khatib al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, (Mesir: al-Tijariyah al-Kubra, t. th.), Jilid I, h. 295.

[9] Muhammad Syaththa al-Dimyati, I’anah al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997) Jilid IV, h. 188.

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 435 HASIL KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA KE-XXXI Di Asrama Haji Donohudan Boyolali Solo – Jawa Tengah 29 Nopember – 01 Desember 2004 M 16 – 18 Syawal 1425 H Tentang: MASAIL Al-DINIYYAH AL-WAQI’IYYAH